Satu per satu kursi warga Yogyakarta berdatangan, mulai dari akademi, mahasiswa, jurnalis hingga anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Saat itu, waktu sudah menunjukan lebih dari pukul 13.00 WIB, Januardi Husin dari Aliansi Jurnalis Independen Kota Yogyakarta memecah suasana keramaian. Dia memperkenalkan diri akan menjadi moderator dalam diskusi A Giant Pack of Lies Part II: Kebohongan Besar Industri Rokok.
Mulai pembukaan diskusi, orang-orang yang berdatangan tak kunjung reda. Selalu saja ada peserta baru. Saking banyaknya orang yang berdatangan, aula yang besar itu tampak menjadi lebih sempit. Panitia pun harus menambah lebih dari 15 kursi lagi.
Yogyakarta menempati peringkat kedua provinsi dengan jumlah perokok tembakau terbanyak di Indonesia, sebesar 25,18 persen. Yogyakarta juga adalah provinsi nomor satu dengan proporsi perokok elektrik terbanyak di Indonesia, sebesar 9,6 persen di tahun 2023.
Penulis buku A Giant Pack of Lies, Novita Sari Simamora mengatakan memang jumlah perokok di Indonesia itu mengkhawatirkan, termasuk di Yogyakarta.
Indonesia ini masuk kategori 3 terbesar di dunia dengan jumlah perokok terbanyak, yakni 70 juta orang. Dari jumlah itu, 7,8 juta di antaranya masih anak-anak.
Novita pernah mewawancarai sejumlah perokok anak. Seorang anak di Bogor mengaku kepada Novita, pernah menyembunyikan rokok di tempat pensil dan ketahuan oleh orang tuanya.
Orang tuanya tidak bisa marah lantaran dirinya pun adalah perokok. Karena keterbatasan ekonomi, sang ayah meminta anaknya untuk memilih berhenti merokok atau tetap merokok namun harus beli pakai uang sendiri.
Novita menyayangkan anak itu lebih memilih lanjut merokok dan berhenti dari sekolah. Anak itu kemudian bekerja sebagai kuli bangunan demi membeli rokok.
Novita sendiri berasal dari keluarga yang perokok. Ayah dan adik laki-lakinya adalah perokok. Ia terus mengkhawatirkan kesehatan ayahnya jika terus menerus merokok, Namun, dia tak bisa secara terang-terangan melarang ayahnya merokok. Kini, ayahnya menderita penyakit berat karena dampak merokok.
“Efeknya kami lihat itu di masa tua sakit. ayah itu sakit TB1, TB2, lalu TB resisten,” ujar Novita.
Semenjak itu, dia bersemangat untuk menulis terkait bahaya tembakau. Dalam bukunya, Novita mewawancarai para pemangku kebijakan, DPRD, hingga perokok untuk membongkar keculasan di balik industri tersebut.
“Buku ini mengungkap cara-cara licik industri rokok masuk ke Indonesia,” ujarnya.
Dia mengungkap bagaimana lobi-lobi industri rokok hingga bisa membuat harga rokok murah. Lalu, bagaimana industri rokok melakukan lobi-lobi dengan pemerintah sehingga cukai itu tidak naik.
“Biasanya cukai itu tidak naik menjelang Pilkada atau Pilpres karena itu digunakan untuk lobi-lobi,” ungkapnya
Kepala Departemen Perilaku, Kesehatan Lingkungan dan Kedokteran Sosial Universitas Gadjah Mada (UGM), Yayi Suryo Prabandari mengatakan sudah banyak mendengar bahwa pejabat yang sudah menyelesaikan masa tugasnya, menjadi komisaris di perusahaan rokok. Oleh sebab itu, tantangan untuk memerangi rokok sangat sulit.
Selain itu, iklan rokok juga turut memperparah penambahan prevalensi perilaku tak sehat tersebut. Yayi pernah melakukan penelitian terhadap 1.200 siswa SMP dan SMA di Yogyakarta terkait pengaruh iklan rokok.
