Merokok sudah sinonim dengan berdampak buruk bagi kesehatan manusia, baik perokok aktif dan pasif. Tembakau membunuh lebih dari 6 juta orang per tahun. Angka ini terbagi atas 7 juta kematian langsung dan 1,2 juta kematian tidak langsung (second-hand smoke). Penelitian dari Mathers dan Loncar memprediksi kematian 8 juta pada tahun 2030 dan 1 miliar pada abad ini.
Namun, banyak orang yang belum memahami bahwa dampak puntung rokok juga merugikan lingkungan.
Dari sedikitnya 6 triliun rokok yang diproduksi tiap tahun akan menghasilkan sedikitnya 2 juta ton limbah sampah dari 300 miliar bungkus rokok (asumsi untuk 20 rokok per bungkus).
Di Indonesia, jumlah konsumsi rokok pada tahun 2020 mencapai 322 miliar batang. Limbah ini tidak tertangani dan seringkali hanya dibuang begitu saja di selokan, pinggir jalan, pot bunga atau tempat umum lainnya.
Rahyang Nusantara, Koordinator Nasional Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik, mengatakan mereka masih menemukan puntung rokok dari beberapa kegiatan aksi clean up.
Penelitian awal di kawasan pariwisata Pulau Padar, Taman Nasional Seribu, menempatkan sampah puntung rokok sebagai yang tertinggi, yaitu 33,56 persen dari karakter dan jenis sampah yang ditemukan.
“Semakin tingginya prevalensi perokok di Indonesia (per April 2021 sebanyak 33,8 persen atau 65,7 juta orang) ditambah dengan tidak adanya fasilitas pengelolaan sampah puntung rokok khusus dan tidak adanya sanksi kepada perokok yang membuang sampah puntung rokoknya secara sembarangan akan semakin memperbesar kemungkinan angka sampah puntung rokok yang tidak terkelola semakin meningkat,” jelasnya kepada Prohealth.id.
Penelitian di Inggris dan Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa 75 persen dari puntung rokok ini dibuang sembarangan. Sejak tahun 2000an, para peneliti sebenarnya sudah melakukan penelitian terkait ancaman puntung rokok terhadap lingkungan. Lalu, apa saja dampak tersebut?
- Mencemari air minum
Tidak ada catatan resmi terkait kapan pertama kali rokok filter, atau rokok putih, masuk ke Indonesia. Namun, secara global, filter pada rokok sudah mulai beragam pada pertengahan tahun 1950an hingga 1960an. Filter rokok mengandung cellulose acetate (selulosa asetat) yang saat itu digadang-gadang “lebih aman” bagi kesehatan ketimbang rokok kretek (tanpa filter).
Tahun 2009, para peneliti dari Center for Tobacco Control Research and Education University of California San Francisco, AS, membantah klaim ini dan menyatakan bahwa filter selulosa asetat memang bersifat fotodegradable (terurai dengan sinar matahari) tetapi tidak biodegradable (sepenuhnya hilang dari lingkungan). Ini berarti bahan-bahan kimia yang terlepas masih bisa terlarut dalam air dan tanah.
“Filter puntung rokok itu dasarnya adalah plastik, kecuali rokok kretek. Filter puntung rokok adalah cellulose acetate yang jika terhirup, terkena kulit mata atau tertelan dapat menimbulkan iritasi. Nah, jika filter rokok ini dibuang, filter akan “menahan” bahan kimia campuran (termasuk yang beracun, ada 50an yang karsinogenik) yang ada pada rokok,” jelas Muhammad Reza Cordova, peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Temuan peneliti AS diperkuat oleh studi yang dilakukan oleh para peneliti asal Jepang, pada tahun yang sama. Penelitian yang dipimpin oleh Hiroshi Moriwaki dari Universitas Shinshu, Jepang, menemukan kandungan logam berat, seperti timbal, tembaga, kromium, kadmium, dan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) dari puntung rokok ke lingkungan. Beberapa senyawa dalam PAH tercatat sebagai polutan berbahaya yang karsinogenik (berpotensi membuat sel kanker) dan berdampak buruk bagi kesehatan manusia.
Tahun 2015, penelitian bertajuk “The environmental and health impacts of tobacco agriculture, cigarette manufacture and consumption” juga menyatakan bahwa senyawa berbahaya dari puntung rokok, termasuk arsenik, timbal, dan nikotin, bisa merembes ke medium air dan tanah. Hal ini sangat berpotensi memengaruhi kualitas air minum dan berbahaya bagi kesehatan manusia.
- Menghambat pertumbuhan tanaman dan meracuni satwa
Limbah puntung rokok tidak hanya meracuni air, tetapi juga kesuburan tanah. Pada penelitian yang dilakukan oleh Universitas Anglia Ruskin di Inggris dan sudah diterbitkan di jurnal “Ecotoxicology and Environmental Safety” terungkap puntung rokok yang dibuang ke tanah akan mengurangi kesuksesan perkecambahan pada tanaman.
Para peneliti menemukan adanya penurunan perkecambahan sebesar 27 persen, panjang pucuk semanggi putih (Trifolium repens) sebesar 28 persen, dan berat akar hingga 57 persen. Sementara, keberhasilan perkecambahan menurun hingga 10 persen, dan panjang pucuk hingga 13 persen pada rumput rai (ryegrass).
