Jakarta, Prohealth.id – Sejumlah organisasi anak muda di Indonesia menunjukkan keberpihakannya pada pemerintah agar konsisten mewujudkan Indonesia Emas.
Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) bersama dengan 18 (delapan belas) organisasi muda lainnya yaitu Kolaborasi Bumi, Sinergi Bersama Mengurangi Asap Rokok di Kulon Progo (SemarKu), Himpunan Mahasiswa Public Health (HIMPHA) Bhakti Husada Mulia Madiun, Tata Muda, Kita Sayang Remaja (Kisara) PKBI – Bali, Pergerakan Anggota Muda IAKMI (PAMI) Nasional, Social Force in Action for Tobacco Control (SFA for TC), Toco Ranger, Aksi Kebaikan UIN Jakarta, Hasanuddin Contact, Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI), Forum Anak Banjarmasin, Himpunan Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Universitas Siliwangi, Pemuda Penggerak Solo, Ruandu Foundation, Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), 9 CM Indonesia, dan Emancipate Indonesia mengirimkan surat dukungan untuk mendorong Presiden Joko Widodo agar dapat menutup periode terakhirnya dengan mewariskan kebijakan yang jelas warna keberpihakannya pada pengendalian konsumsi rokok.
Menurut sejumlah organisasi anak muda, cita-cita luhur ini hanya dapat diwujudkan dengan segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksana Undang-Undang Kesehatan (RPP Kesehatan) dengan substansi yang komprehensif dan jelas berpihak pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat bukan kepentingan konglomerat industri rokok.
Gugatan ini juga bukan tanpa alasan. Angka konsumsi rokok di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Data menunjukkan bahwa prevalensi perokok anak di Indonesia naik dari 7,2 persen di 2013 menjadi 9,1 persen, atau 3,2 juta anak pada berdasarkan Riskesdas, 2018. Selain itu, prevalensi perokok elektronik naik sepuluh kali lipat dalam satu decade dari 2011 sebesar 0,3 persen menjadi 3 persen pada tahun 2021 berdasarkan data dari Global Adult Tobacco Survey (GATS).
Artinya, Indonesia gagal mencapai 5,4 persen target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 untuk penurunan prevalensi perokok usia 10-18 tahun.
Semakin mencemaskan dengan adanya tren peningkatan iklan rokok di internet, dari 1,9 persen pada tahun 2011 meningkat tajam menjadi 21,4 persen pada tahun 2021.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sudah mengingatkan bahwa tanpa adanya regulasi yang kuat dan bermakna, pada 2030 prevalensi perokok anak di Indonesia bisa mencapai 16 persen atau sekitar 6 juta anak. Ini ancaman nyata, pemerintah akan kembali gagal pada RPJMN 2024 mendatang untuk menurunkan prevalensi perokok usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen.
Candu konsumsi rokok yang merugikan kesehatan dan ekonomi perokok dan lingkungannya jelas menghambat pembangunan manusia secara holistik. Contohnya; di Indonesia, rokok kretek filter menjadi komoditas penyumbang garis kemiskinan kedua sebesar 12,14 persen di perkotaan dan 11,34 persen di pedesaan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2023. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan produk sumber protein seperti telur ataupun tempe. Konsumsi rokok pada rumah tangga juga terbukti menjadi faktor terjadinya stunting pada anak.
Hasil riset PKJS UI menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal dengan orang tua yang tidak merokok akan tumbuh rata-rata 1,5 kg lebih berat dan 0.34 cm lebih tinggi daripada mereka yang tinggal dengan orang tua perokok kronis.
Manik Marganamahendra selaku Ketua Umum IYCTC, menegaskan berkaca dari kondisi ini, tanpa adanya intervensi yang progresif untuk pengendalian konsumsi rokok ini, dikhawatirkan dampak multisektor lainnya tidak terhindarkan dan implikasinya adalah pada kualitas sumber daya manusia Indonesia selanjutnya.
