Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Penggerak
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Jurnalisme Warga
  • Infografis
No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Penggerak
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Jurnalisme Warga
  • Infografis
No Result
View All Result
Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Penggerak
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Jurnalisme Warga
  • Infografis

RUU KESEHATAN: CISDI Desak DPR Perhatikan Semua Aspirasi Publik

Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) meminta Dewan Perwakilan Rakyat menyerap semua aspirasi publik dalam RUU Kesehatan.

by Gloria Fransisca Katharina
Friday, 5 May 2023
A A
RUU KESEHATAN: CISDI Desak DPR Perhatikan Semua Aspirasi Publik

Dokter dan pasien. (Sumber: Canva/2023)

Dalam waktu yang singkat dan terbatas, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan memang cukup mengagetkan. Pada 7 Maret 2023, DPR RI menyampaikan draft RUU Kesehatan kepada Presiden Joko Widodo. Selanjutnya, pada 9 Maret 2023, Presiden Jokowi menunjuk Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) dan Kementerian/lembaga (K/L) terkait menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) pemerintah dalam RUU ini.

Agar tak mengulangi kesalahan dalam proses Omnibus Law Cipta Kerja, kini Kemenkes memulai dengan melakukan public hearing dan sosialisasi sejak 13 hingga 31 Maret 2023 untuk menyusun DIM terbaru dari draf awal. Pada 6 April 2023, Kemenkes RI resmi mengirimkan DIM RUU Kesehatan hasil public hearing dan sosialisasi untuk dibahas bersama DPR RI. Akan tetapi, pasal yang mengatur hak-hak normatif kader kesehatan belum secara tegas diatur dalam RUU ini.

BacaJuga

Ruang Aman yang Masih Jauh: Perjuangan Melawan Kekerasan Gender Online

Kembangkan Vaksin Bill Gates, Separah Apa TBC di Indonesia?

Dalam menanggapi dinamika pemberitaan mengenai RUU Kesehatan beberapa waktu terakhir Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) merumuskan beberapa rekomendasi.

Pertama, menyatakan bahwa pemerintah dan DPR RI perlu menyerap dan menerima aspirasi publik seluas-luasnya demi menjamin tersedianya layanan kesehatan berkualitas untuk publik dan tercapainya semua target pembangunan kesehatan. CISDI berharap agar para pemangku kepentingan, termasuk pembuat dan penentu kebijakan berpihak pada kepentingan kesehatan masyarakat sehingga dapat mencegah tindakan reaktif, termasuk upaya pembungkaman, yang bertentangan dengan prinsip partisipasi publik dalam penyusunan RUU Kesehatan.

Kedua, menyatakan bahwa publik dalam poin pertama terdiri atas akademisi, organisasi masyarakat sipil, praktisi kesehatan, asosiasi profesi, kelompok pendamping, hingga kelompok masyarakat terdampak lainnya.

Ketiga, mendorong dan mengingatkan Pemerintah dan DPR RI untuk terus membuka ruang diskusi dan partisipasi publik yang seluas-luasnya agar RUU Kesehatan dapat membawa kemaslahatan untuk masyarakat, terutama masukan publik pada pasal-pasal yang belum diakomodasi oleh pemerintah.

Keempat, menyatakan bahwa RUU Kesehatan juga menyangkut persoalan integrasi layanan kesehatan primer, kader kesehatan sebagai SDM Kesehatan, kelompok rentan, penanggulangan penyakit tidak menular, aborsi aman, dan isu prioritas lainnya termasuk tentang hal-bal yang mengatur produksi, distribusi serta ruang lingkup pengaturan lain tentang tenaga kesehatan khususnya dokter.

Kelima, mengingatkan bahwa RUU Kesehatan menghapuskan 9 undang-undang dan mengubah 4 undang-undang terkait kesehatan. RUU ini sendiri terdiri atas 20 Bab dan 478 pasal sehingga berdampak sangat besar terhadap kehidupan masyarakat.

Diah Satyani Saminarsih, Founder dan CEO CISDI, menambahkan, dengan dimensi yang sangat luas, perkembangan kesehatan masyarakat serta relevansi UU Kesehatan untuk pembangunan kesehatan nasional sekarang maupun di masa datang. Oleh karena itu, CISDI memandang RUU Kesehatan penting untuk dapat menyerap aspirasi sebanyak-banyaknya dari seluruh kelompok masyarakat, termasuk praktisi dan akademisi.

Ia mengapresiasi Kementerian Kesehatan RI telah mengakomodasi beberapa masukan melalui public hearing dan sosialisasi. Naskah RUU tersebut telah diserahkan kepada DPR RI. Namun sebagai catatan, belum semua masukan yang berdampak baik terhadap kepentingan publik diakomodasi dalam naskah terbaru tersebut.

“Sebagai contoh, CISDI mencatat belum ditetapkannya kader kesehatan sebagai tenaga penunjang kesehatan yang berhak mendapatkan upah dan pelatihan berjenjang,” kata Diah.

