Jakarta, Prohealth.id – Desakan pengendalian konsumsi rokok yang lebih tegas disuarakan elemen sipil jejaring pengendalian tembakau seiring tengah disusunnya RPP Kesehatan.
Center of Human and Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta (CHED ITB-AD) menilai pengaturan zat adiktif dalam RPP Kesehatan harus menjadi prioritas.
Kepala Pusat Studi CHED ITB-AD Roosita Meilani Dewi mengatakan, hasil The Indonesian Family Life Survey ke-5 menyebutkan bahwa prevalensi merokok di Indonesia mencapai 58 persen dengan mayoritas perokok adalah laki-laki. Data ini juga mengungkapkan bahwa rata-rata perokok mengkonsumsi 12 batang rokok per hari dan pengeluaran rata-rata untuk merokok mencapai Rp56.000 per minggu.
Menurut Roosita, kebijakan kesehatan terutama pengendalian zat adiktif harus diutamakan dan sejalan dengan pembangunan nasional jangka panjang dan visi Indonesia Emas 2045. Kebijakan kesehatan juga sangat penting untuk mendukung keberhasilan pencapaian pembangunan ekonomi, bukan malah sebaliknya.
CHED ITB-AD Jakarta bersama elemen jejaring pengendalian tembakau mendukung penyusunan RPP Kesehatan yang berpihak pada pengendalian konsumsi rokok agar kualitas kesehatan masyarakat Indonesia meningkat. Kesehatan yang lebih baik bagi masyarakat Indonesia diharapkan dapat menjadi pendorong utama dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan produktivitas bangsa.
Rokok legal tapi perlu dilarang
Sementara itu, Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) menolak pendapat bahwa iklan rokok tidak dapat dilarang karena produk legal. Iklan rokok justru dapat dilarang meskipun rokok termasuk produk legal. Sebab, rokok merupakan bukan barang normal dan membahayakan kesehatan sehingga perlu dilarang atau dibatasi penggunaannya.
Ketua Umum Komnas PT Hasbullah Thabrany menegaskan aturan atas barang legal sebenarnya masih bisa dilarang. Contohnya, tidak pakai helm saat mengendarai motor maupun tidak memakai sabuk keselamatan saat mengendarai mobil dilarang dan dikenakan hukuman padahal helm maupun naik motor atau mobil merupakan perbuatan yang legal.
“Argumentasi rokok bukan produk ilegal merupakan upaya-upaya yang dilakukan industri untuk menghalang-halangi pengaturan zat adiktif dalam RPP Kesehatan. Hati-hati pada delay tactics industri dan berbagai cara untuk mencegah rakyat jadi sehat, industri tetap kaya dari menjual produk berbahaya,” tegas Hasbullah.
Hasbullah menambahkan konsumsi rokok harus dikendalikan. Salah satu caranya melarang iklan rokok serta menerapkan aturan kawasan tanpa rokok. Produk rokok juga tidak diperbolehkan menjadi sponsor kegiatan sosial maupun olah raga, melarang penjualan rokok secara eceran atau per batang untuk menekan kemudahan anak-anak dan keluarga miskin mengakses rokok.
“Pengaturan zat adiktif dalam RPP Kesehatan bertujuan mencegah hal-hal yang mendorong orang merokok terutama pada anak, mempersulit akses terhadap rokok konvensional maupun elektronik, memberikan pelayanan terintegrasi dan perlindungan kepada masyarakat dari bahaya rokok, memaksimalkan edukasi dan kampanye masif pada masyarakat dan menjadikan pengendalian konsumsi rokok sebagai tanggung jawab bersama,” jelas Hasbullah.
Ia mengingatkan Indonesia tergolong negara yang lemah dalam pengendalian rokok. Banyak negara di dunia termasuk Asean yang sudah melarang iklan rokok di semua jenis media sejak belasan tahun lalu. Indonesia akan menjadi negara yang primitif dan fatal bila tidak melarang iklan rokok.
“Pembangunan ekonomi sangat bergantung pada kualitas SDM, aspek kesehatan menjadi salah satu pilar terpenting. Pemerintah harus belajar dari pandemi COVID-19. Saat ini jutaan masyarakat Indonesia terjebak pada kemiskinan dan masalah ekonomi berkepanjangan, bertahun-tahun belanja kedua terbesar masyarakat miskin justru rokok. Paradoks pengendalian tembakau di Indonesia harus segera dihentikan,” ujar Hasbullah.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post