Jakarta, Prohealth.id – Pasca pengesahan Undang-Undang (UU) Omnibus Law Kesehatan dan perumusan RPP Kesehatan, bergulir isu akan terhantamnya bisnis-bisnis yang berhubungan dengan industri tembakau.
Melalui pesan singkat yang diterima Prohealth.id, Senin (4/12/2023), Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menyatakan bahwa narasi berbeda jauh dengan UU Cipta Kerja sebelumnya yang justru banyak ditentang buruh karena dianggap akan merugikan, kian berbeda dengan RPP Kesehatan yang justru mati-matian ditentang oleh para pemilik bisnis. Hal ini menunjukkan bagaimana perjuangan kelas tampaknya buyar dan dibiaskan dalam dua peraturan ini.
Masyarakat kelas pekerja seolah diminta memahami kepentingan pemilik industri dengan harus berlapang dada menerima pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja meski Mahkamah Konstitusi (MK) memutus UU Cipta Kerja ini inkonstitusional bersyarat. Namun, kelas pemodal, dalam hal ini industri tembakau, selalu bermain narasi seolah menjadi korban dari RPP Kesehatan yang bahkan belum disahkan. Publik kesulitan memahami bahwa selama ini, buruh dan petani tembakau nyatanya berada dalam kondisi rentan yang diakibatkan oleh industri tembakau itu sendiri.
Pada tahun 2022 volume impor tembakau jauh melebihi volume ekspor tembakau Indonesia ke luar negeri, mencapai 15,1 ribu ton impor dibandingkan dengan 12,9 ribu ton ekspor per Oktober 2022. Belum lagi, seringkali tembakau lokal juga tidak terserap optimal oleh pabrik dengan dalih kualitas tembakau. Padahal selama ini Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) justru kurang lebih 50 persen dari total DBHCHT dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat termasuk peningkatan kualitas bahan baku dan pendampingan petani tembakau. Hal yang ironis adalah produksi tembakau di Indonesia memang masih kurang dari kebutuhan industri; namun demikian, tidak semua hasil panen petani tembakau diserap oleh industri.
Pada tahun 2021 saja, ribuan ton daun tembakau di Temanggung tidak berhasil terserap pabrik. Selain itu, narasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal tentu berlebihan. Hal ini dikarenakan industri tembakau sendiri yang mengetahui dan memahami bahwa mayoritas produk yang disukai oleh masyarakat Indonesia adalah jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang produksinya sudah jelas menggunakan efisiensi mesin bukan padat karya.
Laporan Kemenkeu tahun 2021 menunjukkan volume penjualan SKM sendiri mencapai 215,1 miliar batang, sementara Sigaret Putih Mesin (SPM) mencapai 9,4 miliar batang dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) mencapai 95,7 miliar batang. Angka diatas jelas menunjukkan bahwa produksi rokok kretek mesin jauh lebih besar dibandingkan dengan rokok kretek tangan. Beberapa industri rokok justru melakukan PHK karena mekanisasi bukan karena kebijakan publik terkait dengan masalah kesehatan. Hal ini menegaskan bahwa kepentingan industri rokok bukanlah pada pembelaan keberlangsungan dan kesejahteraan buruh melainkan kepentingan pasar yang sesuai dengan produk mereka.
Belum selesai dengan rokok konvensional, industri rokok elektronik mulai hadir dan saling berkompetisi. Ni Made Shellasih, Program Manager Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), menjelaskan bahwa hadirnya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) kesehatan yang mempersatukan aturan ini justru semestinya dipandang sebagai wasit dari kompetisi dua produk berbahaya bagi kesehatan ini.
Sebagai panduan yang konsisten, RPP Kesehatan dapat memberikan kerangka kerja yang setara untuk rokok konvensional dan rokok elektronik, melindungi masyarakat dari efek buruknya, serta mengarahkan industri rokok elektronik agar mematuhi standar kesehatan yang sama seperti rokok konvensional.
Shella menjelaskan, momentum Pemilu seringkali menjadi hambatan untuk tembusnya kebijakan yang pro pada perlindungan anak dan kesehatan masyarakat. Sebagai contoh kasus FCTC batal menjelang pemilu, serta cukai rokok tidak pernah naik ketika tahun pemilu. Hal ini mengisyaratkan lobi kuat yang terjadi dari industri tembakau ke pemangku kebijakan.
“Upaya untuk menyelamatkan kepentingan ekonomi industri terkadang dapat menggagalkan langkah-langkah kritis dalam perlindungan kesehatan masyarakat dan anak-anak,” tambah Shella.
Sementara itu Daniel Beltsazar, Program and Research Officer IYCTC, menyampaikan bahwa selama ini kebijakan pengendalian konsumsi rokok sudah terlalu banyak mengakomodir kepentingan yang secara data sebenarnya berbahaya bagi kesehatan. Seperti contoh, klasifikasi rokok sebagai narkotika bahkan sudah tidak dimasukkan di dalam UU Kesehatan. Meski BNN sendiri pernah menyatakan bahwa kandungan nikotin dalam rokok sebenarnya adalah narkotika jenis rendah.
Daniel mengingatkan, RPP Kesehatan harus kuat demi melindungi orang muda dan mencapai bonus demografi 2045. Jika tidak, anak dan orang muda akan terus berisiko terpapar candu dan racun dari rokok. Anak-anak dan orang muda adalah kelompok rentan dari masalah rokok ini.
“Jika negara mengabaikan hak anak dan masyarakat untuk menghirup udara bersih dan sehat maka sejatinya pemerintah telah melakukan pelanggaran HAM by omission,” tutur Daniel.
Untuk itu, IYCTC mendesak kepada Presiden Joko Widodo dan Kementerian Kesehatan, agar kebijakan pengendalian konsumsi rokok di RPP Kesehatan diperkuat dan segera disahkan karena hingga detik ini justru perlindungan anak dan masyarakat dari adiksi rokok lah yang belum diatur, serta masih lemahnya keberpihakan negara untuk menanggulangi krisis epidemi tembakau di Indonesia selama bertahun-tahun.
Penting untuk menghindari pengulangan kebuntuan revisi dan lemahnya PP 109 tahun 2012 dalam melindungi masyarakat dari dampak kesehatan yang disebabkan oleh produk tembakau yang mengandung zat adiktif., Daniel menambahkan bahwa industri rokok selalu berlindung dibalik narasi buruh dan petani, kenyataannya masih banyak buruh dan petani tembakau yang belum sejahtera hingga hari ini. Hal ini berbanding terbalik dengan grafik ekonomi yang selalu menunjukkan bahwa hampir setiap tahunnya produksi rokok justru terus meningkat, janggalnya petani dan buruh masih kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Ditambah lagi kenyataan bahwa anak dan orang muda terus diserang dengan produk beracun industri rokok, Maka regulasi melalui RPP Kesehatan yang kuat sangat mendesak,” tutup Daniel.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post