Jakarta, Prohealth.id – Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menyelenggarakan seminar daring 10th D’Rossi Open Lecture bertema “Bersikap Tenang Di Puncak Pandemi”.
Seminar tersebut menghadirkan dr. Ceva Wicaksono Pitoyo, Sp. PD-KP., KIC., staf pengajar Respirologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, yang menyampaikan materi tentang ‘Memahami Saturasi Oksigen Kritis pada Pasien Covid-19’.
Menurut dr. Ceva, penderita Covid-19 yang memiliki kadar oksigen rendah dapat mengalami happy hypoxia, yaitu suatu kondisi yang ditandai dengan saturasi yang rendah, namun tidak bergejala.
“Saturasi oksigen adalah persentase Hemoglobin (Hb) yang mengikat oksigen atau kejenuhan Hb yang teroksigenisasi,” ujar dr Ceva menjelaskan melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id pada Kamis, (22/7/2021).
Saturasi oksigen seseorang dapat diukur dengan alat yang bernama oksimeter. Pengukurannya dilakukan dengan cara menjepitkan oksimeter pada jari tangan. Saturasi oksigen kemudian akan diukur berdasarkan jumlah cahaya yang dipantulkan oleh sinar inframerah, yang dikirim ke pembuluh darah kapiler.
Dia berpendapat bahwa penderita Covid-19 cenderung memiliki tingkat oksigen yang rendah di dalam darah. Hal itu karena sirkulasi oksigen pada pasien terhambat akibat adanya infeksi virus pada paru-paru, sehingga mengakibatkan penumpukan cairan yang menyulitkan oksigen masuk ke dalam tubuh.
Saturasi oksigen dapat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu sistem peredaran darah dan fungsi paru-paru. Pada pasien Covid-19, distress napas bisa disebabkan oleh dua hal, yaitu gagal napas dan tromboemboli alias bekuan darah yang bergerak.
Di akhir penyampaian materi, dr. Ceva menjelaskan beberapa cara untuk meningkatkan saturasi oksigen agar tetap stabil, diantaranya adalah memastikan bahwa sirkulasi udara di ruangan sudah baik, olahraga teratur, konsumsi zat besi, dan menghindari merokok.
“Hal ini mungkin terdengar klise, tapi ini adalah cara-cara klasik yang sudah terbukti menjaga kesehatan manusia secara holistik, “ujarnya.
Selain itu, fenomena kelangkaan oksigen dan obat-obatan penanganan Covid-19 yang terjadi belakangan ini turut mendapat perhatian dari narasumber lain, yaitu Heru Susetyo, S.H., LL.M., MSi., Ph.D., Manajer Riset, Publikasi, dan Sitasi Fakultas Hukum UI. Heru membawakan materi berjudul “Konsekuensi Hukum Penimbun Tabung Oksigen dan Obat Covid-19”.
Dia menjelaskan bahwa setiap orang yang melakukan aksi penimbunan tabung oksigen dan obat-obatan dapat dikenakan sanksi berdasarkan Undang-Undang No. 7 tahun 2014 dengan ancaman 12 tahun penjara dan denda sebesar lima miliar rupiah. Selain itu, oknum penimbun juga dapat dikenakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan ancaman penjara enam tahun dan denda dua miliar rupiah.
Selain membahas mengenai konsekuensi hukum bagi pelaku penimbun oksigen, Heru juga membahas mengenai pasal 14 Undang Undang Wabah tahun 1984 yang masih bersifat sangat luas dan cair sehingga penegak hukum mengalami kesulitan dalam menentukan apakah tindakan pelanggaran tersebut termasuk ke dalam kategori pelanggaran akibat kelalaian atau tindakan kejahatan yang dilakukan secara sengaja. Hal tersebut juga menyebabkan terjadinya ketimpangan antara penindakan pada satu kasus dan kasus lainnya.
Heru juga menambahkan bahwa sampai saat ini masih terdapat berbagai masalah dalam penanganan pandemi, seperti banyaknya hoaks akibat tingkat literasi masyarakat yang rendah, dan banyaknya aparat penegak hukum yang terpapar Covid-19. Hal ini menyebabkan aktivitas penegakan hukum tidak bisa dilaksanakan secara maksimal, karena harus dihentikan sementara waktu.
Seminar 10th D’RoSSI Open Lecture bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan wawasan bagi masyarakat umum, terkait isu-isu terkini di bidang kesehatan. Kegiatan ini diselenggarakan pada Jumat, 16 Juli 2021 lalu dan diikuti oleh sekitar 200 partisipan dari berbagai kalangan mulai dari kalangan akademisi hingga media.
Penulis: Irsyan Hasyim
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post