Jakarta, Prohealth.id – Pada Maret 2023 ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah resmi mengirimkan draft RUU Kesehatan kepada pemerintah untuk dibahas bersama setelah RUU tersebut disahkan sebagai inisiatif DPR pada sidang paripurna pada bulan Februari lalu.
Tahapan ini secara resmi memulai proses partisipasi publik dimana pemerintah dan DPR akan menghimpun masukan dan aspirasi dari masyarakat seluas-luasnya melalui berbagai forum. Padahal sebelumnya, RUU Kesehatan sudah banyak mendapat kritik dan penolakan dari mayoritas organisasi profesi bidang kesehatan.
Merespon penggodokan regulasi sapu jagad ini, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr. Adib Khumaidi mengatakan, belum ada urgensi dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan.
“Problem kesehatan saat ini cukup untuk dilakukan implementasi dari undang-undang yang saat ini eksisting. Bicara RUU Kesehatan belum ada urgensinya saat ini,” kata Adib dalam diskusi virtual yang diikuti Prohealth.id, 17 Februari 2023 lalu.
Ia menjelaskan terdapat 13 poin penting yang harus diperhatikan dalam UU Kesehatan. Dimana tak hanya masalah organisasi profesi, pendidikan kedokteran atau kolegium. Adapun 13 poin tersebut ialah, aborsi dengan indikasi pemerkosaan, transplantasi organ, komite transplantasi, bedah mayat, zat adiktif, telemedicine, tenaga medis dan tenaga kesehatan asing, konsil kedokteran, data dan informasi kesehatan, spesimen pendonor, intervensi medis, organisasi profesi dan kolegium, sanksi pidana dan pencabutan beberapa UU.
Ia memberi contoh, dalam draft RUU Omnibus Law Kesehatan rencananya akan ada sanksi pidana praktek kedokteran. Padahal dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2007 sanksi tersebut sudah tidak ada.
“Sekarang dimunculkan lagi. Apa sebenarnya konsekuensi yang bisa terjadi? dokter akan melakukan sebuah pola defensif medicine. ‘Wah ini jangan-jangan daripada saya di penjara daripada saya dituntut karena kategori 5,’ kemudian apa muncul ‘wah ini daripada ini cek dulu deh CT-scan MRI’, seperti itu,” tuturnya.
Maka dengan demikian, akan muncul potensi kenaikan pembiayaan kesehatan. Hal ini karena dokter akan memutuskan beberapa pemeriksaan terlebih dahulu. Sehingga upaya untuk mencapai efisiensi biaya kesehatan tidak dapat tercapai.
Kemudian untuk poin pemenuhan dokter spesialis di Indonesia. Adib mengatakan, data dari IDI total dokter dan dokter spesialis adalah 204.492 dokter, yang terdiri dari 44.682 dokter spesialis dan 159.810 dokter.
Berdasarkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) ialah 214.878 dokter. Sedangkan data dari Kementerian Kesehatan ialah 145.913 dokter.
Maka artinya upaya pertama adalah penyelarasan data. Hal ini untuk menghindari potensi banyaknya lulusan dokter namun justru berpotensi tidak memiliki tempat bekerja.
“Pertama kita lakukan adalah penyelarasan data. Kalau belum ada penyelarasan data, jangan sampai kita akan memproduksi banyak dokter tapi tidak ada tempat bekerjanya, yang itu berpotensi jadi pengangguran intelektual profesional,” katanya.
Menurut dr. Adib, distribusi dokter saat ini masih banyak ada di Jawa terutama DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Demikian juga dengan dokter spesialis yang sebagian besar ada di kota besar.
“Jadi bicara rasio total dokter Kita sebenarnya kalau menghitung dengan kebutuhan jumlah dokter yang 1:1.000 maka kita sebenarnya kurang hanya 67.000 dokter kalau kita pakai data yang ada di KKI dan IDI,” paparnya.
Tantangan yang dihadapi dalam pemerataan dokter spesialis ialah bukan hanya soal produksi. Tantangan saat jumlah dokter spesialis berlebih ialah distribusi lulusan dokter tersebut.
Mengingat saat ini mayoritas dokter spesialis ada di kota-kota besar. Maka untuk distribusi dokter tersebut diperlukan regulasi yang mengaturnya.
“Problemnya sekali lagi bukan dokternya tapi regulasi yang harus dilakukan pemerintah daerah. Pernah tidak kita mengimplementasi UU pemerintah daerah yang seharusnya mengatur tentang kebutuhan dokter dan dokter spesialis di seluruh wilayah Indonesia?,” jelasnya.
Menurutnya, dengan implementasi peraturan daerah tersebut, kota-kota besar yang banyak dokter dapat didorong untuk didistribusikan ke daerah.
“Sampai saat ini belum ada data yang mengatakan misal di DKI Jakarta sudah kebanyakan dokter. Sehingga dari data tersebut pemerintah daerah mengatakan DKI Jakarta tertutup untuk dokter spesialis baru, biar semuanya kita dorong ke daerah. Harusnya seperti itu,” kata dr. Adib.
Penggodokan regulasi ini melibatkan banyak pihak. Dari sisi pemerintah, Presiden Joko Widodo telah menunjuk Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebagai koordinator wakil pemerintah untuk membahas RUU ini bersama DPR. Menteri lain yang ditunjuk termasuk Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nadiem Makarim, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly.
Selanjutnya Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, akan mengkoordinir penyusunan Daftar Isian Masukan (DIM) RUU bersama dengan menteri lain yang ditunjuk dan kementerian/lembaga terkait, antara lain Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Kementerian Ketenagakerjaan Ida Fauziah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny K. Lukito, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Hasto Wardoyo, serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana Letjen TNI Suharyanto.
Dalam tahapan ini, masyarakat sebagai stakeholders akan dilibatkan dalam proses partisipasi publik melalui ragam kegiatan. Kegiatan partisipasi publik akan dilakukan baik dengan institusi pemerintah, lembaga, organisasi profesi, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, CSO dan organisasi lainnya, baik secara luring maupun daring selama 14-18 Maret 2023.
Pemerintah akan menyelenggarakan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) sehingga hak publik untuk didengar, hak publik agar masukannya dipertimbangkan dan hak publik untuk mendapatkan penjelasan dapat diakomodir dalam pembahas RUU ini.
Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. Mohammad Syahril melalui keterangan tertulis yang diterima Prohealth.id, 10 Maret 2023 lalu menyatakan, bahwa partisipasi publik yang luas sangat diperlukan mengingat RUU ini akan memicu reformasi di sektor kesehatan di Indonesia. Dengan demikian harapannya, layanan kesehatan dapat diakses masyarakat dengan lebih mudah, murah dan akurat. Selain itu, RUU ini diharapkan akan merubah kebijakan kesehatan di Indonesia untuk fokus mencegah masyakarat jatuh sakit daripada mengobati.
Ia juga menambahkan bahwa RUU ini diharapkan akan mengatasi problem klasik seperti kurangnya dokter umum dan dokter spesialis, pemerataan tenaga kesehatan yang masih sulit, gizi buruk serta layanan kesehatan yang tidak sesuai.
Discussion about this post