Jakarta, Prohealth.id – Rokok terbukti memiliki dampak besar dalam kesuksesan pencapaian generasi emas di Indonesia.
Menurut Rita Damayanti selaku Ketua Bidang Pendidikan dan Pemberdayaan Komite Nasional Pengendalian Tembakau, rokok terbukti memberikan dampak multisektoral dari sisi kesehatan, ekonomi, dan mengancam masyarakat menjadi tidak produktif. Salah satu dampak yang paling menonjol adalah rokok yang mengakibatkan stunting pada anak yang membuat potensi anak sebagai individu yang produktif di masa depan makin terancam.
Secara khusus efek tidak produktif ini karena komponen nikotin dalam rokok merusak otak bagian depan alias prefrontal cortex. Sementara otak bagian depan sangat penting dalam perkembangan anak dan remaja.
“Otak bagian depan ini punya fungsi eksekutif untuk berpikir dan mengatur emosi. Jadi, anak-anak yang terkena asap rokok dari orang tua merokok membuat generasinya nanti bukan generasi emas, bukan lagi generasi potensial,” terang Rita dalam kegiatan Sosialisasi Pemahaman Hubungan Perilaku Merokok dan Stunting dari BKKBN, pada Kamis (20/1/2022).
Hal ini berbanding lurus dengan sejumlah riset kesehatan yang mengatakan, sebanyak 40 persen bayi stunting lebih banyak ditemukan pada kelompok masyarakat miskin dengan ayah atau bapak yang merupakan perokok aktif.
Sementara itu, Prof. Muhammad Rizal Martua Damanik selaku Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan juga menyebut, Indonesia sedang menggenjot target penurunan stunting pada 2024 harus mencapai 14 persen. Berdasarkan data status gizi balita pada tahun 2021 lalu, tren prevalensi stunting memang sudah menunjukkan penurunan. Meski demikian, angka prevalensi stunting masih besar yaitu 24,4 persen. Selain itu, sekalipun Indonesia cukup berhasil menurunkan tren namun angka prevalensi ini membuat Indonesia masih masuk dalam tiga besar kasus stunting tertinggi di dunia.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa Indonesia menempati peringkat ke 108 dari 132 negara di dunia jika diurutkan berdasakan prevalensi stunting rendah ke yang tertinggi. “Ini kondisi yang perlu mendapat perhatian kita semua, bagaimana kita menurunkan prevalensi stunting,” ungkap Damanik.
Selain itu, Indonesia juga masih merupakan negara dengan prevalensi stunting tertinggi ketiga di antara negara-negara Asia Tenggara. Padahal, Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting agar bisa menurunkan prevalensi stunting hingga 14 persen.
Guna mewujudkan target tersebut, ada sejumlah strategi yang harus dioptimalkan. Pertama, menurunkan prevalensi stunting. Kedua, meningkatkan kesiapan kehidupan berkeluarga. Ketiga, peningkatan pemenuhan asupan gizi. Keempat, memperbaiki pola asuh. Kelima, meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan. Keenam, meningkatkan akses dan kualitas air minum juga sanitasi.
“Dalam Perpres tersebut, presiden sudah memberikan mandat, bahwa BKKBN merupakan Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting dengan kelompok sasaran adalah remaja, mengingat sampai saat ini konsumsi rokok masih sangat tinggi,” ungkap Damanik.
DAMPAK NEGATIF ROKOK PADA KESEHATAN BAYI
Lebih lanjut, dia menegaskan jika belanja rokok di rumah tangga dikurangi atau bahkan dihilangkan maka kesempatan keluarga miskin belanja makanan bergizi akan semakin besar. “Ini poin penting mencegah stunting dan ini ada tarik-menarik kuat antara kejadian stunting dengan kemiskinan,” ungkapnya.
Dia menambahkan, berdasarkan penelitian dari Universitas Indonesia dan Imperial College London, prevalensi perokok pasif di Indonesia juga masih sangat besar yaitu 78,4 persen dibandingkan negara lain. Padahal, perempuan dan anak sebagai kelompok rentan terhadap asap rokok.
“Paparan rokok selama kehamilan, dikaitkan dengan risiko kematian dan kesakitan pada bayi termasuk lahir mati, prematur, keguguran, dan berat badan lahir rendah membuat potensi kejadian ini menjadi lebih besar,” sambungnya.
Oleh karena itu, ibu hamil yang menjadi perokok pasif berimbas pada kehamilan yang rentan dengan rata-rata bayi yang dilahirkan bisa 71,6 gram lebih kecil alias 16 persen lebih kecil berat badannya dari bayi sehat. Dampak lain, bayi yang lahir bisa berukuran lebih kecil 51 persen dari ukuran bayi sehat.
Tak hanya itu, Rita dari Komnas PT juga mengingatkan, rokok yang berpotensi merusak otak bagian depan secara keseluruhan sangat mungkin menyebabkan brain damage. Artinya, penurunan kerja otak bagian depan menurunkan pula prospective memory atau kemampuan mengingat seorang anak. Kondisi ini membuat otak menjadi kurang aktif bekerja.
Oleh karena itu, Rita mendukung agar pemerintah mendorong masyarakat dalam enam pilar pengendalian tembakau.
Secara umum, pilar ini berupa upaya meningkatkan peringatan kesehatan bergambar sebagai upaya edukasi publik. “Hal ini penting karena kita sedang berjuang agar peringatan bergambar bisa lebih dari 40 persen,” terang Rita.
Selain itu pentingnya pembatasan terhadap promosi dan sponsor rokok dalam kegiatan-kegiatan anak dan remaja. Tak lupa pentingnya peningkatan harga rokok agar lebih sulit dijangkau anak beserta perluasan fasilitas Upaya Berhenti Merokok (UBM) di faskes publik maupun swasta.
“Dalam mewujudkan ini, tenaga kesehatan harus menjadi garda terdepan yang mengedukasi masyarakat,” sambung Rita.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post