“Penelitian saya menunjukkan bahwa ada hubungan antara iklan rokok dengan inisiasi mau merokok,” ungkap Yayi.
Oleh sebab itu, kata Yayi, seharusnya ada penghentian iklan rokok. Dia mengatakan apa yang muncul dalam iklan rokok ada banyak kebohongan. Banyak narasi-narasi yang menurutnya menyesatkan. Salah satunya terkait anggapan “merokok adalah budaya Indonesia.”
Padahal, perilaku merokok itu awalnya berasal dari kebiasaan suku Indian di Amerika untuk menyambut baik orang dari luar. Kala itu, mereka merokok dengan menggunakan pipa yang panjang.
“Pipa yang panjang itu menjadi pendek, jadi pipa. Ini yang menjadi salah satu selain memang bangsa Indian yang datang ke Indonesia, bangsa Eropa datang ke Indonesia membawa pipanya,” sambungnya.
Pipa yang masuk ke Indonesia itu sudah termodifikasi dengan cengkeh di Halmahera oleh kolonial Belanda. Banyak orang yang mulai mengonsumsi rokok saat itu.
Pabrik rokok pertama terletak di Ponorogo pada 1820, sebelum perang terjadi. Rokok mengandung zat adiktif, sehingga bisnis ini sangat menjanjikan saat itu.
Semakin lama industri rokok semakin menjamur. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat ada lebih dari 2000 industri rokok pada 2000 Setelah banyak pemaparan terkait bahaya rokok dan bagaimana cara-cara industri membuatnya menjadi trend, seorang anggota Satpol PP Bondan Yudho Baskoro berdiri membuat pengakuan.
“Terus terang saya juga perokok. Dan betul sekali apa yang disampaikan semuanya Memang betul, gak ada yang salah,” akunya.
Dia bahkan mengaku tidak hanya mengonsumsi rokok tembakau, melainkan juga elektrik. Namun, dia tidak bisa membantah fakta-fakta dari Novita dan Yayi. Memang, kata dia, industri rokok bergeliat agar semakin banyak yang berperilaku tidak sehat itu. Industri rokok juga menyasar anak dan remaja. Hal tersebut dia ketahui dari adiknya yang bekerja di salah satu pabrik rokok.
“Kebetulan adik saya itu juga bekerja di perusahaan rokok yang salah satu yang besar juga di bagian R&D dan yang memang betul ngerinya adalah mereka sekarang menyasar anak -anak dan remaja,” ucap dia.
“Kalau melihat iklan yang sekarang ini, memang kita lihat tujuan kalau cerita adik saya ini tujuannya ini adalah untuk memberikan semacam sugesti doktrin bahwa sadar bahwa happiness, kebahagiaan, kenyamanan itu bisa didapatkan dari rokok itu,” tambahnya.
Mendengar itu, Yayi tak habis pikir sedahsyat itu pengaruh narasi sesat dari industri rokok. Selain iklan di TV dan website, industri rokok juga tak segan-segan mengeluarkan uang milyaran per tahun untuk membayar influencer.
“Sebetulnya Kementerian Kesehatan sudah mempunyai beberapa influencer ya tetapi itu rasanya masih kalah jauh sama yang lain,” ucapnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Emma Rahmi Aryani mengakui maraknya perokok anak dan remaja di kotanya. Pihaknya mengaku sudah melakukan screening di beberapa sekolah.
Pada 2023 lalu, Dinkes Yogyakarta melakukan survei dengan responden 5.862. Ada temuan dari jumlah itu bahwa yang merokok ada 640 atau 9,6 persennya. Kemudian, pada 2024 ada pula survey terhadap 2.909 responden anak. Sebanyak 249 atau 7,9 persen di antaranya mengaku merokok.
“Memang pada tahun 2023 ke 2024 memang ada penurunannya, tapi memang belum sesuai dengan target,” ucapnya.
