Jakarta, Prohealth.id – Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan akan segera melarang penjualan rokok Batangan. Kebijakan ini adalah upaya untuk melindungi keluarga miskin Indonesia yang masih banyak membeli rokok daripada membeli makanan bergizi.
Sayangnya, wacana ini mendapat penolakan dan disebut-sebut akan mendorong masyarakat miskin semakin susah dan menekan pedagang kecil yang mengambil keuntungan dari menjual rokok.
Menurut Prof. Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, pelarangan penjualan rokok secara batangan adalah salah satu rencana pengaturan yang tertuang dalam usulan revisi Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang akan mencakup beberapa pengaturan lainnya. Oleh karena itu, pelarangan penjualan ketengan ini menjadi salah satu pengaturan dianggap penting demi menekan prevalensi perokok, terutama pada kelompok rentan, anak-anak dan keluarga miskin.
Asal tahu saja, Indonesia memiliki prevalensi merokok yang lebih tinggi pada anak usia 13-15 tahun dibandingkan Thailand, Myanmar, dan Sri Lanka (GYTS, 2019). Prevalensi merokok pada anak usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada tahun 2013 menjadi 9,1 persen pada tahun 2018 berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Menurut Prof. Thabrany, ini menjadi penyebab penyakit dari epidemi tembakau, termasuk semua jenis kanker.
Selain itu, salah satu penyebab masih tingginya epidemi perokok anak karena aksesibilitas rokok melalui penjualan rokok ketengan. Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2014 dan 2019 menyebutkan bahwa lebih dari 70 persen anak-anak di Indonesia membeli rokok secara ketengan (GYTS, 2019). Harga rokok ketengan relatif sangat murah yaitu Rp1.500 per batang.
Penjualan rokok secara ketengan mendorong inisiasi merokok. Hal inilah yang menjadi loophole dari kebijakan yang sudah ada namun belum secara tegas menyatakan pelarangan penjualan rokok batangan.
Prof. Thabrany juga menegaskan walaupun terdapat kenaikan cukai rokok yang dapat menaikkan harga rokok per bungkus, efektivitas kebijakan ini menjadi berkurang akibat penjualan rokok secara ketengan.
“Penjualan rokok ketengan juga melemahkan efektivitas peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok karena anak-anak sebagai perokok pemula tidak terpapar gambar peringatan saat membeli rokok secara batangan,” ungkap Prof. Thabrany.
Oleh karena itu, penjualan rokok batangan dikhawatirkan meningkatkan konsumsi rokok pada anak yang sangat mudah membeli rokok yang masih dijual secara batangan. Ia pun menambahkan, penjualan rokok ketengan yang terus dibiarkan juga justru akan menjebak masyarakat miskin terus berada pada kemiskinan maka penolakan terhadap wacana kebijakan ini justru membahayakan.
Maka terkait dengan penolakan yang bergulir, ia menyarankan, para stakeholder kesehatan masyarakat harus menggali asumsi tersebut. “Apakah berdasarkan fakta atau asumsi semata. Lebih dari Rp200 triliun yang habis dibakar untuk menikmati rokok dan kebanyakan konsumennya adalah masyarakat miskin. Bagi kami, pelarangan penjualan rokok batangan justru akan menghentikan pemiskinan bukan memiskinkan masyarakat,” tegasnya.
Selaras dengan pesan Presiden Joko Widodo pada akhir tahun lalu yang mengisyaratkan perlunya perlindungan terhadap anak-anak dan masyarakat miskin dari rokok ketengan, kebijakan dari kementerian/lembaga negara perlu menindaklanjutinya dengan baik.
Sayangnya, beberapa kali terdapat informasi misleading yang menyatakan penolakan dari pedagang rokok batangan serta dampak pelarangan rokok batangan ini secara ekonomi. Kenyataannya, ekonomi akan terus berputar dan rokok bukanlah satu-satunya produk yang dijual oleh warung dan toko kelontong.
Risky Kusuma., Ph.D, Kepala Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), menyebutkan, bahwa hasil riset PKJS menunjukkan bahwa ada potensi kekambuhan untuk merokok kembali pada anak-anak apabila mereka membeli rokok secara batangan. PKJS juga menemukan bahwa anak jalanan adalah kelompok rentan yang masih bisa membeli rokok secara batangan dengan harga sekitar Rp 2.000.
Secara densitas, penjualan rokok secara batangan ini juga berada di sekitar wilayah sekolah anak-anak. Hal ini jelas menunjukkan bahwa harus segera dibuat kebijakan yang melarang penjualan rokok secara batangan untuk melindungi anak-anak.
“Survei yang kami lakukan 2021 lalu menunjukkan juga bahwa sebanyak 85,5 persen penjual rokok batangan masih akan tetap menjual rokok meski telah diberlakukannya pelarangan penjualan Batangan,” kata Risky.
Ia juga mengatakan bahwa pada dasarnya pedagang pun sudah siap dengan aturan restriksi yang akan diberlakukan. Apalagi, secara medis rokok terbukti dapat menjadi pintu adiksi lain termasuk diantaranya adalah alkoholisme dan juga narkoba.
“Agak ironis ketika kita sedang menggalakkan penurunan stunting tapi tidak melihat masalah rokok sebagai salah satu pintu intervensinya,” sambung Risky.
Menurut dr. Piprim Basarah, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menambahkan kebutuhan gizi lebih esensial dibandingkan dengan belanja rokok, maka jelas IDAI mendukung pelarangan penjualan rokok batangan. Apalagi dampak buruk seperti stunting yang lekat dengan masalah medis bisa terjadi akibat orang tua sang anak menghabiskan uangnya untuk konsumsi rokok.
Jasra Putra selaku Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga memberikan dukungannya terkait larangan penjualan rokok batangan.
“Situasi darurat perokok anak harus segera diselesaikan. KPAI juga konsisten untuk percepatan revisi PP109/2012. Zero tolerance untuk menormalisasi promosi rokok apalagi kepada anak-anak,” ungkap Jasra.
Tulus Abadi selaku Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menambahkan, pernyataan Presiden terkait larangan penjualan rokok batangan perlu diapresiasi meskipun berpotensi pernyataan ini bersayap.
Dia menilai, wacana pelarangan rokok ketengan ini kemungkinan tidak akan berjalan mulus karena banyak yang mencoba mengintervensinya.
“Padahal rokok adalah barang kena cukai, tapi kenapa bisa mudah diobral? Pelarangan rokok batangan justru bisa mengeluarkan masyarakat miskin dari jerat kemiskinan,” pungkas Tulus.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post