Jakarta, Prohealth.id – Dominasi rokok kretek ternyata ikut menekan peredaran dan pemasaran rokok ilegal di Indonesia.
Menurut Program Manager The Prakarsa, Herni Ramdlaningrum dalam paparan tentang ‘Studi Peredaran Rokok Ilegal di Indonesia’, saat ini terjadi anomali dalam upaya pengendalian tembakau melalui kenaikan tarif cukai. Dia menjelaskan wacana menaikkan cukai rokok kerap diasosiasikan dengan adanya kenaikan penyebaran rokok ilegal di Indonesia.
Sampai saat ini tarif cukai rokok baru sekitar 40 persen dari harga jual rokok. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, cukai bisa dikenakan sampai 57 persen dari harga cukai rokok. Pada sisi lain, Herni juga menyoroti pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil dalam beberapa dekade sehingga kenaikan harga rokok seharusnya tidak menghambat upaya pengendalian zat adiktif guna mendorong kesehatan masyarakat.
Berkaca dari temuan The Prakarsa di 6 kabupaten atau kota yaitu; Tangerang, Lampung Selatan, Lampung, Banyumas, Gowa, dan Malang dengan total 1.440 responden tercatat konsumsi rokok ilegal di Indonesia relatif kecil yakni 1,8 persen saja dari sampel 1.201 bungkus rokok yang dikumpulkan. Artinya, hanya sekitar 20 bungkus rokok saja yang terbukti ilegal.
“Dalam proses identifikasi ini sebelumnya kami belajar dari bea dan cukai bagaimana mengidentifikasi rokok ilegal, pakai sinar biru, dan memang kurang dari dua persen saja yang ilegal,” jelas Herni dalam webinar, (21/7/2021).
Herni menerangkan, rendahnya pemasaran dan peredaran rokok ilegal juga sangat dipengaruhi oleh tingginya rokok kretek di Indonesia. Penurunan peredaran rokok ilegal juga sangat dipengaruhi oleh penegakan administrasi dan kenaikan cukai yang selama ini sudah dilakukan oleh pemerintah.
Faktor dramatis lainnya yang mengukuhkan temuan ini adalah, responden dari studi ini mencatat ada 48,5 persen yang sebenarnya tidak tahu ada rokok ilegal. Hanya 30,7 persen yang tahu ada rokok ilegal namun tidak bisa membedakan rokok ilegal dan non ilegal. Sisanya, hanya 20,3 persen saja dari responden yang tahu ada rokok ilegal dan mampu membedakan dua kategori rokok tersebut.
“Dari responden kami pun hanya sekitar 19 persen saja yang mengaku sudah pernah mengonsumsi rokok ilegal. Separuhnya hanya mencoba sekali saja. Alasannya, ada efek tidak enak berupa sakit kepala,” jelas Herni.
Dengan begitu, harga murah yang ditawarkan rokok ilegal ternyata bukan menjadi pertimbangan utama seseorang konsumsi rokok ilegal. Herni meyakini temuan tersebut mematahkan asumsi bahwa kenaikan cukai akan mendorong kenaikan rokok ilegal, sebab konsumsi rokok ilegal bukanlah perilaku jangka panjang.
Dengan begitu upaya untuk menaikkan cukai rokok masih efektif untuk mendorong pengendalian tembakau dan menaikkan taraf kesehatan masyarakat. The Prakarsa menemukan, dengan kenaikan tarif cukai rokok 50 persen akan membuat 12 persen perokok berhenti merokok. Sisanya, ada 45 persen perokok memutuskan mengurangi konsumsi rokok.
“Kenaikan 100 persen cukai rokok akan membuat sepertiga perokok berhenti merokok, dan 40 persen perokok akan mengurangi konsumsi rokoknya,” jelas Herni.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post