Pada tanggal 7 Juni 2023 lalu, secara tertutup Komisi IX DPR RI mengadakan pertemuan dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Pertemuan ini bertujuan untuk audiensi sekaligus memberikan masukan untuk kepentingan anak-anak, khususnya anak penderita kanker, anak korban zat adiktif, anak dengan kebutuhan khusus, juga anak-anak disabilitas, dalam rumusan RUU Kesehatan yang sedang digodok.
Usai audiensi tersebut, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena menyampaikan bahwa kedatangan KPAI dengan Kelompok Kerja (Pokja) RUU Kesehatan membawa dampak yang cukup besar. Ia menilai, seandaianya jika Pokja RUU Kesehatan KPAI datang audiensi lebih awal, bisa mengantisipasi banyak pasal yang belum tentu ideal untuk kelompok anak. Padahal, dalam peristiwa Kejadian Luar Biasa isu kesehatan, yang menjadi korban utama adalah perempuan dan anak, dan kelompok kelompok rentan lain.
“Ini karena untuk Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Kesehatan sudah memasuki ujung atau sudah di serahkan ke Tim Perumus atau Timus. Tapi bagaimanapun juga bahan dari KPAI penting bagi kami, guna Timus merapihkan substansi, narasi, diksi, kata dan kalimat. Nanti terkait perspektif anak yang diberikan KPAI ini akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan,” kata Melkiades.
Problem kesehatan anak memang tak kunjung habis sejak dua tahun terakhir. Sebut saja; stunting, gizi buruk, gagal ginjal dan lainnya. Mirisnya, tidak semua kasus kesehatan anak juga mendapatkan bantuan dari pemerintah.
“Kami sebenarnya di DPR RI sudah memutus di ruangan dewan, agar para korban gagal ginjal dapat perlakuan dari negara. Baik untuk kesehatannya saat ini dan kedepan, maupun ganti rugi. Ketika kami rapat di dewan Kementerian Kesehatan ok, tetapi kemudian di jawab Menteri Sosial tidak bisa. Padahal itu putusan resmi. Seharusnya Negara bertanggung jawab terhadap anak anak gagal ginjal,” beber Melki.
Untuk itu, Melkiades mengapresiasi masukan-masukan dari KPAI untuk mengingatkan Kementerian Kesehatan agar UU Kesehatan ini lebih berperspektif anak. Berkaca dari kasus gagal ginjal pada anak, ia menegaskan RUU Kesehatan harus jadi pintu masuk dimana negara mesti hadir, dengan atau tanpa melibatkan swasta, memastikan jaminan kesehatan masyarakat.
“Jadi swasta di kasus gagal ginjal anak akibat obat sirup mestinya [mereka] ganti rugi. Saat ini kita tidak punya mekanisme, kita lupa ini. Untuk itu kita dorong ada semacam ganti rugi atau kompensasi dari Negara untuk korban semacam ini. Sehingga kejadian seperti yang disampaikan Menteri Sosial tidak perlu terjadi,” sambungnya.
Kepentingan anak dan perempuan, hanyalah segelintir dari kepentingan lain yang sepertinya belum terakomodasi dalam RUU Kesehatan. Berkaca dari audiensi dengan KPAI yang ‘kurang cepat’, dalam Diskusi Publik bertajuk Kepentingan Publik yang Belum Ada dalam RUU Kesehatan, Kamis 8 Juni 2023 lalu, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengatakan hal yang serupa bahwa belum semua kepentingan masyarakat masuk dalam RUU Kesehatan. CISDI mendesak DPR RI menunda pengesahan RUU Kesehatan dan membuka ruang pembahasan lebih lanjut bersama masyarakat sipil.
Diah Satyani Saminarsih, Founder dan CEO CISDI menegaskan, pihaknya tidak mendukung percepatan pengesahan RUU Kesehatan. Ia memandang diperlukannya pembahasan lanjutan dengan waktu lebih panjang agar proses dan substansi teknis dalam penyusunan RUU ini bisa diperbaiki.