“Ya harapan kami memang nanti 2025 bisa turun, ya paling tidak 7,3 sesuai target yang sudah dicanangkan,” imbuhnya.
Beberapa Puskesmas di Yogyakarta sudah membuka klinik membantu siapa pun berhenti merokok. Sedikitnya sudah ada ada 18 Puskesmas.
Kawasan Tanpa Rokok
Emma mengungkapkan Yogyakarta sudah mempunyai Perda Nomor 2 tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Dalam Perda tersebut, seseorang yang merokok di KTR bisa terkena denda Rp7,5 juta atau kurungan 1 tahun.
Namun, belum ada ketentuan yang berlaku. Sebab, kata Emma, pihaknya ingin mendahulukan upaya persuasif. Meski begitu, animo warga turut memperjuangkan terimplementasinya KTR di Yogyakarta cukup tinggi.
Minggu, 27 April 2025, ratusan orang turun ke jalan di kawasan Malioboro. Walikota Yogyakarta Hasto Wardoyo juga turut turun dalam pawai tersebut. Aksi pawai tersebut untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya konsumsi rokok dan pentingnya KTR.
Ketua Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), Manik Marganamahendra berpendapat KTR di Yogyakarta seharusnya menjadi ruang aman bagi semua orang, terutama anak-anak dan remaja, dari paparan asap rokok.
“Melalui pawai hari ini juga kami mau mengingatkan bahwa advokasi penguatan KTR bukan sekadar soal kesehatan, tetapi soal keadilan sosial. Semua warga berhak atas udara bersih, dan kami mendorong pemerintah daerah untuk memperkuat pengawasan serta memastikan aturan ini benar-benar ditegakkan,” kata Manik.
Manik juga mendorong percepatan lahirnya Perda yang lebih spesifik dan progresif tentang pengendalian rokok di tingkat provinsi DIY ataupun tingkat Kabupaten/Kotanya.
Menurut Manik, Perda tersebut penting sebagai mandat implementasi PP 28/2024 di tingkat lokal, termasuk zonasi tanpa rokok dan pengaturan iklan rokok.
“Jika Perda ini sukses, dampaknya lebih besar dari kesehatan tapi juga mendorong perubahan sosial di tingkat masyarakat yang menambah nilai ekonomi dan kualitas lingkungan lebih baik,” tuturnya.
Pendiri Social Movement Institute (SMI), Eko Prasetyo menambahkan bahwa mengendalikan konsumsi rokok dengan aturan KTR itu harus berjalan demi melindungi hak publik untuk lepas dari dampak buruk produk rokok.
“Setidaknya masyarakat sipil bisa mengingatkan pemerintah akan hak publik dan mengingatkan masyarakat untuk memperjuangkan hak publik,” tutur Eko.
Sementara itu, Walikota Yogyakarta Hasto Wardoyo mengaku selalu prihatin dengan kondisi di Yogyakarta. Sebab, banyak perokok di sembarang tempat. Oleh karena itu, kampanye dilarang merokok di sembarang tempat itu sangat penting.
“Bayangkan saja, banyak anak, ibu, dan orangtua yang menikmati udara pagi, tapi sangat disayangkan kalau banyak merokok. Bisa dibayangkan betapa toksik dan bisa bahaya bagi kesehatan mereka,” ujar Hasto.
Dia berharap kesadaran untuk tidak merokok di Malioboro terbangun, meski secara bertahap. Dia pun mewanti-wanti agar warga Yogyakarta tidak merokok di sembarang tempat.
“Meski bertahap, mohon kesadaran tidak merokok di Malioboro. Saya bertanggung jawab atas Malioboro untuk kesehatan, kebersihannya, jadi mohon untuk tidak merokok di sembarang tempat demi kita bersama,” pungkasnya.
Pukul 08.00 WIB, matahari kian terik di titik 0 Yogyakarta. Namun, ratusan warga itu masih semangat mengkampanyekan bahaya rokok dan pentingnya KTR.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post