Jakarta, Prohealth.id – Aliansi Perlindungan Anak Untuk Darurat Perokok Anak mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar segera mengesahkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Aliansi yang terdiri atas 37 lembaga dan organisasi di seluruh Indonesia itu mendorong revisi, salah satunya mengatur larangan iklan promosi rokok.
“Sebagian besar anak-anak sudah menggunakan handphone (ponsel) dan semakin dekat terpapar iklan rokok (internet). Lagi-lagi ini harus ada keberanian dan komitmen (merevisi Nomor 109 Tahun 2012),” kata juru bicara Aliansi Perlindungan Anak Untuk Darurat Perokok Anak, Azhar Zaini, kepada Prohealth, Minggu (11/7/2021).
Dia menambahkan, revisi PP tersebut untuk melindungi anak-anak bertaut menurunkan prevalensi perokok pemula. Adapun proses upaya revisi PP tersebut sudah berlangsung sejak 3 Mei 2018. Namun sampai sekarang masih tertunda.
Padahal ada 3,2 juta anak usia 10 tahun hingga 18 tahun menjadi perokok aktif, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018. Musabab jumlah anak perokok tersebut karena regulasi yang dianggap lemah.
Demi terus mendorong pengesahan revisi, aliansi itu telah mengirim surat kepada Jokowi, pada 1 Juli.
“Kami berharap ada ketegasan dari presiden. Revisi PP ini berkaitan perlindungan kesehatan khususnya untuk kaum rentan yaitu anak-anak,” ujarnya.
IKLAN ROKOK MENGEPUNG ANAK-ANAK
Pada 2018, Tobacco Control Support Centre – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) merilis laporan penelitian Paparan Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis univariat diketahui, bahwa masyarakat umum lebih banyak melihat iklan rokok melalui televisi sebesar 83,1 persen, spanduk sebesar 77,50 persen, papan iklan sebesar 69,90 persen, poster sebesar 67,80 persen, dan tembok publik sebesar 56,50 persen.
Adapun promosi dan sponsor melalui toko yang menjual rokok adalah 69,50 persen, acara olahraga sebesar 43,80 persen, logo barang dagangan atau merchandise sebesar 37,90 persen, dan acara musik sebesar 36 persen. Sedangkan anak-anak muda usia di bawah 18 tahun lebih banyak terpapar iklan rokok melalui televisi sebesar 85 persen, spanduk sebesar 76,3 persen, papan iklan sebesar 70,9 persen, poster sebesar 67,7 persen, tembok publik sebesar 57,4 persen, kendaraan umum sebesar 47,3 persen, internet sebesar 45,7 persen, koran atau majalah sebesar 23,6 persen, radio sebesar 17,4 persen, dan bioskop sebesar 12,4 persen.
Hasil penelitian juga menunjukkan, bahwa anak-anak muda usia di bawah 18 tahun lebih banyak terpapar promosi dan sponsor di toko yang menjual rokok yaitu 74,2 persen, acara olahraga sebesar 46,6 persen, logo barang dagangan atau merchandise sebesar 39,1 persen, acara musik sebesar 39 persen, pembagian sampel rokok gratis sebesar 14,7 persen, harga diskon sebesar 12,3 persen, hadiah gratis atau diskon spesial sebesar 8,7 persen, kupon atau voucher rokok sebesar 5,4 persen, dan surat sebesar 6,5 persen.
Angka 45,7 persen anak-anak muda usia di bawah 18 tahun melihat iklan rokok di internet, berarti lebih tinggi dibandingkan orang dewasa. Menurut penelitian itu, paparan iklan rokok di internet untuk usia dewasa, yakni 38 persen.
Berdasarkan analisis bivariat menunjukkan hubungan signifikan antara iklan rokok di internet dengan status merokok untuk anak dan remaja usia di bawah 18 tahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan, internet memiliki peran memengaruhi perilaku merokok anak dan remaja.
Kementerian Komunikasi dan Informatika pernah menanggapi permintaan Kementerian Kesehatan untuk pemblokiran iklan rokok internet pada 2019. Laporan yang diunggah dalam situs web Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 13 Juni 2019 menjelaskan, tim ais -mesin pengais (crawling) konten negatif- menemukan sejumlah 114 kanal, antara lain Facebook, Instagram dan YouTube.