Dannielle Green, kepala tim penelitian dan dosen biologi di Universitas Anglia Ruskin, mengatakan kepada EurekAlert!, bahwa penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menunjukkan dampak puntung rokok terhadap tanaman. Kedua spesies tanaman yang diteliti, lanjutnya, merupakan pangan yang penting bagi ternakan dan banyak ditemukan di ruang terbuka hijau.
Sementara itu, dampak limbah puntung rokok terhadap satwa sudah terlihat sejak 2 dekade lalu. Tahun 2000, peneliti dari Departemen Ilmu Alam, Universitas Longwood, AS, Kathleen Register, menerbitkan tulisan “Cigarette Butts as Litter – Toxic as Well as Ugly” pada “Underwater Naturalist, Bulletin of the American Littoral Society” yang memperlihatkan air lindi dari puntung rokok meracuni kutu air raksasa (Daphnia magna).
“Jika filter rokok dibuang tanpa dikelola, sangat mungkin filter akan menjadi objek salah makan dari biota liar. Berarti, secara tidak langsung segala macam bahan kimia ini juga akan masuk ke biota yang memakan filter rokok ini,” jelas Muhammad Reza Cordova.
Beberapa penelitian lanjutan mengkonfirmasi bahaya air lindi dari limbah puntung rokok yang terserap ke lingkungan, terutama air, juga berdampak kepada satwa air lainnya seperti ikan medaka (Oryzias latipes) asal Jepang pada tahun 2015.
- Menghasilkan sampah mikroplastik
Filter pada puntung rokok biasanya mengandung serat selulosa asetat yang berbahan plastik. Timbulan miliaran puntung rokok tiap tahunnya akan menambah beban membersihkan Bumi dari sampah plastik.
Muhammad Reza Cordova, peneliti dari BRIN, menjelaskan filter rokok akan terpapar sinar matahari, terbawa arus air, terdorong angin atau ada gesekan ketika berada di lingkungan dan membuat ukuran plastik filter menjadi lebih kecil.
“Akibatnya ekosistem penerima akan rentan terhadap plastik ukuran kecil/mikroskopis yang dikenal dengan mikroplastik. Semakin kecil ukurannya, semakin besar kemungkinan masuk ke tubuh biota dan akan juga membawa bahan kimia yang terkandung dalam rokok. Hal ini pasti akan memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan akan bisa jadi kembali ke manusia,” tandas Muhammad.
Dampak jangka panjang, lanjutnya, jika masuk ke rantai makanan bisa mengganggu hormon, saluran pencernaan atau pernapasan, mengganggu perkembangan otak hingga gangguan genetika.
“Apalagi kita sudah mendengar kabar mikroplastik sudah masuk ke darah. Berarti, ini perlu dikendalikan sehingga mengurangi polusi,” lanjutnya.
Akhir tahun 2021, The Guardian menerbitkan artikel tentang para peneliti di Inggris menemukan mikroplastik, partikel plastik yang berukuran kurang dari 5 milimeter atau lebih kecil dari sehelai rambut, dalam darah manusia. Meskipun belum diketahui dampak langsung terhadap kesehatan manusia, namun akumulasi mikroplastik dapat merusak sel-sel dalam tubuh manusia.
Hingga kini, belum ada penanganan khusus untuk limbah puntung rokok di Indonesia. Sampah ini masih bercampur dengan jenis lainnya di tempat pembuangan akhir atau TPA.
“Saya pribadi menyarankan jika bisa mengganti rokok dengan filter dengan rokok kretek. Lebih baik lagi jika berhenti merokok. Jika memang belum bisa mengganti atau berhenti, paling tidak memastikan puntung sampah dibuang pada tempat khusus. Sehingga filter rokok dapat didaur ulang (karena dasarnya plastik, sehingga bisa di daur ulang) atau digunaulang seperti penelitian yang dilakukan UII atau yang aplikasinya dilakukan oleh Parongpong,” jelas Muhammad.
Sementara, Rahyang Nusantara dari Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik menegaskan pentingnya kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk menekan angka konsumsi produk tembakau atau rokok (yang pada kenyataannya malah dijadikan alat pemasukan negara).
“Tentunya pemerintah harus membuat kebijakan yang mendorong industri rokok untuk bisa bertanggung jawab terhadap sampah produk yang mereka hasilkan,” lanjut Rahyang.
Dia menambahkan ketersediaan fasilitas pengumpulan sampah puntung rokok dan edukasi masyarakat agar memilah sampah puntung rokok mereka.
“Sampah puntung rokok bukan termasuk dalam kategori sampah organik maupun non-organik, melainkan sampah B3 karena pada puntung rokok tersebut mengandung zat nikotin dan zat berbahaya lainnya yang harus melalui proses pengelolaan sampah secara khusus agar tidak berbahaya untuk lingkungan,” jelasnya.
“Namun, belum ada teknologi yang aman dan sehat serta berkelanjutan yang dapat menangani sampah puntung rokok, meski saat ini ada yang mempromosi kan bisa “daur ulang” puntung rokok, saya sangsi itu produknya bebas racun, baik dari segi proses maupun barang hasil daur ulang.”
Penulis: Fidelis Eka Satriastanti
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post