Seorang TikTokers (@permestadhyazz) membagikan ceritanya menjadi korban rokok elektronik. Melalui akun TikTok ‘Mamanya Dika’ pada awal Maret 2024, ia membagikan pengalaman bolak-balik rumah sakit.
“Asli, aku baru tahu, kalau vape sama rokok lebih bahaya vape daripada rokok,” ujarnya dikutip dari akun TikToknya.
Sambil terbatuk-batuk di atas kasur rumah sakit, ia mengaku sudah menderita radang paru-paru. Ini akibat setiap hari menggunakan vape atau rokok elektronik.
“Jadi yang mau coba-coba pakai vape atau pod, mending jangan deh,” katanya. Sampai dengan 19 April 2024, unggahan ini telah mencapai 32,7 juta views.
Bolak-balik rumah sakit. Itulah juga awal pengalaman Rico Thomas Dwi Ardhana (18) asal Klaten, yang mengeluhkan sakit paru-paru. Pada Februari 2024, Rico dirawat di rumah sakit akibat faringitis selama 10 hari.
Faringitis adalah peradangan pada tenggorokan secara akut. Selain faringitis, Rico juga menderita bronkitis atau peradangan pada saluran bronkus.
Awalnya dia mulai mengeluhkan sakit pernapasan pada Februari 2023, lalu gejala mulai muncul lagi pada Mei 2023. Masalah pernapasan masih berlanjut pada Agustus 2023 dan kambuh lagi pada Februari 2024 kemarin. Tak jauh berbeda, penyebab Rico sakit ternyata karena dia sudah mengonsumsi rokok selama 7 tahun.
Badan Pusat Statistik (BPS) memang mencatat persentase penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang merokok konvensional sebesar 28,62 persen pada 2023. Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan terjadi penambahan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada 2021. Sedangkan untuk perokok elektronik, GATS 2021 menunjukkan bahwa prevalensi perokok elektrik dewasa lebih dari 15 tahun di Indonesia sebesar 3 persen. Angka prevalensi itu naik 10 kali lipat dalam waktu 10 tahun terakhir.
Menurut Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), FISR, FAPSR, kasus faringitis dan bronkitis pada pengguna vape secara medis memang dapat terjadi. Data-data publikasi di luar negeri sudah banyak yang melaporkan, sedangkan pengalaman sebagai klinisi sudah beberapa kali merawat pasien dengan bronchitis ataupun faringitis pada pengguna vape.
“Kalau dilihat kandungan berbahanya, ada tiga komponen berbahaya pada vape yang dapat berdampak pada kesehatan,” kata Prof. Agus kepada Prohealth.id, Kamis (18/4/2024).
Komponen pertama yang paling berbahaya adalah nikotin. Zat ini menimbulkan adiksi alias ketagihan dan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Kedua, bahan karsinogen. Sejumlah data riset di luar negeri menunjukkan cairan vape mengandung komponen yang meningkatkan risiko kanker tersebut. Ketiga, partikel-partikel halus yang bersifat iritatif dan merangsang peradangan atau inflamasi. Partikel ini menyebabkan saluran nafas dan paru mengalami peradangan sehingga dapat terjadi faringitis, bronkitis, pneumonia, asma, PPOK, bahkan risiko infeksi seperti pneumonia.
Berkaca dari jumlah konsumsi rokok yang masih tinggi khususnya vape, dr. Agus menilai pemasaran rokok elektronik harus dikendalikan. Bahaya dari vape, sudah terbukti sehingga beberapa negara mulai melarang peredaran vape secara bebas.
“Hal ini terkait potensi bahaya kesehatan pada remaja sehingga dilarang di negara tersebut,” ujar dr. Agus.
Oleh karena itu edukasi terkait bahaya vape harus agresif lewat media massa, daring, dan sosial. Dari pemerintah seperti kementerian-kementerian terkait, pemda, organisasi profesi, tenaga kesehatan, organisasi dan tokoh masyarakat, dan keluarga. Artinya, semua harus paham akan bahaya vape dan memberikan pemahaman pada remaja untuk tidak mengonsumsinya.