“Kami juga mendorong DPR RI memastikan seluruh masukan masyarakat sipil terefleksikan hingga akhirnya draf RUU Kesehatan ini disahkan sebagai undang-undang,” ungkap Diah.
CISDI menilai percepatan proses pengesahan RUU Kesehatan akan kontraproduktif dengan upaya memperkuat sistem kesehatan agar lebih tangguh. Sebaliknya, proses penyusunan RUU Kesehatan perlu diperbaiki dan melibatkan konsultasi yang lebih inklusif, partisipatif, transparan, dan didasarkan bukti kuat.
Untuk itu, CISDI mencatat ada beberapa kepentingan publik yang belum menjadi bagian RUU ini. Pertama, DIM RUU Kesehatan terbaru ingin menghapuskan alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen dari APBN dan APBD. Padahal, masih ada 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang proporsi anggaran kesehatannya di bawah 10 persen pada 2021, dengan distribusi alokasi yang timpang.
“CISDI ingin menekankan pentingnya mempertahankan komitmen anggaran 10 persen sebagai bentuk kehadiran dan komitmen politik negara terhadap kesehatan masyarakat,” kata Diah.
Kedua, draf RUU Kesehatan belum menguatkan kader kesehatan melalui pemberian upah secara wajib. Draf ini juga belum melembagakan peran kader sebagai sumber daya manusia kesehatan (SDMK), tepatnya tenaga pendukung atau penunjang kesehatan seperti yang direkomendasikan WHO.
“Pelembagaan kader penting untuk meregistrasikan kader, memetakan jumlah dan lokasi kader sebagai sumber daya kesehatan garda terdepan, membuat struktur pelatihan yang berkesinambungan, dan memastikan kualitas layanan dengan standar kompetensi,” kata Diah.
Ketiga, DIM terbaru belum meluaskan definisi kelompok rentan dan memfasilitasi layanan kesehatan yang non-diskriminatif.
Diah menyebut, CISDI mengapresiasi diterimanya masukan masyarakat sipil untuk perluasan definisi masyarakat rentan dalam penjelasan pasal 27 ayat 3 RUU Kesehatan. Akan tetapi, pemerintah perlu memasukkan variabel kerentanan akibat minimnya kualitas hunian termasuk akses sanitasi dan kepadatan penduduk seperti warga binaan pemasyarakatan yang akses terhadap layanan kesehatannya terbatas.
Keempat, CISDI mendorong usulan masyarakat sipil untuk memasukkan aturan larangan iklan, promosi dan sponsorship (IPS) rokok ke dalam RUU Kesehatan.
“CISDI mendukung penambahan pasal pelarangan iklan, promosi, dan sponsor untuk produk tembakau sebagai bagian dari upaya denormalisasi industri tembakau yang selama ini membangun citra positif kepada masyarakat,” kata Diah melanjutkan.
CISDI bersama beberapa koalisi masyarakat sipil telah mengirimkan tiga daftar inventarisasi masalah (DIM) kepada Tim Panitia Kerja (Panja) RUU Kesehatan DPR RI, Kaukus Perempuan DPR RI, dan Kementerian Kesehatan RI. Ketiga DIM tersebut terdiri atas permasalahan yang dikelompokkan berdasarkan isu gender dan kelompok rentan, isu kesejahteraan kader kesehatan, dan isu layanan kesehatan primer termasuk anggaran kesehatan. Di luar tiga isu tersebut, CISDI bersama Koalisi Pengendalian Tembakau sudah mengirimkan DIM kepada Panja RUU Kesehatan Komisi IX DPR RI. Oleh karena itu, CISDI menekankan dua tuntutan dalam penyusunan RUU ini.
“Pertama, kami mendesak agar tidak ada percepatan pengesahan RUU Kesehatan. Diperlukan proses penyusunan yang lebih panjang, inklusif, partisipatif, transparan, dan berbasis bukti. Kedua, kami mendorong agar DPR RI membuka kembali proses partisipasi publik untuk menjaring masukan yang komprehensif untuk RUU Kesehatan,” tutup Diah.
Discussion about this post