Jakarta, Prohealth.id – Pemerintah Indonesia telah menyalurkan berbagai bentuk bantuan sosial (bansos), terutama untuk para keluarga pra sejahtera, di antaranya Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai, Program Indonesia Pintar (PIP), dan penerima Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tujuan pemberian bansos ini salah satunya sebagai jaminan sosial agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Namun, kondisi di lapangan masih menunjukkan adanya kemungkinan penyalahgunaan dana bantuan sosial untuk belanja rokok.
Anomali pun muncul melalui temuan dalam studi Dartanto, et al. (2021) yang menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan peningkatan konsumsi rokok pada keluarga penerima bantuan sosial. Hal ini seakan sejalan dengan data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2019 yang menunjukan bahwa rokok merupakan pengeluaran 5 besar konsumsi utama pada rumah tangga miskin.
Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) dalam kajian terbaru tentang bantuan sosial (bansos) menemukan bahwa hasil identifikasi eksternal menemukan bahwa masih banyak penerima bansos yang merokok.
Artinya, rokok masih bisa dibeli secara batangan, terdapat pilihan produk rokok dengan harga yang lebih murah, dan adanya iklan rokok yang terpasang di warung menarik perhatian untuk membeli rokok.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Orang Miskin menyebutkan bahwa kelompok masyarakat miskin dan rentan memiliki hak dalam perlindungan sosial, sehingga setiap keluarga memiliki pemenuhan kebutuhan dasar minimum, sebagaimana hal ini telah diatasi pemerintah melalui adanya program bantuan sosial.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, telah menekankan bahwa dana bantuan sosial tidak boleh digunakan untuk membeli rokok. Selain itu, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 175 Tahun 2022 tentang Pengendalian Konsumsi Rokok di Lingkungan Kementerian Sosial, sebagai salah satu upaya mewujudkan pencapaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024, yaitu penurunan prevalensi perokok di Indonesia dan upaya antisipasi terhadap penyalahgunaan dana bantuan sosial yang dibelanjakan dalam bentuk rokok. Dalam pasal 7 (tujuh), ditegaskan bahwa adanya pelarangan pembelanjaan dana bantuan sosial dalam bentuk rokok.
Aryana Satrya, Ketua dan Tim Riset PKJS-UI, menyampaikan dalam paparannya bahwa lahirnya Kepmensos No. 175/2022 masih memiliki berbagai tantangan dalam penerapannya. Ia menilai tantangan implementasi Keputusan Menteri Sosial (Kepmensos) No. 175 Tahun 2022 tentang Pengendalian Konsumsi Rokok di Lingkungan Kementerian Sosial adalah ketidakcukupan sumber daya untuk melaksanakan pengawasan dan berbagai kendala dari aspek eksternal.
Secara rinci tantangan pertama adalah harga rokok masih murah dan dapat dibeli secara ketengan. Studi PKJS-UI tahun 2022 menunjukkan harga rokok per bungkus relatif murah, yaitu rerata Rp30.000 dan masih bisa dibeli secara ketengan dengan harga yang sangat murah, yaitu Rp2.000 per batang.
Kedua, mengutip studi PKJS-UI tahun 2023, rokok masih sangat mudah dijangkau oleh masyarakat miskin. Hal ini terbukti dari warung rokok yang cukup padat di DKI Jakarta.
Ketiga, studi PKJS-UI juga menunjukkan terdapat kecenderungan peningkatan konsumsi rokok pada keluarga penerima dana bantuan sosial.
Keempat, data Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2011 menunjukkan sebanyak 75,3 persen orang menyadari adanya iklan, promosi, dan sponsor rokok.
“Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan lingkup internal dan eksternal Kementerian Sosial untuk memperkuat pengendalian konsumsi rokok pada penerima bantuan sosial di Indonesia,” jelas Aryana.
Untuk itu, prioritas strategi dalam pengendalian konsumsi rokok pada penerima bantuan sosial, yaitu kolaborasi pada kegiatan Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2) dengan klinik Upaya Berhenti Merokok (UBM), sekaligus mendorong kenaikan harga dan meminimalkan variasi harga rokok agar semakin tidak terjangkau.
Risky Kusuma Hartono, Tim Riset PKJS-UI, menyampaikan beberapa poin temuan dalam studi tersebut. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, informan di level daerah sepakat mengatakan bahwa masih terkendala kurangnya sumber daya manusia (SDM) terkait pelaksanaan monitoring dalam penggunaan dana bansos oleh setiap KPM jika sistem insentif diterapkan.
Kedua, dari aspek harga rokok, informan di level daerah maupun level pusat (pemerintah) menilai bahwa harga rokok di Indonesia masih cukup murah, terlebih dapat dibeli secara batangan. Bahkan ada beberapa merek rokok di daerah dengan harga yang jauh lebih murah.
Ketiga, selain harga, iklan rokok yang terpasang di warung-warung juga dapat memengaruhi perilaku merokok masyarakat. Keempat, dari informasi yang diperoleh, kekuatan (strength) utama adalah terdapat materi kesehatan pengendalian konsumsi rokok pada kegiatan Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2), sedangkan kelemahan (weakness) utama adalah sulitnya mendapatkan bukti belanja rokok dari dana bansos.
Selanjut yang kelima, hasil analisis SWOT menghasilkan prioritas strategi dalam pengendalian konsumsi rokok pada penerima bantuan sosial, yaitu kolaborasi pada kegiatan P2K2 dengan klinik Upaya Berhenti Merokok (UBM), sekaligus mendorong kenaikan harga dan meminimalkan variasi harga rokok agar semakin tidak terjangkau.
Oleh karena itu, studi ini memberikan rekomendasi kebijakan.
Pertama, pemerintah menginisiasi studi pilot project kolaborasi kegiatan P2K2 dengan klinik UBM di salah satu daerah sebelum diterapkan secara nasional.
Kedua, pemerintah mengidentifikasi lebih lanjut upaya monitoring yang efektif. Ketiga, pemerintah melarang total iklan, promosi, dan sponsor rokok agar masyarakat tidak terpengaruh untuk membeli rokok.
Keempat, studi ini mendukung kebijakan Kementerian Keuangan untuk menaikkan cukai rokok pada 2023 dan 2024 sebesar 10 persen, serta lebih menurunkan keterjangkauan rokok pada tahun berikutnya dengan menaikkan tarif cukai dan harga rokok secara signifikan yang dibarengi dengan penyederhanaan strata tarif cukai rokok.
Kelima, studi ini mendukung Keputusan Presiden No. 25 Tahun 2022 untuk segera mengimplementasikan pelarangan penjualan rokok secara batangan dengan cara merevisi Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012.
Discussion about this post