Jakarta, Prohealth.id — Sarwendah, salah satu public figure menekankan pentingnya komunikasi dua arah yang produksi sebagai cara untuk menghindari terjadinya Antimicrobial Resistance (AMR) saat dalam perawatan di rumah sakit (ICU).
Hal ini dikatakan Sarwendah saat menjadi salah satu narasumber dalam webinar “Memitigasi Risiko AMR di ICU Melalui Komunikasi yang Optimal Antara Nakes dan Keluarga Pasien: Tepat Waktu, Tepat Pasien, Tepat Guna” yang diselenggarakan oleh PT Pfizer Indonesia dalam rangka Pekan World AMR Awareness Week (WAAW) 2023 pada Rabu, 29 November 2023 lalu.
Ibu tiga anak ini melanjutkan, artinya tenaga kesehatan terkait misalnya (menjelaskan) penggunaan obat-obatan antibiotik dan perawatan apa saja yang diberikan untuk pasiennya sehingga pemulihan lebih optimal.
Dikutip dari rilis yang diterima oleh Prohealth.id, Sarwendah meyakini komunikasi adalah kunci untuk kesembuhan pasien. Hal ini dirasakannya langsung saat ia merawat suaminya, Ruben Onsu.
“Ketika suami saya dirawat di ICU, saya berkomunikasi intens dengan dokter untuk mengetahui perkembangannya, serta memahami obat-obatan yang diberikan,” ceritanya saat acara webinar.
Ia melanjutkan, bahwa dokter membantunya memahami tentang penggunaan antibiotik yang tepat agar pasien bisa sembuh dan tidak terkena AMR.
“Pengetahuan tentang AMR sangat penting karena berdampak pada perawatan kesehatan jangka panjang pasien. Saya ingin pengalaman saya dapat menjadi inspirasi bagi orang lain untuk memahami dampak AMR dan cara mencegahnya,” tambahnya.
” Jangan sampai kita tidak mengetahui perawatan yang diberikan pada anggota keluarga sendiri, terlebih lagi tentang penggunaan antibiotik,” ucapnya mengingatkan.
Sarwendah lalu membagikan empat tips berkomunikasi yang efektif untuk menghindari AMR di ICU yang dapat dilakukan pasien atau keluarganya ketika berdiskusi dengan tenaga kesehatan (nakes).
Pertama, buka percakapan setelah tindakan darurat usai. Saat pasien baru masuk ruang ICU, adalah penting memberikan prioritas kepada nakes untuk bekerja menstabilkan kondisi dan menyelamatkan nyawa pasien. Setelah tindakan ini selesai dan kondisi pasien cenderung stabil maka keluarga/pasien bisa mulai bertanya kepada nakes terkait kondisi dan tindakan yang telah dilakukan. Serta tindakan lanjutan yang akan dilakukan.
Kedua, perlunya memahami bahwa menerima informasi adalah hak pasien. Hal ini diatur dalam Permenkes RI 290/2008 yang isinya pasien berhak untuk menerima informasi yang lengkap mengenai rekomendasi medis dari tenaga kesehatan. Sedangkan tenaga kesehatan pun memiliki kewajiban memberikan informasi dan melakukan edukasi kepada pasien. Jadi mengajukan pertanyaan secara detail seputar beberapa topik, misalnya terkait penggunaan antibiotik, perkembangan kondisi pasien dan risiko terjadinya AMR pada pasien adalah hal yang normal bahkan positif.
Ketiga, pentingnya memperhatikan etika bertanya. Boleh bertanya namun ada etikanya, agar penjelasan yang didapat dari nakes lengkap dan dapat dipahami dengan baik. Disarankan sebaiknya mencari kesempatan yang pas untuk bertanya mengingat fakta bahwa nakes pastinya begitu sibuk mengurus pasien dan hal-hal medis lain. Ada baiknya, dari keluarga pasien bisa membuat perjanjian mengenai waktu yang tepat untuk berdiskusi sekaligus bertanya tentang kondisi terkini pasien kepada nakes yang merawat.
Keempat, mengusahakan atau perlu proaktif dalam pengambilan keputusan medis. Setelah mendapatkan informasi medis dari nakes yang merawat, apabila ada yang kurang dipahami maka keluarga pasien dapat meminta penjelasan. Pemahaman secara utuh semisal tentang diagnosis, tindakan medis, komplikasi, risiko, dll sangat diperlukan sebelum memberikan persetujuan. Terutama terkait pemberian antibiotik. Tak ada salahnya pihak pasien/keluarga bertanya mengenai alasan, jenis, dosis dan detail lain terkait penggunaan antibiotik tersebut di ICU.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post