Pada awal kemunculannya, rokok elektronik digadang-gadang sebagai produk tembakau yang ramah kesehatan dan lingkungan. Ia dianggap berbeda dengan rokok konvensional yang dapat menyebabkan kanker dan menimbulkan adiksi. Beberapa kampanye bahkan menyebutkan rokok elektronik sebagai solusi bagi mereka yang ingin berhenti dari rokok konvensional dan penggunaannya dapat mengurangi sampah puntung.
Namun, faktanya, rokok elektronik tidak jauh berbeda dengan rokok konvensional dari sisi ancaman kesehatan bagi para pemakainya, Adapun dari aspek lingkungan, sampah rokok elektronik malah dinilai lebih membahayakan ekosistem secara luas, bahkan, secara spesifik, berpotensi membahayakan para petugas pembersih sampah.
Fasilitator Forum Anak Kota Ambon (Fakota), Jordan Vegard Ahar, menyampaikan fakta betapa tingginya angka perokok anak dan remaja di kotanya. Hal itu, katanya, terjadi karena akses yang mudah dalam mendapatkan rokok dan harga produk tembakau yang terbilang murah.
Apalagi, ucapnya, kini muncul rokok elektronik yang dianggap lebih aman bagi kesehatan dan tidak menyebabkan kecanduan. Kehadiran varian baru produk tembakau itu, lanjutnya, tentu makin membuat penasaran banyak orang untuk mencobanya.
Padahal, menurut berbagai kajian dan para pakar kesehatan, tuturnya, dua jenis rokok, baik yang konvensional maupun elektronik, sama-sama terjadi pembakaran dan berisiko terhadap paru-paru. Malah, jika ditelesuri informasinya lebih lanjut, rokok elektronik juga memanfaatkan partikel beracun yang dapat mengakibatkan kanker dan kematian.
“Jadi, yang terjadi sekarang, alih-alih berpindah konsumsi produk tembakau, para perokok malah mengombinasikan konsumsi dua jenis rokok itu,” katanya pada konferensi pers peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia pada medio Mei 2022.
Pernyataan Jordan akan bahaya rokok elektronik senada dengan kesimpulan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebut rokok elektronik sangat berbahaya bagi kesehatan. Sebab, produk tersebut mengandung nikotin yang dapat menyebabkan kanker dan menimbulkan adiksi.
Badan Kesehatan Dunia juga menyebut dua jenis rokok elektronik, baik yang memanfaatkan electronic nicotine delivery system (ENDS) maupun yang berupa heated tobacco products (HTPs), sama-sama berbahaya bagi kesehatan penggunanya. Bahkan, dalam laporan yang dirilis oleh WHO itu, ditegaskan bahwa tidak ada cukup bukti untuk menganggap rokok elektronik jenis HTPs lebih aman daripada rokok konvensional.
Berkaitan dengan ancaman rokok elektronik bagi lingkungan, Staf Edukasi Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP), Sarah Rauzana, menekankan betapa perlunya pengolahan sampah yang spesifik untuk limbah rokok elektronik. Sebab, pada produk tersebut, ada banyak elemen yang semestinya dibuang secara terpisah, seperti baterai atau komponen elektronik lain.
Semestinya, kata Sarah, industri rokok bertanggung jawab dalam pengolahan limbah produk buatannya. Perusahaan rokok, misalnya, dapat menyediakan semacam dropbox pembuangan produk rokok elektronik yang sudah tidak terpakai atau menyiapkan mekanisme lain pengolahan sampah.
“Nyatanya, yang ada sekarang terjadi kekosongan pengolahan sampah rokok elektronik yang boleh jadi malah berakhir di Tempat Pembuangan Akhir, bercampur dengan sampah lain,” katanya.
Lebih lanjut, Sarah menyebut, persoalan pengolahan sampah rokok elektronik kian rumit jika ia disandingkan dengan fakta betapa banyaknya sampah puntung rokok konvensional yang tidak terkelola dengan baik. Dia mengimbau jangan sampai ada pihak yang malah dirugikan secara langsung dari pengolahan sampah rokok elektronik yang tidak tepat.
“Sebab, sampah rokok elektronik yang bercampur dengan sampah lain bisa mengancam nyawa petugas kebersihan yang tengah membersihkan sampah rumah tangga, misalnya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Daniel Beltsazar dari Kolaborasi Bumi menjelaskan, selain minimnya pengolahan sampah, aspek lain yang tidak kalah penting adalah cairan rokok elektronik yang dapat dikategorikan sebagai limbah B3 (bahan berbahaya beracun). Meski itu tidak secara tegas disebut dalam regulasi, tetapi kesimpulan sejumlah riset dan banyak pakar kesehatan sudah cukup untuk dapat mengategorikan limbah dari cairan rokok elektronik setingkat dengan limbah B3.
“Artinya, pengelolaan sampahnya pun harus seturut dengan pengelolaan limbah B3,” tegas Daniel.
Menanggapi ancaman rokok elektronik bagi kesehatan dan lingkungan, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kemenkes, Sakri Sabatmaja, menyebut, perkembangan pangsa pasar rokok elektronik di dunia dan tanah air cukup signifikan. Dari banyak riset yang ada, jumlah pengguna rokok elektronik bisa dibilang terus bertambah.
Sebuah riset yang dilakukan UHAMKA pada 2019 menyimpulkan, dari 767 siswa SMA yang dijadikan sampel penelitian, sebanyak 11,8 persen mengaku sebagai perokok elektronik.
Sebanyak 6 persen di antaranya bahkan mengombinasikan rokok elektronik dan rokok konvensional atau disebut pengguna ganda. Adapun sebanyak 49 persen di antaranya merupakan perokok baru rokok elektronik yang semula tidak merokok dan yang sudah berhenti merokok konvensional.
Kemudian sebuah survei pada 2015 di Denpasar kepada 200 remaja dari 10 SMA menunjukkan adanya tingkat penggunaan rokok elektronik yang merata di kalangan anak muda. Sebanyak 20,5 persen remaja, menurut survei tersebut, merupakan perokok elektronik aktif.
Adapun survei pada 2017 terhadap 174 siswa SMA di Denpasar kian menunjukkan popularitas rokok elektronik di kalangan anak muda. Dari survei itu diketahui sebanyak 61,4 persen siswa pernah mencoba rokok elektronik. Sedangkan sebanyak 25,3 persen di antaranya menjadi perokok elektronik aktif.
Peningkatan jumlah perokok elektronik itu, kata Sakri, tidak dapat dilepaskan dari fakta betapa luasnya peredaran rokok elektronik di tanah air. Dia menyebut, rokok elektronik dapat diperoleh dengan mudah dari kios atau kedai rokok elektronik, toko penjual alat elektronik, mal dan minimarket, bahkan di pameran dan perhelatan hari bebas kendaraan bermotor atau car free day.
Atas fakta itu, ungkap Sakri, Kementerian Kesehatan tengah mengupayakan sejumlah langkah guna menekan angka perokok di Indonesia, termasuk lewat penguatan regulasi. Salah satu upaya yang sedang dilakukan adalah dengan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
“Kami akan mengusulkan penguatan fungsi pengawasan dan pembatasan ketat iklan, promosi, dan sponsorship rokok elektronik,” ungkapnya pada acara Indonesia Youth Summit on Tobacco Control, Sabtu, 21 Mei 2022.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post