Resistensi antibiotik akibat mikroba terjadi karena protokol pengobatan yang sembarangan. Akibatnya infeksi pada pasien bertambah parah dan ini yang menyebabkan angka kematian tinggi.
Menurut Wakil Menteri Kesehatan RI dr. Dante Saksono Harbuwono angka kematian akibat AMR cukup tinggi yakni sekitar 1,2 juta kematian. “Kondisi itu terjadi karena antibiotik yang tidak mempan lagi terhadap infeksi tertentu,” ujar dr. Dante usai penutupan pertemuan Side Event AMR dalam rangkaian G20, pada Rabu, 28 Agustus 2022 lalu.
Oleh karena itu, Indonesia menginisiasi pembahasan aturan penggunaan antibiotik dalam side event AMR karena Indonesia salah satu negara tropis yang angka infeksinya tinggi. Pembahasan ini diperlukan untuk mengatur penggunaan antibiotik yang lebih rasional, sehingga kematian akibat kesalahan penggunaan antibiotik menjadi berkurang.
Selain itu, resistensi antibiotik akibat mikroba bisa berasal dari hewan dan tumbuhan. Oleh karena itu, dr. Dante menyoroti pendekatan One Health System yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan dalam merespons masalah tersebut.
“Melalui pendekatan One Health, di mana infeksi itu bisa berasal dari hewan, tumbuhan. Itu juga penting dilakukan karena ternyata banyak sekali penggunaan antibiotik pada hewan dan tumbuhan yang tidak rasional yang menyebabkan resistensi pada manusia,” ungkap dr. Dante.
Dampak terselubung AMR pada kesehatan mental
Menurut Nurul Nadia Luntungan selaku Authorized Signatory Konsorsium Penabulu-STPI, AMR adalah kondisi yang tidak hanya meluas dengan cepat dan sulit terdeteksi bak silent pandemic. Lebih dari itu, kondisi AMR sangat memberi efek pada kondisi mental pasien.
Sebagai praktisi kesehatan masyarakat yang fokus pada isu-isu tuberculosis, Nurul menyatakan kondisi resisten obat antibiotik ini dialami juga oleh segelintir pasien tuberkulosis (TBC).
“Memang ini dampaknya fenomenal buat pasien yang terkena [AMR]. Juga dalam kasus-kasus TBC kan katastropik, dan kondisi AMR ini bisa sampai membuat pasien berniat bunuh diri,” ujar Nurul menceritakan efek keputusasaan akibat AMR yang dialami pasien TBC.
Nurul mengakui, sekalipun angka pasien TBC yang menderita AMR relatif kecil, tapi kondisi ini jelas menimbulkan kondisi transfer dalam menjalankan pengobatan. Dia menyebut, fungsi masyarakat sipil dalam hal penanganan AMR menjadi penting terutama akibat efek samping obat menjadi lebih kecil dan waktu yang dimiliki pasien menjadi lebih pendek.
“Menjadi penting agar lingkaran sekitar pasien memperhatikan pasien agar pasien mendapatkan support dan bisa menyelesaikan pengobatan,” tutur Nurul.
Menyoal beragam kondisi AMR sebagai silent pandemic bersamaan dengan pandemi COVID-19 dr. Dante mengingatkan bahwa situasi ini hendalkan mengajarkan masyarakat bahwa kegagalan dalam kesiapsiagaan akan mengakibatkan kegagalan di berbagai bidang. Hal yang sama berlaku untuk resistensi anti-mikroba. Artinya, segenap elemen masyarakat harus bersiap secara kolektif untuk mencegah bencana akibat AMR.
“Tidak ada satu industri pun yang dapat menghadapi ancaman ini sendirian. AMR membutuhkan banyak partisipasi dari berbagai pemangku kepentingan,” ucap dr. Dante.
Di tingkat nasional, Kementerian Kesehatan juga berkomitmen untuk bekerja sama dengan kementerian teknis lainnya dan secara bersamaan melakukan transformasi sistem kesehatan.
“Di antara inisiatif yang dilakukan, kami menawarkan penyelesaian masalah AMR, yakni dengan pembentukan inisiatif sains berbasis genom biomedis pada pengobatan yang bersifat presisi,” ungkapnya..
Ke depan, Kementerian Kesehatan akan mempercepat upaya penanggulangan AMR terutama di Indonesia. Negara-negara G20 juga memiliki peran strategis untuk mendorong pencegahan dan pengendalian AMR yang berkelanjutan di tingkat nasional dan global.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post