Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 20 tahun lalu menyebutkan perusahaan rokok tidak bertanggung jawab. Hal ini karena barang hasil produksi dapat mengakibatkan sakit dan meninggal bagi konsumennya. Artinya, ada kontradiksi inheren dalam relasi produksi-konsumsi rokok.
“Kalau memahami benar tanggung jawab perusahaan itu seperti apa. Maka sebenarnya tanggung jawab perusahaan rokok seharusnya dituntut,” ujar Jalal dari Staf Bidang Kesehatan, Ekonomi, dan Lingkungan Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT).
Dari fakta ini, Jalal menyebut industri rokok secara etika bisnis merupakan contoh perusahaan yang tidak bertanggung jawab.
Perusahaan rokok juga salah satu jenis perusahaan yang paling banyak berdonasi melalui corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial.
Dalam webinar “Dampak Filter Plastik Puntung Rokok Terhadap Kesehatan Dan Lingkungan” dari Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) bersama Lentera Anak dan Nexus3 Foundation pada Selasa, 27 Februari 2024, Jalal menyatakan, arti tanggung jawab sosial tidak sesederhana berdonasi.
“Jadi kalau mau menimbang perusahaan itu melakukan tanggung jawab sosial atau tidak, itu bukan banyak-banyakan duit yang digelontorin. Tetapi apa sebenarnya dampak dari produksi dan konsumsi?”
Dampak Industri
Jalal pun menerangkan lebih lanjut dampak lingkungan dari produksi dan konsumsi rokok. Kalau industri melawan pembangunan berkelanjutan sesungguhnya hal tersebut sudah bertentangan dengan gagasan tanggung jawab sosial. Definisi dari ISO 26 000 menguraikan prinsip-prinsip dari tanggungjawab sosial adalah akuntabel, transparansi, dan etis.
Sebagai contoh, jika membahas akuntabilitas, perlu kembali mempertanyakan komitmen akuntabilitas perusahaan rokok terhadap dampaknya seperti orang sakit dan orang yang meninggal.
“Di Indonesia, orang meninggal karena rokok itu dalam setahun sudah di atas 290 ribu orang yang meninggal, yang sakit jutaan, tetapi apa itu pernah dilaporkan oleh perusahaannya?”
Sebagai seorang akademisi, Jalal menilai industri rokok menyembunyikan dampak lingkungan. Misalnya; perubahan iklim akibat pertanian tembakau hingga puntung rokok tak tersampaikan secara terbuka.
Padahal puntung rokok menjadi sampah dengan jumlah yang sangat besar dan beracun. Masyarakat global paling banyak membuang puntung rokok sembarangan. Setiap tahun sekitar 4,5 triliun filter rokok terbuang ke lingkungan. Akibatnya, hitungan untuk pembiayaan mengurus sampah puntung rokok harus jeli. Demikian pula dengan sampah rokok elektrik yang kian menumpuk dan memusingkan.
Meski ada percontohan pengelolaan limbah puntung rokok, tetapi sebagian besar puntung tetap dibuang sembarangan. Selain itu tidak ada penyertaan tentang laporan soal pengelolaan dan perencanaan atas limbah tersebut.
“Saya agak khawatir ini sebetulnya bentuk CSR washing. Karena ini terutama urusan lingkungan, ini adalah green washing industri rokok,” papar Jalal.
Terkait berbagai hal tersebut maka Jalal merekomendasikan agar perhitungan cukai rokok perlu memastikan dengan dampak antara ekonomi kesehatan dan dampak lingkungan. Di samping itu juga perlu mendorong petani tembakau beralih ke pertanian berkelanjutan.
Sampah Rokok
Sampah puntung rokok dengan mudah terbawa melalui aliran air hujan melalui sistem drainase dan akhirnya sampai ke sungai, sungai lokal, dan jalur air lainnya. Berdasarkan urvei Kualitas Lingkungan Lokal di Inggris pada 2017 menunjukkan bahwa 52 persen perokok yang merokok setiap hari menganggap membuang rokok di saluran air adalah hal yang lumrah.
Senior Advisor Nexus3 Foundation sekaligus Dewan Pengarah Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) Yuyun Ismawati mengatakan puntung rokok adalah benda paling banyak berserakan di bumi. Selain itu terdapat berbagai macam zat berbahaya beracun yang terkandung di dalamnya sehingga jika terbuang ke dalam air maka akan dapat mencemari biota-biota.
“Dalam jumlah dan volume tertentu dapat membunuh 50 persen populasi yang ada,” terang Yuyun.
Berdasarkan laporan WHO, bahan kimia berbahaya yang terlarut dari filter rokok bersifat toksik bagi lingkungan. Dalam filter rokok terkandung nikotin, arsenik, dan logam berat.
Setiap rokok mengandung lebih dari 7.000 bahan kimia dan penelitian menunjukkan satu filter dapat mencemari hingga 40 liter air. Sedangkan filter pada puntung rokok membutuhkan waktu sedikitnya 15 tahun untuk terurai. Ribuan serat mikroplastik terbentuk selama proses ini. Karena puntung filter yang terdapat di ujung rokok terbuat dari asetat selulosa yang dapat terdegradasi oleh cahaya.
Artinya, terang Yuyun, selama 40 tahun produsen rokok telah membohongi publik. Industri memang memproduksi cellulose acetate yang terkandung dalam filter rokok. Dalam kondisi normal, produk yang terdapat kandungan tersebut termasuk produk cacat.
“Dalam campuran filter itu juga bermacam-macam ditambahkan supaya tidak terbakar dan tidak basah. Racunnya sangat banyak,” lanjut Yuyun.
Yuyun meminta pemerintah harus serius untuk melakukan penilaian atas dampak kesehatan dan lingkungan. Lalu pentingnya menggalang kebiasaan mengklasifikasikan sampah rokok. Terakhir, pentingnya pemerintah meninjau kembali peraturan terkait cukai rokok.
Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari menambahkan, urgensi pstematika perhitungan khusus cukai rokok atas dampak terhadap ekonomi kesehatan. Lisda menerangkan bahwa Indonesia memperoleh penerimaan dari cukai rokok yang tinggi hingga Rp126 triliun. Namun, cukai bukanlah pendapatan, tetapi merupakan pajak dosa karena membahayakan kesehatan dan lingkungan.
“Biaya cukai RP126 triliun itu jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara untuk penyakit yang disebabkan karena rokok itu mencapai tiga kali lipatnya,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan, bahwa berdasarkan praktek terbaik dari WHO, cukai rokok itu seharusnya 80 persen. Sementara aturan dalam undang-undang di Indonesia saat ini hanya 57 persen. “Prakteknya masih jauh dari itu.”
Kepala Sub Direktorat Tata Laksana Produsen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ujang Solihin mengamini rekomendasi para pakar tentang sampah puntung rokok. Ia pun tetap menekankan kebutuhan edukasi kepada warga atas dampak dari sampah puntung rokok itu sendiri.
Ujang juga membenarkan bahwa PR terbesar pemerintah, khususnya KLHK, ada dua. Pertama, menyatakan sampah ini bisa masuk kategori sampah B3. Kedua, terkait penelitian dan pengembangan, penting bagi Indonesia untuk melakukan kajian dampak ini terhadap lingkungan dan ekosistem.
“Terhadap kesehatan juga, bukan dari sisi tembakaunya saja, tetapi juga sampahnya. Kami juga sepakat bahwa pemerintah perlu menyusun peta jalan pengurangan sampah dari puntung rokok,” pungkas Ujang.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post