Jakarta, Prohealth.id – Hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) juga hak kesehatan ibu dan anak menjadi kewajiban dalam rancangan RUU Kesehatan.
Koordinator Perubahan Hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta Dian Novita menjelaskan perumusan RUU Kesehatan tidak melibatkan organisasi masyarakat sipil. Akibatnya, tidak ada informasi jelas tentang perkembangan perumusan RUU Kesehatan, termasuk nasib hak kesehatan seksual dan reproduksi.
“Berbeda dengan proses dalam UU TPKS [Tindak Pidana Kekerasan Seksual], masyarakat dari awal sudah terlibat untuk berdiskusi soal draf dengan anggota dewan, posisi kami terkait naskah akademik, dan ketika RDPU [Rapat Dengar Pendapat Umum], masyarakat sipil dilibatkan,” terang Dian kepada Prohealth.id di Cilandak, Jakarta Selatan pada Senin (19/6/2023) lalu.
Sekalipun dalam RUU Kesehatan, Tim Panja RUU Kesehatan dari Komisi IX DPR RI telah menggelar RDPU dan mengundang organisasi masyarakat sipil, namun proses itu hanya terjadi satu kali tanpa ada tindak lanjut dan informasi.
“Ini keterlibatan kami memang tidak seintens waktu RUU TPKS. Ini yang memang tidak ada keterbukaan dan membuat kami was-was apakah sesuai,” ungkap Dian.
Terutama yang berkaitan dengan hak kesehatan seksual dan reproduksi. Termasuk ketika seseorang memutuskan tidak melanjutkan kehamilan. Jangan sampai, pada RUU Kesehatan justru tidak mengizinkan, padahal dalam KUHP sudah diperbolehkan keputusan tidak melanjutkan kehamilan.
“Saya khawatir selain karena metodenya omnibus law, tidak membahas satu per satu termasuk pelanggaran terhadap hak perempuan. Dari mulai hak tenaga kerjaan, sampai kasus kekerasan berulang pada perempuan bisa terjadi. Ini karena omnibus law tadi,” tutur Dian.
Dalam konteks lain, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memiliki perspektif khusus menanggapi fenomena Putri Ariani, tuna netra berhasil meraih prestasi dalam ajang America’s Got Talent karena memiliki keterkaitan dengan RUU Kesehatan. Pasalnya, prestasi Putri bisa menjadi inspirasi bagi pelindungan anak, termasuk penyandang disabilitas, sejak dalam kandungan.
Wakil Ketua KPAI Jasra Putra mengatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan perlu mengatur tentang deteksi kesehatan anak sejak dalam kandungan. Hal itu juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak yang menyatakan anak adalah sejak janin di dalam kandungan hingga usia 18 tahun.
“Sejak dalam kandungan artinya prasyarat pelindungan anak dimulai dari perencanaan kehamilan agar rahim yang akan melaksanakan tugasnya siap, maksimal, dan optimal dalam melahirkan generasi unggul,” kata Jasra.
Jasra, yang juga Koordinator Kelompok Kerja RUU Kesehatan KPAI, menilai prestasi yang diraih Putri menunjukkan bahwa anak disabilitas dapat tumbuh dan berkembang secara optimal bila mendapat penanganan dengan baik. Penanganan yang baik terhadap Putri juga disampaikan oleh orang tuanya sejak Putri lahir secara prematur dalam usia kehamilan enam bulan.
Tidak hanya berprestasi di bidang musik, keberhasilan Putri juga menunjukkan bahwa karakter, talenta, kemandirian, intuisi, kecerdasan, dan cara berpikirnya melebihi rata-rata anak seusianya pada umumnya.
“Terbukti bahwa tumbuh kembang anak disabilitas yang diintervensi sejak dini dapat menghasilkan generasi yang unggul dan maju,” ujarnya.
Karena itu, KPAI mendorong agar RUU Kesehatan mengatur secara khusus tentang pelindungan Kesehatan anak sejak di dalam kandungan. Bila hal itu dapat terwujud, Jasra yakin Indonesia akan lebih siap mencetak generasi berprestasi seperti Putri.
Menurut Jasra, para pemangku kepentingan harus belajar bahwa hambatan anak Indonesia dapat diperangi dengan terapi dan pembelajaran vokasional sehingga dapat berprestasi dan menghasilkan karya yang diapresiasi dunia secara luar biasa.
“Bukan generasi yang digempur industri candu dan kekerasan sehingga mengalami penurunan kualitas generasi bangsa,” katanya.
Penulis: Gloria FK Lawi & Dewanto Samodro
Discussion about this post