Jakarta, Prohealth.id – Mulai 14—17 Maret 2023 Kementerian Kesehatan menggelar proses partisipasi publik yang bermakna (meaningfull participation) untuk Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan). Melalui proses ini publik dapat memberikan masukan dan tanggapan terkait penyusunan materi RUU ini melalui laman https://partisipasisehat.kemkes.go.id/ dan draf RUU juga dapat diunduh dalam laman tersebut.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan, dr. Muhammad Syahril menjelaskan, masyarakat sebagai pihak yang mendapatkan layanan kesehatan memiliki hak yang sama untuk didengarkan pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, dan mendapatkan jawaban atas pendapatnya.
Untuk memperluas jangkauan Kemenkes menyelenggarakan partisipasi publik ini secara parallel. Sehingga Kemenkes menggelar berbagai kegiatan partisipasi publik secara luring dan daring dimana jadwal kegiatan tercantum juga dalam laman tersebut.
Kegiatan partisipasi publik akan dilakukan baik dengan institusi pemerintah, lembaga, organisasi profesi, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, CSO dan organisasi lainnya.
RUU Kesehatan nantinya akan menjadi landasan bagi reformasi sektor kesehatan, sehingga layanan kesehatan dapat diakses masyarakat dengan lebih mudah, murah, dan akurat.
“Melalui RUU ini, diharapkan kewajiban pemerintah untuk memberikan layanan kesehatan yang berkualitas dan merata kepada masyarakat Indonesia akan sejalan dengan kewenangan yang dimiliki. Tujuannya untuk memperbaiki akses layanan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia,” jelas dr. Syahril.
Sebagai informasi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah resmi mengirimkan draf RUU Kesehatan kepada pemerintah minggu lalu untuk dibahas bersama setelah RUU tersebut disahkan sebagai inisiatif DPR pada sidang paripurna bulan Februari lalu.
Tahapan tersebut secara resmi memulai proses partisipasi publik dimana pemerintah dan DPR akan menghimpun masukan dan aspirasi dari masyarakat seluas-luasnya melalui berbagai forum.
Penokan dan usulan pada zat adiktif
Dalam sesi partisipasi publik hari pertama yakni pada Selasa, 14 Maret 2023, tim Prohealth.id menemukan ada pembahasan seputar pengendalian zat adiktif dan sesi tentang pasal-pasal yang memuat tentang wabah dan kejadian luar biasa (KLB).
RUU Kesehatan disusun dengan metode Omnibus Law yang tertuang dalam beleid UU Nomor 13 tahun 2022. Oleh karenanya, Omnibus Law ini banyak merevisi sekaligus semua aturan yang berkaitan dengan kesehatan.


Lisda Sundari, Ketua Yayasan Lentera Anak (YLA) menyatakan dalam partisipasi publik menyoal pasal-pasal yang berkaitan dengan produk tembakau. Dia menyebut, salah satu pengamanan zat adiktif seperti produk tembakau dan alkohol tidak boleh diiklankan.
“Masukan untuk bagian 25 Pengamanan Zat Adiktif agar distate larangan iklan untuk pengamanan zar adiktif dan perlindungan terhadap anak,” ujar Lisda.

Prohealth.id mencatat, pada bagian ke-25 tentang zat adiktif ada susunan pasal baru yang banyak menuai kritik. Berikut dua bakal pasal tersebut;
Pasal 154
(5) Produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan huruf dan huruf e harus memenuhi standar dan/atau persyaratan Kesehatan.
(6) Hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dapat berupa:
- sigaret;
- cerutu;
- rokok daun;
- tembakau iris; dan
- tembakau padat dan cair yang digunakan untuk rokok elektrik.
(7) Hasil pengolahan zat adiktif lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dapat berwujud padat, cair, atau wujud lainnya yang tidak mengandung hasil tembakau.
Pasal 155
- Hasil tembakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) yang digunakan untuk kepentingan medis, herbal, farmasi, kosmetik, dan aromaterapi diperlakukan secara khusus.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Menyoal isi pasal tersebut, perwakilan dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Annisa Dian melalui kolom chat di zoom menyatakan, pada Pasal 155 yang memuat tentang produk tembakau yang dapat digunakan untuk produk medis. Dia menjelaskan bahwa hasil olahan tembakau tidak ada yang secara ilmiah terbukti dapat digunakan untuk kepentingan medis, ataupun digunakan untuk herbal, maupun kosmetik dan aromaterapi.
