Penyandang disabilitas menghadapi kesulitan dalam mengadaptasi diri terhadap perubahan lingkungan yang terjadi akibat perubahan iklim.
Keterbatasan akses terhadap layanan publik, seperti pendidikan dan pekerjaan, membuat disabilitas makin rentan terhadap dampak perubahan iklim. Contohnya, penyandang disabilitas yang bergantung pada pekerjaan informal sering mengalami penurunan pendapatan karena sulitnya menjalankan pekerjaan mereka akibat cuaca ekstrem.
Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia, Yeni Rosa Damayanti, menekankan penyandang disabilitas terpukul lebih berat oleh perubahan iklim karena keterbatasan akses dalam beradaptasi.
“Kurangnya akses kelompok rentan ini terhadap layanan publik, termasuk pendidikan, menyebabkan mereka tertinggal dan kesulitan menghadapi perubahan iklim,” jelasnya dalam Webinar Mendorong RUU Keadilan Iklim yang Berpihak Pada Penyandang Disabilitas pada Kamis, 4 April 2024 lalu.
Ia menceritakan bahwa dampak dari minimnya akses yang ada sangat terasa bagi disabilitas saat ini ketika berbicara tentang perubahan iklim. Bagi penyandang disabilitas, dampak kondisi ini bisa jauh lebih besar daripada mereka yang tidak memiliki disabilitas. Yeni memberi contoh, dari segi ekonomi, banyak penyandang disabilitas mengandalkan pekerjaan informal seperti menjadi penjual kerupuk keliling. Namun ketika cuaca panas ekstrem akibat perubahan iklim penyandang disabilitas kesulitan menjalankan pekerjaan tersebut.
“Ini pada akhirnya mengakibatkan penurunan pendapatan harian mereka,” bebernya.
Yeni juga menyinggung kasus lain di mana penyandang disabilitas, terutama di daerah terpencil, bekerja sebagai buruh cuci harian dengan mengandalkan sumber mata air terdekat. Saat musim kemarau menjadi lebih panjang akibat perubahan iklim, penyandang disabilitas harus mencari sumber air baru untuk tetap menghasilkan pendapatan.
“Sehingga mereka kehilangan waktu berjualan yang signifikan, bahkan kehilangan mata pencaharian. Dampak finansial bagi mereka jauh lebih besar karena pilihan pekerjaan yang terbatas,” imbuh Yeni.
Yeni berharap bahwa pihak-pihak terkait akan melibatkan penyandang disabilitas dalam perencanaan, tindakan, kebijakan, dan undang-undang terkait perubahan iklim, melalui penyediaan informasi, yang harus didorong oleh masyarakat sipil.
“Konsep perubahan iklim seringkali melahirkan ketidakadilan dalam regulasi dan kebijakan, yang pada akhirnya dapat merugikan lingkungan dan manusia,” jelasnya.
Direktur Eksekutif PIKUL, Torry Kuswardono, menyoroti pentingnya RUU Keadilan Iklim sebagai solusi yang harus didorong oleh masyarakat sipil. Menurut Torry, konsep perubahan iklim seringkali melahirkan ketidakadilan dalam regulasi dan kebijakan, yang pada akhirnya dapat merugikan lingkungan dan manusia.
Kuswardono menambahkan bahwa penggunaan emisi karbon yang tidak tepat seringkali menghasilkan dampak yang tidak diinginkan, seperti dalam kasus mobil listrik yang pada akhirnya merusak lingkungan dengan produksi baterai. Dia juga menyoroti ketidakadilan dalam lokasi proyek lingkungan, seperti reklamasi pantai, yang dapat merugikan nelayan lokal.
Pembiaran terhadap korban dan kurangnya pendataan juga menjadi masalah serius, menurut Kuswardono. Dia menegaskan bahwa RUU Keadilan Iklim menjadi instrumen penting untuk mengatasi potensi kerugian di masa depan akibat perubahan iklim jika tidak ada regulasi yang tegas.
Torry menambahkan, penggunaan emisi karbon yang tidak tepat seringkali menghasilkan dampak negatif. Misalnya dalam kasus mobil listrik yang akhirnya merusak lingkungan dengan produksi baterai.
“Ketidakadilan dalam lokasi proyek lingkungan, seperti reklamasi pantai, yang dapat merugikan nelayan lokal,” kata Torry.
Pembiaran terhadap korban dan kurangnya pendataan juga menjadi masalah serius. Torry menilai RUU Keadilan Iklim menjadi instrumen penting untuk mengatasi potensi kerugian di masa depan akibat perubahan iklim jika tidak ada regulasi yang tegas.
Sementara itu, Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Syaharani menjelaskan terbentuknya Aliansi RUU Keadilan Iklim (Aruki) sebagai gerakan masyarakat sipil baru. Tujuannya untuk mendorong RUU Keadilan Iklim di Indonesia. Aruki terdiri dari berbagai organisasi non-pemerintah, aktivis lingkungan, akademisi, dan individu yang peduli terhadap isu perubahan iklim dan keadilan lingkungan.
Tujuan utama Aruki adalah memperjuangkan penetapan undang-undang untuk mengatasi tantangan perubahan iklim. Metode pendekatannya berkeadilan bagi semua pihak, termasuk masyarakat yang rentan dan terdampak secara langsung oleh perubahan iklim. Aruki melakukan berbagai kegiatan advokasi, seperti penyuluhan, kampanye publik, pertemuan dengan pembuat kebijakan, dan diskusi bersama para pemangku kepentingan terkait.
“Aruki aktif dalam menyuarakan aspirasi masyarakat melalui media massa dan platform online,” bebernya.
Syahrani menjamin Aruki berupaya untuk membangun kesadaran masyarakat dan mendorong pemerintah untuk bertindak secara konkret dalam menghadapi tantangan perubahan iklim melalui RUU Keadilan Iklim.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post