Salah seorang pegawai muda di kantor pemerintahan, Feriawan (bukan nama sebenarnya) mengaku sudah berhenti menggunakan rokok konvensional. Dia beralasan, kadar nikotin yang tinggi membuatnya menjadi candu.
“Kalau pakai vape (rokok elektronik), kan kadar nikotinnya lebih rendah,” ungkap Feri kepada Prohealth.id medio Maret 2022 lalu.
Menurut temuan dari riset di media sosial yang dilakukan Vital Strategies sepanjang Agustus-Desember 2021 dan menemukan ragam iklan rokok elektronik beredar. Riset itu menemukan, saat pandemi Covid-19, para remaja mulai gandrung memegang gadget, alhasil, remaja terpancing untuk mencoba rokok elektrik yang lebih booming di media digital.
Hasil riset Vital Strategies pun menemukan, 68 persen rokok elektrik itu dominan di media sosial, dan hanya 32 persen saja iklan rokok konvensional.
Menyikapi fenomena tersebut, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menyebutkan sangat ironis di media digital belum ada regulasi yang mengatur rokok elektrik, maupun konvensional.
“Misalnya banyak adegan merokok di Youtube, Facebook, Instagram, dan itu makanya elektrik maupun konvensional itu adalah obyek utama. Anak muda terpapar derasnya iklan rokok ini terkait rokok elektrik dan di Facebook,” ujar Tulus dalam kegiatan Podcast #NgobrolSoreSehat bersama Prohealth.id.
Tulus khawatir, iklan yang selalu mengusung misi menjual mimpi kepada anak muda, membangun harapan semu bahwa rokok elektrik lebih sehat dan aman ketimbang rokok konvensional. Dia tak heran jika banyak perokok konvensional seperti Feriawan yang kini beralih ke rokok elektronik.
“Padahal dari tingkat keparahan, ini sama bahayanya, atau bahkan sebenarnya lebih berbahaya,” ungkapnya.
Dia memerinci, ada dua jenis kategori rokok elektronik (rotrik), ada yang dipromosikan dengan nikotin dan tidak mengandung nikotin. Sekalipun ada klaim ‘tanpa nikotin’ faktanya, rotrik memakai jenis nikotin cair yang dipanaskan. Artinya, cepat ataupun lambat pemakai rotrik akan merasakan kecanduan.
“Belum lagi ada efek lainnya, misalnya, ada beberapa kasus rotrik itu membuat ledakan di mulut, akhirnya harus diamputasi. Maka itu, karakter rotrik ini sebangun dengan rokok konvensional, sama-sama memicu karsinogenik atau kanker,” tegasnya.
KOSONGNYA PERATURAN
Rendahnya kesadaran publik terkait kesamaan antara rokok konvensional dan rotrik, Tulus menyayangkan belum ada satu pun peraturan dari pemerintah pusat yang bisa mengatur konten, promosi, dan penjualan rotrik.
“Kami sudah dorong di BPOM [Badan Pengawasan Obat dan Makanan], juga Kemendag [Kementerian Perdagangan],” ujar Tulus.
Namun Tulus menyebut BPOM kerap berdalih bahwa rotrik bukan ranah mereka yang wajib mengawasi zat kimia. Sementara rotrik merupakan produk elektronik. Sebaliknya, ketika meminta pertanggung jawaban Kementerian Perdagangan, ada kekosongan regulasi sehingga Kemendag tidak bisa melakukan pengawasan atas produk campuran tersebut.
“Makanya harus dibikin dong [aturannya], tugasnya pemerintah membuat regulasi. Ini memang ironi karena tembakau elektrik sudah tidak ada dan menjadi tantangan baru kita,” tegas Tulus.
Sebagai informasi saat ini hanya ada satu regulasi tentang pengamanan produk tembakau berlandaskan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012. Sayangnya, dalam PP 109/2012 ini belum ada regulasi yang mengawasi dan mengatur tentang rotrik. Bahkan, dalam PP 109 yang usianya sudah hampir 10 tahun ini belum ada pengaturan jam tayang rotrik di media sosial.
“Maka ini sangat mengkhawatirkan maka kita sudah melakukan desakan kuat,” lanjut Tulus dari YLKI.
Sayangnya, Tulus menyebut keberpihakan pemerintah saat ini masih sangat abu-abu. Meski ingin menaikkan taraf kesehatan anak dan remaja, pemerintah dipandang tidak berkomitmen misalnya dengan memberikan izin melakukan investasi di Indonesia untuk produk rokok elektronik.
Kepala Divisi Akses Informasi SAFEnet, Unggul Sagena mengatakan dalam kasus peredaran iklan rokok di media sosial belum ada laporan atau aduan yang masuk karena merasa dirugikan. Apalagi, SAFEnet memiliki tugas utama melakukan advokasi pada kasus-kasus kebebasan berpendapat dan keamanan digital seperti peretasan, hate-speech, dan lainnya.
“Maka kami arahkan harus lapor ke platform terkait,” ujar Unggul.
Saat ini untuk menekan dampak buruk iklan rotrik di media sosial, SAFEnet bersama tim pemeriksa fakta mencoba mendorong pemerintah untuk menangkal misinformasi dan disinformasi atas produk tembakau yang dipanaskan.
“Jadi kami akan memberikan advice untuk take down,” tuturnya.
Sayangnya, panduan atau nasehat ini terbukti belum bisa memberikan efek jera mengingat setiap platform memiliki aturan sendiri. Oleh karenanya, penting untuk melakukan konsultasi dan peninjauan tentang promosi rotrik dan zat adiktif lain di media sosial.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post