Jakarta, Prohealth.id – Ketua Satgas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia dr. Eva Devita Harmoniati menyampaikan, anak bertumbuh dan berkembang sepanjang waktu, untuk itu dalam proses penyusunan RUU Kesehatan, segala hal yang dilakukan dan tertuang pada Undang-Undang akan berdampak panjang.
Untuk itulah dia menekankan sejak dalam kandungan janin perlu diintervensi, dijaga, karena dari kandungan ada ancaman stunting. Peran pemerintah melalui Undang-Undang yang inklusif dan mampu intervensi itulah yang bisa menjamin kesehatan anak-anak Indonesia.
“Karena dari stunting menjadi potensi disabilitas, setelah lahir mempengaruhi pertumbuhan emosional, fisik, otak dan jiwa. Yang akan menambah berbagai hambatan gagal tumbuh,” ujar dr. Eva dikutip dari siaran pers yang diterima Prohealth.id, Jumat (19/5/2023).
Lebih lanjut kata dr. Eva, sehingga intervensi sejak dari perencanaan, kandungan, hingga kelahiran harus dipahami sebagai konsep menyeluruh dari anak yang sehat. Ke depannya, anak akan mempunyai kemampuan belajar yang lebih baik serta akan tumbuh dewasa sebagai individu yang produktif dan mandiri.
Sebagai gambaran, saat ini kasus mall nutrisi cukup besar, walau dalam survei Gizi 2022 menemukan angka stunting menurun 21 persen, tetapi dalam realitanya, para dokter masih banyak menemukan kasus underweight atau kurus.
Jika tidak segera diintervensi akan menjadi stunting. Ia berpandangan, situasi ini akan mempengaruhui ketahanan tubuh anak karena nutrisi yang tidak cukup, daya tahan tubuh menurun, kekuatan otot menurun, sehingga motorik terganggu, sehinga kecerdasan melambat. Hal ini pun sudah terbukti dalam penelitian anak mengalami stunting memiliki IQ yang lebih rendah.
“Bahwa kalau ditanya apakah ada hubungan stunting dengan disabilitas, tentu ada hubungannya. Tapi disabiltias yang mana? Yaitu disabilitas intelektual. Karena ketika mengalami stunting ada delay, tidak hanya motorik, kemampuan berbahasa dan pemahamannya berkurang dan anak mengalami stunting,” tegasnya.
Dia menegaskan jika tertangani dengan baik saat masa emas yakni usia 2 tahun pertama, terhitung sejak dari saat mengandung, maka akan ada potensi anak bermasalah di sekolah, tidak bisa mengikuti sekolah, mengalami bullying di berbagai tempat, dan terlibat berbagai macam gangguan perilaku dan kenakalan remaja.
Menanggapi hal itu, Koordinator Kelompok Kerja (POKJA) RUU Kesehatan KPAI Jasra Putra menyampaikan Pokja akan bekerja mulai Mei sampai Agustus 2023 untuk memantau RUU Kesehatan. Pokja ini terbentuk berdasarkan Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2016 tentang KPAI, tertuang Pasal 8 bahwa Komisi Perlindungan Anak Indonesia dapat membentuk kelompok kerja perlindungan anak sesuai kebutuhan yang terdiri dari unsur akedemisi, masyarakat dan pemerintah. Apalagi, Pokja ini sangat urgen ditengah keterbatasan KPAI melihat isu ini.
“Isu omnibus law di negara-negara maju sudah lama dilakukan. Dimana mengumpulkan berbagai Undang-Undang sejenis, dimana di RUU Kesehatan ini ada 13 Undang-Undang yang akan dikumpulkan. Pertanyaannya apakah 13 Undang-Undang yang akan dijadikan satu tersebut, sudah mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak yang menyampaikan kewajiban pemerintah dan pemerintah pusat pada setiap anak untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan?”
Oleh karena itu, lanjut Jasra, ada 2 hal yang perlu dipastikan dalam proses penyusunan RUU Kesehatan.
Pertama, kepastian hukum karena akan mencuplik pasal-pasal dari 13 Undang-Undang terkait isu kesehatan, maka ketika berlaku apakah akan merujuk ke pasal awal, atau masih bisa merujuk dengan UU sebelumnya.
“Untuk itu penting kepastian hukum,” terangnya.
