Kementerian Kesehatan berupaya menjamin kenyamanan dan kesehatan para jemaah saat beribadah di tanah suci.
Kementerian Kesehatan pun membentuk sebuah Tim Sanitasi dan Keamanan Pangan untuk memastikan dan menjamin asupan serta akomodasi jemaah di pemondokan. Secara teknis, tim ini bertugas melakukan Inspeksi Kesehatan Lingkungan (IKL) pada katering dan pemondokan tempat jemaah haji. IKL sendiri akan berbentuk dalam upaya pengamatan dan pemeriksaan langsung terhadap lingkungan tempat tinggal meliputi standar suhu, udara, pencahayaan ruangan, kebersihan lingkungan, serta pengolahan limbah.
Dari situs resmi kemkes.go.id, dr. Indro Murwoko selaku Kabid Kesehatan Haji mengatakan bahwa, seluruh pemondokan akan melalui proses pemeriksaan dan inspeksi. Apabila ada yang tidak sesuai standar, akan langsung melalui evaluasi dan perbaikan.
”Seluruh pemondokan diperiksa dengan melihat beberapa kamar jemaah sebagai contoh. Temuan dari Inspeksi Kesehatan Lingkungan apabila terjadi hal hal yang tidak standar dilaporkan kepada pimpinan penyelenggaraan haji untuk dievaluasi,” ujarnya.
Sampai saat ini, pemondokan untuk jemaah haji terbilang cukup nyaman dan juga dekat dengan Masjid Nabawi. Rata-rata jaraknya hanya berkisar di 50 meter sampai sekitar 350 meter.
Pada bagian pengawasan makanan, Kemenkes akan memastikan makanan sudah layak konsumsi. Pemerintah akan mengawasi setiap hari dengan pengujian organoleptik yang meliputi pengujian rasa, bau, tekstur, dan warna. Harapannya, pengujian ini dapat mendeteksi resiko kerusakan makanan agar dapat terhindar sebelum jemaah mengonsumsinya.
Tidak hanya pada rasa makanan, Kemenkes mengawasi kebersihan dan keamanan makanan mulai dari penyedia jasa makanannya atau katering. Pengawasan ini mulai sejak proses penerimaan, penyimpanan, pengolahan, sampai pengepakan makanan dan distribusi.
“Selain rasa makanan, kebersihan dan keamanan kandungan dari makanan tersebut juga sangat penting. Oleh karenanya, pengawasan mulai dari penyiapan makanan oleh katering sampai oleh jemaah siap konsumsi,” jelas dr. Indro Murwoko.
Tekan Angka Kematian Jemaah Haji
Selain menjaga dan mengawasi kualitas pangan dan pemondokan, Kemenkes juga turut berupaya menekan angka kematian jemaah haji. Dalam situs kemkes.go.id, Kepala Pusat Kesehatan Haji Kemenkes RI, Liliek Marhaendro Susilo, Ak M.M mengungkapkan, hal ini adalah sejumlah inovasi dalam memantau kesehatan jemaah haji. Upaya ini meliputi pengadaan Kartu Kesehatan Jemaah Haji (KKJH), pengetatan Istitha’ah, hingga tambahan asesmen untuk jemaah.
Kartu Kesehatan Jemaah Haji (KKJH) adalah kartu identitas atau tanda pengenal (name tag) jemaah haji yang kini dilengkapi dengan QR Code. Kode QR ini terletak di bagian belakang tanda pengenal jemaah haji. Penggunaan teknologi ini merupakan bagian dari penyediaan ringkasan riwayat kesehatan jemaah atau International Patient Summary (IPS). IPS sendiri adalah syarat standar langsung dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Arab Saudi. QR ini akan menampilkan kelengkapan riwayat kesehatan jemaah. Harapannya, jemaah akan menerima penanganan akan secara cepat ketika sedang menderita sakit.
“Dengan data itu, kami harapkan kalaupun ada jemaah sakit di rumah sakit Arab Saudi, QR Code di-scan sehingga nanti bisa memberikan terapinya lebih tepat. Jadi, tidak menebak-nebak obatnya apa. Kalau boleh sebut, itu salah satu inovasi,” ungkap Liliek via kemkes.go.id.
Selain menghadirkan Kartu Kesehatan Jemaah Haji (KKJH) dengan rekam medis jemaah, Kemenkes juga turut melakukan pengetatan Istitha’ah dan tambahan asesmen. Istitha’ah sendiri bermakna kemampuan jemaah haji dari aspek kesehatan, baik fisik maupun mental. Untuk hal ini, pemerintah akan melakukan pengetatan secara langsung dalam proses pemeriksaannya. Secara pelaksanaan, pengetatan Istitha’ah menggunakan komputerisasi
Selain itu, ada juga asesmen tambahan lebih ketat pada aspek kognitif, mental, dan aktivitas pada lansia. Hal ini guna melihat seberapa besar kemampuan jemaah dalam melakukan aktivitas keseharian.
Liliek juga turut menambahkan bahwa besar harapan Kemenkes untuk melakukan penyaringan yang ketat dalam menentukan jemaah yang layak terbang atau tidak.
“Lewat sistem ini, kami harapkan hasil pemeriksaan kesehatan benar-benar objektif. Dengan inovasi, yang paling utama adalah kami memang melakukan penyaringan untuk menentukan, jemaah layak terbang atau tidak, itu yang kita perketat.” jelasnya.
Tidak hanya itu, di tahun ini, Kemenkes juga turut melakukan program implementasi ramah lansia untuk memonitor dan memastikan apakah jemaah sudah benar-benar sehat secara fisik dan mental atau belum, saat berangkat. Petugas kesehatan pendamping akan melakukan pemantauan dari mulai manasik haji.
Liliek via kemkes.go.id menuturkan bahwa program ini penting agar jemaah haji dan petugas kesehatan pendamping dapat mengenal lebih dekat dan tidak sungkan ke depannya. Pemantauan kesehatan jemaah harus ketat di kloter terutama bagi mereka yang masuk kategori risiko tinggi kesehatan.
Kemenkes pun berkomitmen untuk menyiapkan kesehatan jemaah haji di tahun-tahun berikutnya secara lebih dini. Hal ini untuk mempersiapkan kondisi kesehatan jemaah haji secara lebih baik agar fit di tanah suci.
Liliek mengklaim akan langsung menjemput jemaah yang akan berangkat tahun 2025 dan 2026 untuk menyiapkan kesehatan mereka. Dengan demikian pada musim haji yang akan datang terpangggil untuk berangkat, melalui pemeriksaan, kondisi kesehatannya sudah bagus.
“Kondisinya kita siapkan dulu. Mudahan-mudahan, kita sudah tahu dulu sakitnya apa, diperiksa nanti dengan metode sederhana menggunakan pemeriksaan kesehatan yang ada di Mobile JKN berupa mengisi pertanyaan, apakah ada saudaranya yang sakit, apakah orangtua sakit apa,” ungkap Liliek.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post