Jakarta, Prohealth.id – Pada Rabu, 7 Juni 2023, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Melkiades Laka Lena dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengadakan pertemuan membahas Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan).
Kelompok Kerja RUU Kesehatan Anak Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang diwakilkan oleh Wakil Ketua Komisioner Jasra Putra dan Komisioner KPAI Kawiyan menyampaikan ada sejumlah problematika kesehatan anak terkini. Tim Pokja KPAI bahkan menyerahkan Kertas Kebijakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terhadap penyusunan Rancangan Undang Undang Kesehatan dengan metode Omnibus Law yang akan menyatukan beberapa kebijakan terkait isu kesehatan kepada Komisi IX DPR RI. Untuk itu, RUU Kesehatan merupakan prasyarat agar anak di bawah 18 tahun harus menjaga anak bahkan sejak dalam kandungan.
“Artinya perlu intervensi sejak dini, sehingga anak terhindar dari segala ancaman dan hambatan yang dapat merugikan tumbuh kembangnya,” jelas Jasra di Gedung DPR RI.
KPAI mengingatkan bahwa ada banyak hal yang menyebabkan perlambatan tumbuh kembang anak, pemahaman, emosional, yang seharusnya dapat diintervensi berbagai program pemenuhan hak anak. Kondisi disebabkan oleh masih banyaknya hal yang belum menyentuh hak-hak kesehatan anak untuk memperoleh layanan kesehatan yang aman, bermutu, terjangkau, inklusif, tidak diskriminasi, serta ramah anak di Indonesia.
Secara rinci, tim Pokja KPAI menyusun isu krusial kesehatan anak meliputi; prevalensi stunting di Kementerian Kesehatan yang masih tinggi diangka 24,4 persen. Masalah yang mengemuka karena tingginya tingkat malnutrisi yang berakibat pada fenomena stunting, wasting, dan underweight; serta tingginya prevalensi penyakit tidak menular seperti diabetes dan hipertensi.
Masalah stunting ini masih diikuti oleh budaya konsumsi rumah tangga yang lebih memilih rokok dibandingkan membeli makanan bergizi, masalah kematian ibu saat melahirkan, tingkat kasus kematian anak di periode neonatal yaitu pasca lahir 0-28 hari yang tinggi.
“Sebagian besar kasus-kasus kematian yang terjadi adalah akibat penyakit yang dapat dicegah melalui imunisasi, seperti pneumonia dan diare; gizi buruk;” terang Jasra.
Adapun fenomena 326 anak minum obat sirup beracun yang menyebabkan gagal ginjal dengan 204 anak meninggal dan lainnya dalam pengobatan lanjut, juga wajib menjadi evaluasi. Apalagi sampai sekarang belum ada yang megnambil tanggung jawab penuh atas kejahatan tersebut.
Masalah kesehatan lainnya adalah anak-anak yang mengalami kelainan genetik, seperti thalasemia, yang harus menyebabkan anak menjalani transfusi darah sepanjang hidup. Fenomena viral belum lama yaitu anak yang keracunan makanan seperti chiki ngebul, juga belum adanya aturan batasan zat pemanis jajanan anak yang menyebabkan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyampaikan adanya data 70 kali lipat anak menderita diabetes tipe 2 di tahun 2023.
Anak juga masih berhadapan dengan rendahnya angka harapan hidup anak penderita kanker. Masalah psikologis anak juga dikarenakan cara pendekatan orang dewasa kepada anak melalui gawai yang membawa gangguan perilaku sampai ganguan jiwa. Tak lupa dampak bencana alam seperti tsunami, juga kekerasan anak yang mengancam kesehatan anak di masa depan.
Tak lupa, kondisi anak-anak penyandang disabilitas, anak dengan penyakit kronis/berat, anak dengan perlambatan pertumbuhan baik fisik, kognitif, dan emosi. Belum lagi anak-anak yang menjadi korban industri zat adiktif seperti narkoba, zat psikotropika, minuman beralkohol, rokok, dan produk tembakau lain.
Berkaca dari kompleksitas tersebut, KPAI mendesak DPR RI untuk mempertimbangkan masa depan kesehatan anak dengan optimal dan RUU Kesehatan tidak membawa keluarga Indonesia menjadi makin rentan.
KPAI juga merumuskan sejumlah usulan dan catatan kritis kepada Komisi IX DPR khususnya tim Panja RUU Kesehatan.
Pertama, setelah ditinjau dalam draf, materi RUU Kesehatan belum menyentuh hak-hak kesehatan anak untuk memperoleh layanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, inklusif, tidak diskriminasi, serta ramah anak.
Kedua, sasaran transformasi sistem kesehatan masih bersifat umum serta kurang memperhatikan fakta-fakta empiris di masyarakat terkait kondisi kesehatan anak. Transformasi sistem layanan kesehatan memerlukan keseriusan negara agar terarah pada optimalisasi layanan kesehatan untuk menekan tingginya angka kematian neonatal dan stunting.
Ketiga, pemenuhan hak dasar atas layanan kesehatan masyarakat perlu memperhatikan tindakan afirmatif sebagai upaya menjawab tantangan pemenuhan hak dan perlindungan bagi anak, anak berkebutuhan khusus, serta anak penyandang disabilitas, dalam rangka peningkatan derajat optimal kesehatan, tumbuh kembang, dan produktifitas mereka.
Oleh Karena itu, RUU Kesehatan perlu memberikan perhatian pada beberapa hal yakni; mendorong upaya preventif, kuratif, promotif, dan rehabilitatif bagi kesehatan anak sejak dalam kandungan, serta khususnya bagi anak berkebutuhan khusus dan anak penyandang disabilitas; perlindungan dari kasus-kasus malpraktik medis pada anak dalam memperoleh akses layanan kesehatan; menetapkan subyek hukum pada kasus-kasus kekerasan fisik, emosional, maupun seksual pada anak.
Termasuk dalam hal ini adanya jaminan pembiayaan visum dalam, sebagai bentuk advokasi perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan sehingga mempermudah dan mempercepat proses penyelidikan hukum; KPAI juga melihat masih adanya permasalahan krusial dalam perspektif perlindungan anak di bidang kesehatan, seperti penetapan kondisi luar biasa (KLB) dan kompensasi negara pada kejadian-kejadian yang merugikan kesehatan dan berdampak permanen pada anak. Contoh kasus yang mengemuka dalam hal ini adalah kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) yang dialami oleh lebih dari 326 anak, dimana 204 diantaranya meninggal dunia.
Keempat, adanya kebutuhan akan jaminan pembiayaan kesehatan bagi anak, anak berkebutuhan khusus, dan anak penyandang disabilitas, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Jaminan pembiayaan kesehatan dimaksud termasuk pada penanganan kasus penyakit katastropik pada anak akibat penyakit genetik berat, disabilitas bawaan, kanker, dan penyakit kelainan khusus lainnya.
Kelima, pengembangan kapasitas unit pendidikan untuk mewujudkan pendidikan inklusi yang ramah anak, khususnya bagi pemenuhan hak kesehatan anak berkebutuhan khusus dan anak penyandang disabilitas.
Keenam, isu perlindungan anak dari zat-zat adiktif, dimana didalamnya termasuk pengaturan terhadap iklan, promosi, dan sponsor rokok.
Ketujuh, isu-isu lain terkait upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak.
Discussion about this post