Rokok elektronik yang hadir dengan beragam rasa seperti makanan dan dengan desain kemasannya yang menarik, mengincar kaum muda untuk menjadi konsumen tetapnya.
Kehadiran rokok elektronik yang digadang-gadang lebih rendah risiko ternyata cukup meyakinkan anak muda untuk menjadikan rokok elektronik sebagai pengganti rokok konvensional atau bahkan memilih menjadi pengguna keduanya (dual user). Sementara itu, di balik manisnya sensasi rokok elektronik, terdapat banyak dampak buruk kesehatan yang mengintai, salah satunya diabetes melitus.
Kehadiran rokok elektronik yang tampil berbeda dengan rokok konvensional menarik Achmad Guntur atau yang akrab disapa dengan Guntur, untuk menjadi pengguna rokok elektrik jenis vape. Kepada Prohealth.id, Guntur mengatakan bahwa dipilihnya rokok elektronik jenis vape untuk ia konsumsi berawal dari seorang temannya yang sudah lebih dulu konsumsi. Guntur pun diajak untuk ikut mencoba vape, sebagai suatu hal yang baru dengan desain produk dan aromanya yang jauh berbeda dengan rokok konvensional.
Sebagaimana layaknya anak muda yang senang mencoba hal-hal baru, Guntur yang saat itu berusia 18 tahun pun tertarik untuk benar-benar mencoba vape milik temannya dan setelah itu ia merasa vape memiliki sensasi rasa yang lebih nikmat saat dikonsumsi. Hingga kini, Guntur yang sudah berusia 22 tahun pun merasa vape adalah bentuk rokok elektronik dengan rasanya yang variatif serta dengan kepulan asap yang dapat dibuat beragam bentuk turut menjadi ketertarikannya untuk selalu konsumsi vape.
Perkenalan Guntur dengan vape bukan merupakan kali pertama ia mencoba produk adiktif. Sebelumnya, ia mengaku sudah konsumsi rokok konvensional sejak usia 17 tahun dengan rasa keingintahuannya tentang sensasi yang didapat dari merokok. Menurutnya, setelah ia benar-benar konsumsi rokok, ia menemukan sensasi ketenangan saat merokok. Meskipun ia lebih sering merokok vape, rokok konvensional tetap tidak tergantikan karena memiliki sensasi tersendiri untuk dikonsumsi setelah makan.
Hingga kini, Guntur mengatakan bahwa ia belum memiliki keinginan untuk berhenti mengisap vape. Terlebih dengan narasi-narasi informasi yang ia baca saat ingin tahu seberapa bahaya vape untuk ia konsumsi, ternyata menurutnya vape terbukti lebih rendah risiko daripada rokok konvensional.
Selain konsumsi vape, Guntur juga mengaku senang mengonsumsi minuman manis. Dalam keterangannya kepada Prohealth.id, Guntur mengatakan bahwa ia bisa mengonsumsi minuman manis 2 kali dalam sehari dan beriringan dengan konsumsi vape. Pasalnya, frekuensi konsumsi vape dan minuman manis Guntur tergantung dengan sering tidaknya ia berkumpul bersama teman-temannya.
Perkenalan seseorang dengan rokok elektronik jenis vape melalui orang terdekatnya juga dirasakan oleh Dimas. Ketertarikan Dimas pada vape bermula dari cairan rasa jeruk yang ia hisap dari vape yang dipinjamkan oleh saudaranya. Dimas mengatakan bahwa ia menemukan sensasi lain yang belum pernah ia rasakan saat mencoba vape.
“Awalnya saya dikenalin vape sama saudara saya saat kumpul keluarga. Saya disuruh mencoba (vape) dan ternyata cukup asik, akhirnya dia kasih salah satu vapenya untuk saya pakai,” ujar Dimas kepada Prohealth.id via WhatsApp pada Minggu, 20 November 2022.
Berbeda dengan Guntur, adiksi nikotin pada vape yang dikonsumsi oleh Dimas ternyata membawanya untuk mengonsumsi rokok konvensional juga sehingga kini Dimas juga menjadi dual user. Dimas mengatakan, alasannya menjadi dual user ialah karena harga vape yang mahal dan masih sedikitnya toko yang menjual vape saat awal-awal kecanduan vape, membuat dia mengonsumsi rokok konvensional untuk mengganti vape yang tidak terjangkau olehnya.
