Jakarta, Prohealth.id – Fokus pemerintah dan masyarakat dunia memang sedang tertuju pada upaya pengendalian pandemi COVID-19, padahal ada satu pokok masalah yang masih menghantui proses pengendalian ini yakni belum suksesnya upaya pengendalian rokok dan distribusi zat adiktif.
Menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi setiap 31 Mei 2021 seluruh masyarakat dunia akan memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia alias World No Tobacco Day. Oleh sebab itu dalam nuansa yang diliputi ketidakpastian akibat pandemi COVID-19 menjadi relevan untuk mengkaji beberapa catatan krusial pengendalian tembakau.
Melalui pesan singkat yang diterima Prohealth.id, Minggu (30/5/2021), setidaknya ada tiga hal yang membuat Indonesia sulit untuk mengendalikan tembakau dan zat adiktif lain selama masa pandemi.
Pertama, saat ini lebih dari 35 persen masyarakat Indonesia adalah perokok aktif dengan lebih dari 70 persen berstatus sebagai perokok pasif. Tingkat pertumbuhan perokok anak juga sangat signifikan, lebih dari 8,9 persen yang mana ini merupakan rekor tercepat di dunia. Tak heran jika sejak 1997, WHO telah menyatakan bahwa konsumsi tembakau atau rokok sebagai pandemi global.
Kedua, tingginya konsumsi rokok juga menjadi triger pada tingginya penyebaran dan penularan COVID-19. Seperti halnya COVID-19, gangguan utama pada perokok aktif adalah pada saluran pernafasan. Akibatnya, seorang perokok aktif menjadi lebih potensial terpapar COVID-19.
Ketiga, selaras dengan hal tersebut dan berdasarkan dengan hasil survei dari Komnas Pengendalian Tembakau sebanyak 64,5 persen responden percaya bahwa seorang perokok lebih rentan untuk terpapar COVID-19. Meski begitu, ada anomali karena hampir 50 persen responden tetap nekat aktif merokok selama pandemi ini.
“Ini jelas fenomena yang sangat anomali, baik dari sisi kesehatan, dan juga sisi ekonomi. Selama pandemi COVID-19 pendapatan masyarakat terpukul [menurun], tetapi mereka tetap mengalokasikan pendapatannya untuk konsumsi rokok,” terang Tulus.
Idealnya di tengah pandemi COVID-19, masyarakat menurunkan atau mengurangi atau bahkan berhenti merokok, dan mengutamakan untuk alokasi komoditas yang esensial, seperti kebutuhan pangan dan kesehatan.
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya menjadikan pandemi COVID-19 sebagai alasan utama untuk lebih serius mengendalikan konsumsi rokok pada masyarakat.
“Jadikan wabah COVID-19 sebagai golden moment untuk mewujudkan pola hidup sehat, terbebas dari wabah COVID-19 dan terbebas dari bahaya rokok,” jelasnya.
Untuk mewujudkan hal itu, Tulus menyarankan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Presiden Joko Widodo tidak ragu ragu untuk mengamandemen PP 109/2012 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif pada Kesehatan. Tulus beralasan PP 109/2012 saat ini secara substansi sudah sangat tidak kontekstual, sehingga tidak efektif untuk melindungi masyarakat. Tidak efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok.
“Kita berharap Menkes mempunyai legasi yang monumental, yaitu mengamandemen PP 109/2012, demi terwujudnya kesehatan masyarakat Indonesia yang lebih hakiki. Setuju kan, Pak Budi?” ujar Tulus.
Discussion about this post