Konten tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 46, ayat (3) butir C tentang promosi yang memperagakan wujud rokok. Waktu itu, menurut keterangan, tim ais telah menurunkan (take down) akun maupun konten platform tersebut.
Pendapat mengenai iklan rokok digital pun terus disoroti. “Sudah banyak studi yang membuktikan iklan rokok itu memengaruhi anak-anak mulai merokok,” kata Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari.
Oleh sebab itu, ucap dia, perlu desakan untuk merevisi PP Nomor 109 Tahun 2012. Menurut dia, PP tersebut tak cukup kuat untuk melindungi anak-anak. “Di Indonesia yang belum ada kebijakan regulasi tentang iklan rokok,” ujarnya.
Lisda menjelaskan, revisi berguna untuk menguatkan pencegahan anak-anak merokok. “Kami ingin memastikan masyarakat membutuhkan (revisi) ini. Banyak teman-teman dari organisasi lain membuat studi dan survei untuk memperkuat argumentasi, kenapa revisi (PP 109 Tahun 2012) ini harus dilakukan,” ujarnya.
Revisi PP tersebut juga bertaut dengan target menurunkan prevalensi anak perokok pada 2024. Target yang ingin dicapai 8,7 persen, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pada 2020-2024.
Soal iklan rokok digital, Asisten Deputi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Nancy Dian Anggraeni pun berpendapat sama.
“Anak-anak justru mengetahui informasi-informasi tentang rokok dari internet,” katanya dalam seminar daring pada 16 Juni.
Dia menambahkan, penggunaan internet juga kian meningkat selama pandemi virus corona (COVID-19), karena anak-anak belajar dari rumah.
“Ini menjadi tantangan, anak-anak mudah dipengaruhi dengan iklan-iklan yang kelihatannya menarik, bagus kreatif,” ujarnya.
Temuan Nielsen Consumer Media View -studi yang dilakukan Nielsen Media di 11 kota di Indonesia- menguraikan, bahwa rokok adalah kategori produk yang paling banyak beriklan di media luar ruang dengan jumlah titik lebih dari 1.000, mengutip situs web Nielsen, siaran pers pada 26 Juni 2019. Kemudian, layanan online dengan 600 titik. Adapun telekomunikasi lebih dari 300 titik.
Pada 11 Maret 2020, Nielsen meluncurkan siaran pers ihwal belanja iklan. Dalam keterangan itu, kategori rokok kretek belanja iklan mencapai Rp 7,2 triliun dengan pertumbuhan 24 persen, berdasarkan temuan Nielsen Advertising Intelligence.
PENGENDALIAN IKLAN DIGITAL
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi pun menegaskan, PP Nomor 109 Tahun 2012 belum mengatur iklan rokok digital. “Saat ini marak di semua link (tautan) digital. Di YouTube selalu muncul iklan rokok yang sangat informatif,” katanya.
Soal itu, dia menambahkan, semestinya ada aturan yang menentukan jam tayang serta akses. Menurut dia, hal itu penting untuk membatasi anak-anak maupun remaja tidak mudah melihat iklan rokok.
“Lagi-lagi ini menjadi wabah baru di sektor periklanan. Jadi ini secara substansi (PP Nomor 109 Tahun 2012) itu sudah mengalami banyak cacat sosial, yuridis, politis,” ujarnya.
Sebab itu, perlu amendemen untuk memenuhi Kebutuhan pengendalian rokok. “Supaya bisa berfungsi efektif melindungi masyarakat,” ucapnya.
Soal konteks konsumen, PP tersebut dianggap banyak kekurangan. Dia mencontohkan, Pasal 17 ayat (4) terkait peringatan kesehatan yang diatur ukurannya 40 persen di kemasan rokok.
“Apalagi 40 persen ini sering tertutup oleh pita cukai. Entah sengaja atau tidak, sehingga pesan kepada konsumen tidak tercapai,” katanya.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post