“Waktu itu saya belum merokok. Tapi karena kebutuhan nikotin dan karena vape store pas itu masih jarang banget plus barangnya mahal-mahal, akhirnya nyoba ke rokok,” ungkap Dimas.
Adiksi nikotin yang dikemas dalam berbagai jenis produk rokok telah merambah kalangan anak muda. Jika Guntur dan Dimas mengaku lebih kecanduan nikotin yang dibalut rasa manis dalam liquid vape meski menjadi dual user, Irfan justru tidak tertarik dengan maraknya tren vape di kalangan anak muda namun menjadi pecandu akut rokok konvensional.
Irfan mengatakan, adiksi nikotin membuat Irfan dapat merokok sebanyak 16 batang atau satu bungkus rokok dan bahkan bisa lebih dalam sehari. Irfan mengaku awal-awal ia mengenal rokok sejak usianya masih 14 tahun, di mana saat itu ia coba-coba mengikuti teman-temannya yang merokok kemudian berujung menjadi adiksi akut hingga sekarang.
Irfan juga mengakui kini telah merasakan dampak buruk kesehatan akibat merokok yakni menjadi sering batuk-batuk. Hal itu pun sempat membuatnya ingin memulai untuk berhenti merokok. Namun Irfan merasa belum tahu bagaimana cara yang tepat untuk dapat ia tempuh karena menurutnya selalu ada waktu baginya untuk merokok di sela-sela aktivitasnya.
Adiksi rokok elektronik dan konvensional pada ketiga pengguna tersebut seolah sudah tidak dapat dilepaskan lagi dalam keseharian mereka. Bahkan ketika ditanya tentang paham tidaknya mereka pada bahaya yang mengintai dari aktivitas merokok, ketiganya seragam menyebut cukup memahami risiko yang harus mereka hadapi kelak. Padahal dua di antara mereka memiliki riwayat penyakit diabetes dalam keluarga sehingga aktivitas merokok tersebut semakin memungkinkan mereka untuk benar-benar terkena diabetes.
Berdasarkan informasi yang dipaparkan dalam Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, aktivitas merokok merupakan salah satu faktor yang dapat dimodifikasi pemicu risiko diabetes. Kemudian, dengan adanya riwayat penyakit diabetes dalam keluarga juga dapat menjadi salah satu faktor yang tidak dapat dimodifikasi.
Di Indonesia sendiri, penyakit diabetes masih menjadi salah satu faktor penyakit teratas penyebab kematian. Berdasarkan data yang dipaparkan oleh International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan bahwa diabetes telah menyebabkan 236 ribu kematian di Indonesia pada 2021. Jumlah itu meningkat 58 persen jika dibandingkan dengan pada tahun 2011 yang berjumlah 149 ribu kasus kematian. Selain itu, IDF juga mengungkapkan bahwa pada tahun 2021, Indonesia menjadi negara terbesar keenam di dunia yang memiliki kasus kasus kematian akibat diabetes.
Sementara itu, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan prevalensi diabetes di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter pada umur 15 tahun ke atas sebesar 2 persen. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dari prevalensi sebelumnya yang hanya 1,5 persen di tahun 2013.
Hingga kini, berdasarkan data IDF tahun 2021, Indonesia masih tercatat sebagai negara kelima di dunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 19,47 juta. Hal ini menunjukkan prevalensi diabetes di Indonesia sebesar 10,6 persen dari jumlah penduduk sebanyak 179,72 juta. Sedangkan angka prevalensi diabetes tertinggi di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan berasal dari provinsi DKI Jakarta yang disusul Kalimantan Timur, DI Yogyakarta dan Sulawesi Utara.
Menurut data Riskesdas tahun 2018, tingginya prevalensi penderita diabetes di DKI Jakarta diasumsikan karena adanya akses terhadap deteksi kasus di pelayanan kesehatan di wilayah perkotaan yang cenderung lebih baik dibandingkan di pedesaan. Selain itu, mobilitas masyarakat perkotaan yang sibuk, memungkinkan mereka terpicu risiko diabetes yang berupa kurangnya aktivitas fisik, merokok, dan diet yang tidak seimbang seperti konsumsi gula dan garam yang tidak terkontrol serta konsumsi makanan yang berserat rendah.