Guru Besar Bidang Ilmu Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Dr. dr. Erlina Burhan, SpP(K), M.Sc, menyatakan bahaya rokok elektronik yang viral memang sudah tercermin dari data GATS 2021. Yang mana, terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa yaitu dari 60,3 juta pada tahun 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada tahun 2021. Ada juga peningkatan juga 10 kali lipat pengguna rokok elektrik di Indonesia yaitu tahun 2011 adalah 0,3 persen naik ke angka 3 persen pada tahun 2021. Oleh karena itu, penting adanya regulasi berupa pembatasan produksi, promosi, dan pemasaran rokok di kalangan muda untuk mengurangi tingkat konsumsi rokok.
“Kita harus memahami bahwa akibat dari sifat adiktif nikotin yang terkandung dalam rokok, setiap anak muda yang terpapat promosi rokok dan pada akhirnya mencoba berisiko besar menjadi pecandu rokok,” terang Prof. Erlina.
Jika banyak mengonsumsi vape, maka makin tinggi risiko penyakit pernafasan anak muda di masa depan.
Urgensi Kebijakan Vape
Berkacara dari kondisi tersebut, Prof. Agus menegaskan pemerintah jangan menunda regulasi tentang rokok elektronik. Sejumlah kasus viral serupa akan makin marak mengingat belum ada peraturan tentang peredaran dan konsumsi rokok elektronik di Indonesia.
Sementara itu, Prof. Erlina Burhan mengusulkan pemerintah bisa segera menerapkan kebijakan melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berupa pelaksanaan regulasi yang ketat terhadap produksi, penjualan, dan pemasaran produk vape kepada anak muda. Selain itu perlu langkah-langkah penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran terkait dengan penjualan dan distribusi vape kepada remaja.
“Serta pemerintah dapat memperkuat kampanye anti rokok elektronik dan meningkatkan aksesibilitas layanan kesehatan mental dan rehabilitasi bagi individu yang ingin berhenti dari kebiasaan vaping,” tutur Prof. Erlina.
Untuk mengurangi angla perokok di Indonesia, Erlina memiliki beberapa usulan kebijakan.
Pertama, menaikkan cukai rokok, yang dapat membuat harga rokok menjadi lebih mahal. Dengan demikian dapat mengurangi daya beli perokok, terutama golongan masyarakat yang rentan. Cukai rokok elektronik yang tinggi dapat menjadi insentif bagi perokok untuk berhenti merokok atau beralih ke produk yang lebih sehat.
Kedua, penerapan larangan merokok di tempat umum seperti kantor, restoran, sekolah, dan fasilitas umum lainnya. Aturan ini dapat membantu mengurangi paparan asap rokok pasif dan mendorong perokok untuk mengurangi kebiasaan merokok.
Ketiga, mendorong program-program cessation atau berhenti merokok, yang efektif seperti konseling. Program lain adalah dengan terapi penggantian nikotin. Tak lupa dukungan medis yang dapat membantu perokok untuk menghentikan kebiasaan merokoknya.
Kelima, kampanye edukasi yang luas dan berkelanjutan tentang bahaya merokok dan manfaat berhenti merokok yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak negatif merokok terhadap kesehatan.
Keenam, pelarangan atau pembatasan iklan rokok, promosi, dan sponsor kepada masyarakat. Terutama yang berpotensi memengaruhi anak-anak dan remaja.
Ketujuh, regulasi pengiklanan rokok elektrik dan vape dengan ketat. Ini bertujuan untuk mencegah peningkatan penggunaan produk tersebut di kalangan remaja dan masyarakat umum.
Delapan, mendorong industri rokok untuk mengimplementasikan program rokok bebas pada lingkungan kerja. Tujuannya untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan mendukung bagi karyawan yang ingin berhenti merokok.
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menambahkan saat ini Kemenkes sudah mengusulkan beberapa pengaturan terkait vape. Selam aini memang belum ada pengaturan seperti rokok elektronik.
“Nanti melalui regulasi diharapkan bisa mencegah perokok muda dan anak,” ungkap Siti Nadia kepada Prohealth.id.
Penulis: Felicia Tungadi
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post