Ia juga menyebut bahwa CISDI meminta pemerintah dan DPR RI tidak menutup pintu maupun akses bagi setiap elemen masyarakat untuk memberikan aspirasinya.

“Dalam kondisi ini, kami mendorong pemerintah dan DPR RI untuk menerima dan tidak bersikap reaktif atas segala masukan publik,” ucap Diah.

CISDI juga meminta seluruh elemen masyarakat sipil untuk melanjutkan diskusi publik, menyampaikan masukannya, dan mengawasi proses legislasi dengan pendekatan demokratis terkait pasal-pasal yang ataupun belum diakomodasi oleh pemerintah dalam RUU kesehatan.

Sebelumnya, Kemenkes yang sudah menghimpun partisipasi masyarakat untuk memberikan masukan dan tanggapan publik terhadap RUU Kesehatan, bersama Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) menyelenggarakan sosialisasi dan FGD RUU Kesehatan yang membahas peningkatan efisiensi pembiayaan kesehatan.

Kepala BKPK Syarifah Liza Munira mengatakan masyarakat masih mengalami hambatan terhadap akses pelayanan kesehatan. Akses pelayanan ini perlu disertai penguatan upaya promotif dan preventif serta peningkatan koordinasi pembiayaan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan, dan pihak swasta, optimalisasi kendali mutu dan biaya pada program JKN serta interoperabilitas data.

Oleh karena itu menurut Liza, RUU Kesehatan adalah kesempatan untuk memperbaiki permasalahan tersebut. Tertuang dalam RUU Kesehatan, pertama perluasan akses melalui peningkatan kerjasama fasilitas kesehatan dengan BPJS Kesehatan dan penguatan peran pemerintah dalam pemenuhan sisi suplai. Kedua menambahkan manfaat upaya promotif preventif yaitu deteksi dini dan skrining, serta paliatif.

Selain itu pemerintah mendorong perluasan koordinasi pendanaan antara pemerintah dan swasta melalui asuransi kesehatan tambahan serta perluasan fungsi BPJS Kesehatan sebagai Third Party Administrator.

“Kemudian pemerintah juga ingin mengendalikan moral hazard, optimalisasi penilaian teknologi kesehatan atau Health Technology Assesment (HTA), pelaksanaan interoperabilitas data serta perbaikan tata cara penyusunan standar tarif dan pola pembayaran,” tutur Liza.

Lebih lanjut Liza mengungkap saat ini dari 403 catheterization laboratory (cath lab) atau layanan kateterisasi jantung masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, tersebar di 30 Provinsi pada 120 kabupaten/kota. Dari 260 rumah sakit yang memiliki fasilitas tersebut hanya 144 rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

“Akses peserta BPJS Kesehatan masih terbatas untuk cath lab ini,” terangnya.

Liza juga menjelaskan besarnya pembiayaan kesehatan untuk layanan kuratif. Sementara layanan promotif preventif yang tahun lalu sekitar 5 persen dari total pembiayaan kesehatan tahun ini hanya sekitar 0,5 persen. Pemerintah ingin menguatkan kegiatan promotif preventif agar mengurangi beban katastropik. Terdapat tambahan skrining yang semula hanya terhadap 6 penyakit menjadi 14 penyakit yang akan didorong agar dapat dilakukan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).

Skrining terhadap hipertensi, stroke, penyakit jantung, diabetes, kanker payudara dan kanker serviks telah dilakukan. Adapun 8 tambahannya adalah hepatitis, hipotiroid kongenital, talasemia, anemia, tuberkulosis, Penyakit Paru Obstruktif Kronik, kanker paru, dan kanker usus.

Agar keberlangsungan program dan pendanaan JKN terjaga, diperlukan perbaikan kebijakan pengendalian mutu dan biaya. Bentuk kendali mutu antara lain perbaikan penetapan standar tarif dan pengembangan cara pembayaran, pencegahan dan deteksi kecurangan (fraud), perluasan pengendalian moral hazard, dan penilaian teknologi kesehatan.

“Untuk kendali biaya dilakukan audit medis, juga penetapan standar layanan,” ujar Liza.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Kunta Wibawa Dasa Nugraha menjelaskan yang diatur pada RUU Kesehatan ini adalah BPJS Kesehatan. Ia menekankan bahwa independensi BPJS Kesehatan sudah jelas.

“Yang ingin diperkuat adalah koordinasi antarlembaga yang mengatur kesehatan, agar inline dan tidak tumpang tindih. Akan ada komite atau forum untuk koordinasi agar komunikasi lancar dalam mendiskusikan sektor kesehatan,” jelasnya.

Bagikan:
Tags: Omnibus KesehatanOmnibus LawRUURUU Kesehatan

Discussion about this post

https://www.youtube.com/watch?v=ZF-vfVos47A
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.

No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Penggerak
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Jurnalisme Warga
  • Infografis

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.