Kedua, terkait dengan dampak bagi pengguna hukum, terkait kesehatan terutama anak anak kita.
“Saya kira ini jadi diskusi panjang para pegiat hukum. Padahal kita tahu anak-anak di mata hukum bukanlah subyek hukum, karena setiap yang terjadi pada anak, diyakini ada peristiwa yang mendasarinya, karena mereka tidak bisa memenuhi hak dan kewajibannya sendiri, akibat kebutuhan tumbuh kembang yang harus terus dikuatkan dan didampingi hingga pada saatnya anak akan mandiri,” sambung Jasra.
Meski begitu KPAI akan melihat lebih jauh, dengan perspektif dari perlindungan anak, dan inklusi terutama untuk anak-anak berkebutuhan khusus serta disabilitas. Ia menyebut kalau sudah bisa menjawab terkait kesehatan anak-anak disabilitas maka anak anak non disabilitas itu otomatis akan terlayani.
Apalagi dalam Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan usia anak 0 sampai 18 tahun termasuk anak dalam kandungan. Artinya, perlindungan anak mempersyaratkan sejak perencanaan kehamilan, saat mengandung sampai 18 tahun, dalam memastikan bagaimana sistem penyelenggaraan perlindungan anak di RUU Kesehatan.
Jasra mengakui untuk memahami konstruksi UU ini, harus memakai pemahaman utuh perjalanan hidup tumbuh-kembang manusia. Ia tak menampik, beberapa pasal sudah muncul terkait pemenuhan hak anak, pada saat ibu mengandung, saat kelahiran, stunting, imunisasi, dan isu pengendalian rokok. Ia juga mengklaim, KPAI sudah mulai mendetailkan tahapan yang harus dilakukan untuk melihat lebih utuh RUU Kesehatan sebagai penguat penyelenggaraan perlindungan anak.
“Karena sekali lagi, hak kesehatan adalah satu satunya hak anak, yang perlindungannya berlangsung sejak dari perencanaan, kandungan dan kelahiran anak. Sehingga ini pondasi awal dan sangat menentukan. Karena bila intervensinya salah, akan menjadi penyebab berkepanjangan, yang tidak perlu terjadi,” tegas Jasra.
Ia menambahkan, banyaknya temuan dan inovasi dunia kesehatan terutama aspek promotif, preventif yang memang berhasil mengantisipasi dalam menghindari pertumbuhan anak yang buruk. Sayangnya, masalah angka kematian kandungan, kematian ibu, kematian di masa neonatal masih menjadi masalah klasik yang tak kunjung terselesaikan.
Untuk itu hal ini perlu menjadi prioritas intervensi, sehingga RUU Kesehatan seperti gerbang awal menentukan keseluruhan keberhasilan negara dalam melindungi anak.
“Jika terpeleset sedikit saja atau ada yang terlewat dalam pembahasannya, maka akan berdampak jangka panjang seumur hidup anak sampai dewasanya, berdampak sangat sistemik pada penyelenggaraan perlindungan warga negara ke depan,” tutur Jasra.
Sebelumnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan 14 tahun 2023 yang menetapkan nama nama tercantum sebagai Kelompok Kerja (Pokja) Analisis Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak dalam rancangan Undang Undang Kesehatan, yaitu Ketua KPAI Ai Maryati Sholihah, Wakil Ketua KPAI Jasra Putra, Anggota KPAI Diyah Puspitarini, Anggota KPAI Aris Adi Leksono, Anggota KPAI Kawiyan, Kepala Sekretariat KPAI Dewi Respatiningsih, Dewan Jaminan Sosial Nasional/P3HKI Ahmad Ansyori, Universitas Widya Mandala Surabaya Wahyu Wibowo, Direktur ELKAPE (Lembaga Analis Kebijakan dan Advokasi Perburuhan) German E. Anggent, Akademisi Muhammadiyah Roosita Meilani Dewi, Pemerhati Anak Farid Ari Fandi, Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari, Analis Pengelola Anggaran APBN Rahmi Umaira Arlym, Analis Pengawasan dan Hubungan Kelembagaan KPAI Sander Dicky Zulkarnaen, Analis Hukum KPAI Muhammad Fakhry, Analis Pengawasan KPAI Afif Al Ghani Yoneva, dan Prameshwara Winriadirachman Analis Pengawasan KPAI.
Discussion about this post