Ia menilai, RPP Kesehatan sebagai peraturan turunan dari UU Kesehatan perlu segera mendapatkan perhatian Presiden untuk segera diselesaikan. Apalagi, selama hampir dua periode jabatan sebagai Presiden, Presiden Jokowi belum menunjukkan kejelasan keberpihakannya dalam masalah pengendalian konsumsi rokok dalam taraf kebijakan. Hingga hari ini, Indonesia belum juga meratifikasi FCTC, dan terus menjadi juara perokok laki-laki terbanyak di dunia.
“Tidak perlu jauh ke perjanjian internasional, revisi PP 109 tahun 2012 yang seharusnya menjadi peluang bagi Presiden Jokowi untuk meninggalkan legacy bagi generasi penerus, melindungi anak muda dari rokok yang mengandung zat adiktif, tertunda hingga hari ini,” ucap Manik.
Manik Marganamahendra kemudian kembali menegaskan bahwa rokok memang legal tetapi ia tidak normal, artinya konsumsinya merugikan penggunanya dan lingkungan, maka jelas harus dikendalikan bukan justru diberi keleluasaan.
“Jika benar Indonesia ingin menjadi negara maju, maka sudah semestinya perekonomian Indonesia tidak bergantung pada produk yang justru berkontribusi pada garis kemiskinan. Sebuah produk industri dalam suatu negara mencerminkan bagaimana peradaban dalam negara tersebut. Saatnya mengambil sikap dan menunjukkan posisi keberpihakan,” tegas Manik.
Sementara itu, Nadhir Wardhana selaku Sekretaris Jenderal ISMKMI menyatakan pentingnya peran Presiden dalam percepatan pembahasan RPP Kesehatan yang dilihat memiliki banyak tarik ulur kepentingan. Ia menambahkan bahwa paradigma sehat dan transformasi sistem kesehatan dalam semangat UU Kesehatan Omnibus Law seharusnya tertuang dalam RPP Kesehatan yang juga progresif.
“Maka tarik ulur kepentingan yang hari ini terjadi harapannya tidak membatalkan keberlangsungan substansi dalam RPP Kesehatan yang jelas melindungi orang muda dari iklan, promosi dan sponsorship rokok hingga penjualan batangan yang jelas konsumennya adalah orang muda,” tutur Nadhir.
Ni Made Shellasih, Program Manager IYCTC menambahkan, selama proses pembahasan RPP Kesehatan ini berjalan, entah sudah ada berapa banyak anak-anak yang baru terpapar iklan, promosi dan sponsorship rokok baik konvensional maupun elektronik. Ia mengingatkan, iklan dan sponsor rokok bukan saja berniat memperkenalkan produk baru rokok tetapi juga melemahkan daya kritis masyarakat dan jelas membingungkan anak. Membuat masyarakat dan anak tidak percaya bahwa rokok betul produk berbahaya. Angka produksi iklan rokok mencapai triliunan rupiah, jelas investasi fantastis ini harus memastikan perokok pemula demi kelangsungan bisnisnya.
“Jika kita tidak pernah berani mengeluarkan kebijakan yang progresif dan tegas pada masalah ini maka selamanya epidemi tembakau akan menghantui orang muda di Indonesia dan bonus demografi hanya akan menjadi abu demografi, karena potensi orang mudanya sudah habis ‘terbakar’ bersama asap rokok,” jelas Shella.
Sarah Muthiah Widad, mewakili SFA for TC menyatakan, bahwa melalui surat dukungan ini, rekomendasi perwakilan organisasi orang muda kepada Presiden dapat didengar dan dimaknai sebagai suara kepentingan kami yang ingin dilindungi oleh kebijakan pemerintah.
“Perspektif kesehatan tidak boleh dinilai sebagai sebuah kerugian ekonomi melainkan investasi sumber daya manusia untuk kemajuan Indonesia di masa depan,” tambahnya.
Discussion about this post