Kandungan rokok elektrik penyebab diabetes
Perbedaan utama antara rokok elektronik dengan rokok konvensional ialah terletak pada bahan baku yang digunakan di dalamnya. Jika rokok konvensional menggunakan tembakau di dalamnya, rokok elektronik tidak sematar menggunakan tembakau melainkan cairan atau biasa disebut liquid yang di dalamnya terdapat bahan-bahan yang sebetulnya aman digunakan untuk konsumsi, namun dengan sistem kerja alatnya membuat bahan-bahan dalam liquid yang dihisap menjadi berbahaya untuk konsumsi jangka panjang.
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Dokter Spesialis Penyakit dalam, dr. Edward Faisal, SpPD, yang menyatakan bahwa rokok elektronik dapat menimbulkan radikal bebas, dimana radikal bebas tersebut dapat menyebabkan timbulnya proses penuaan di seluruh tubuh yang kemudian menimbulkan komplikasi dalam tubuh pengguna vape. Selain itu, uap yang dihasilkan dari liquid yang dipanaskan pada vape bersifat karsinogenik dan dapat menyebabkan kanker serta memicu risiko diabetes bagi penggunanya.
“Dari hasil zat kimia (dalam proses vape) yang diubah menjadi radikal bebas itu kemudian bisa menyebabkan atau muncul diabetes. Sebetulnya mengandung juga zat yang namanya nikotin dalam vape, malah nikotin murni. Jadi nikotin yang dihisap akan masuk ke aliran darah kemudian ke otak sekitar waktunya 8-20 detik, lalu akan di metabolisme di hati dan kemudian membuat pankreas tidak bisa bekerja menghasilkan insulin akibatnya jadi peningkatan gula darah,” ungkap Edward kepada Prohealth.id via WhatsApp pada Rabu, 23 November 2022.
Lebih lanjut, dr. Edward mengatakan, risiko diabetes pada pengguna vape diawali dengan prediabetes terlebih dahulu sehingga secara tidak langsung vape memang dapat memicu terjadinya diabetes bagi penggunanya. Ia juga mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian dari Johns Hopkins University Bloomberg School of Public Health, peneliti menemukan sekitar 22 persen pengguna vape akan lebih cepat terkena diabetes yang dalam hal ini adalah diabetes melitus dibandingkan dengan perokok konvensional.
Menurut dr. Edward, kandungan lain dalam vape yang berupa propilen glikol juga merupakan zat adiktif. Meskipun aman untuk digunakan, namun propilen glikol dapat membuat asap yang menyebabkan terjadinya radikal bebas serta bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas dan akan mengalami batuk bagi penggunanya. Kemudian, kandungan zat gliserol pada vape juga sebetulnya secara tidak langsung memiliki kaitan dengan kejadian diabetes.
Bahaya yang mengintai dari penggunaan vape sudah cukup mengikis kesehatan penggunanya. Akan tetapi, faktanya pengguna vape yang justru tertarik untuk menjadi dual user akan membuatnya lebih berisiko terkena diabetes dan bahkan komplikasi. Menurut dr. Edward, dengan menjadi dual user justru dikhawatirkan dapat mempercepat proses terkena diabetesnya.
Kedua produk adiktif tersebut seringkali digunakan sebagai penenang untuk mengatasi kecemasan penggunanya. Namun menurut dr. Edward hal itu merupakan cara yang salah karena dengan aktivitas konsumsi vape dan rokok akan lebih membuat penggunanya terdampak masalah kesehatan. Karenanya, dr. Edward menyarankan agar pecandu rokok sebaiknya berhenti konsumsi produk adiktif dan cobalah untuk mengatasi kecemasan dengan cara lain yang tidak menimbulkan masalah baru seperti masalah kesehatan yang diperoleh dari aktivitas merokok.
“Rasa manis (pada vape) itu memang menenangkan jiwa. Tetapi seseorang harus berhati-hati karena (konsumsi vape) itu membohongi diri sendiri ya. Jadi saran saya hindari vape dan cobalah pecahkan masalah menggunakan hal lain, misalnya dengan meningkatkan spiritual atau berkonsultasi dengan orang yang lebih bijaksana. Atau kalau memang sudah ada gangguan seperti gangguan psikis, cobalah untuk berkonsultasi dengan yang ahli seperti ke dokter penyakit dalam, konsultasi psikosomatik atau psikolog. Selain itu, lakukanlah hal-hal positif dengan melakukan hobi misalnya,” pungkas dr. Edward.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post