“Tembakau untuk hal tersebut diatas akan berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Apa dasar ilmiah dari pernyataan tersebut? Mohon penjelasan. Dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia meminta Pasal 155 dihapus,” tulisnya.
PDPI mendesak perbaikan pada pasal itu dengan tujuan agar konsumsi produk tembakau yang adiktif menjadi terkendali, sehingga penyakit paru-paru tidak bertambah di Indonesia.
Sementara itu, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Prof. Tjandra Yoga Aditama menjelaskan, RUU ini bersifat omnibus law, dan pada Pasal 474 disebutkan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku maka ada 9 UU sebelumnya yang berhubungan dengan kenyataan akan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
“Tentu ada banyak cakupan dalam RUU yang terdiri dari 478 pasal ini. Mengingat pandemi Covid-19 merupakan salah kejadian yang berdampak amat luas, maka bersama ini disampaikan lima usulan awal terhadap pembahasan wabah penyakit di RUU Kesehatan ini,” kata Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu.
Ia menjelaskan, pertama, pada Pasal 366 draf RUU ini disebutkan bahwa untuk melindungi masyarakat dari wabah, maka “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melaksanakan kegiatan Kewaspadaan Wabah, Penanggulangan Wabah, dan Pasca-wabah.”
Dalam hal ini diusulkan agar bukan hanya kewaspadaan tetapi juga dimasukkan kegiatan pencegahan wabah, yang kalau di literatur internasional selalu disebut “prevention, preparedness and response – PPR”.
“Perlu pula diketahui bahwa kegiatan pencegahan wabah adalah bagian tiudak terpisahkan dari program promotif preventif yang berulang kali disebutkan akan ditingkatkan pelaksanaanya di negara kita,” jelas Prof. Yoga.
Usulan kedua adalah tentang yang tercantum di Pasal 368 (3) draf RUU Kesehatan menyebutkan penyakit yang berpotensi menimbulkan wabah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) ditetapkan berdasarkan kriteria: a) penyakit yang disebabkan oleh agen biologi; b) dapat menular dari manusia ke manusia dan/atau dari hewan ke manusia; c) berpotensi menimbulkan sakit yang parah, kecacatan, dan/atau kematian; dan d) berpotensi meningkat dan menyebar secara cepat.
“Dari draf ini maka point a, b, dan c masih bersifat sangat umum dan akan banyak sekali penyakit menular yang masuk dalam kriteria a, b, dan c ini,” ujarnya.
Dia menambahkan yang “berpotensi wabah” adalah yang point “d” saja. Oleh karena itu diusukan agar kriteria ini perlu di atur ulang alur penulisan kriterianya agar lebih jelas penyakit yang mana yang berpotensi wabah dan mana yang tidak.
Usulan ketiga adalah tentang pasal 382 draf RUU Kesehatan yang disebutkan “Menteri menetapkan atau mencabut penetapan daerah tertentu sebagai Daerah Terjangkit Wabah”. Dalam hal ini diusulkan bahwa akan baik untuk dipertimbangkan adanya tim independen antara lain terdiri dari pakar, akademis, praktisi, yang memberi rekomendasi ke menteri sebelum menetapkan wabah, walaupun tentu menteri punya hak mutlak untuk menerima rekomendasi ini atau tidak.
“Ini penting karena keputusan menetapkan wabah benar-benar didasarkan kajian mendalam dan melibatkan pendapat pihak di luar kementerian pula,” pungkasnya.
Usulan keempat, juga akan baik kalau ada tim independen terdiri dari pakar, akademis, praktisi yang mengevaluasi keadaan wabah, dan memberi rekomendasi ke menteri, baik untuk perbaikan penanggulangan maupun untuk “lesson learned” bagi wabah berikutnya.
Dapat disampaikan disini bahwa usulan ketiga dan keempat ini sejalan dengan praktis yang sekarang berjalan di tingkat WHO, dimana ada “Emergency Committee” dan juga “Review Committee” yang akan memberi rekomendasi ke Direktur Jenderal WHO.
Usulan ke lima adalah agar di masukkan di RUU Kesehatan ini tentang bagaimana hubungan dan peran kesehatan Indonesia dengan organisasi internasional (WHO), misalnya kalau ada Disease Outbreak News (DOCs), Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) atau tentunya pandemi.
“Semoga draf RUU Kesehatan ini akan menghasilkan aturan perundangan yang benar-benar akan menjamin kesehatan warga bangsa kita di masa datang,” ungkap mantan Dirjen Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan tersebut.
Discussion about this post