Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2023, jumlah perokok di Indonesia mencapai 70,2 juta. Dari jumlah itu, 63,1 juta di antaranya merupakan perokok dewasa dan 5,9 juta lainnya adalah perokok anak usia 10-18 tahun.
Sejumlah pihak menganggap kegentingan ini bisa berkurang salah satunya dengan mengatur standardisasi kemasan rokok. Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kemenkes Benget Saragih meyakini standardisasi kemasan rokok bisa mengurangi prevalensi perokok aktif di Indonesia, terutama untuk anak-anak.
“Kami sudah menyampaikan pentingnya kemasan standar karena ada kemasan yang memang sengaja dibuat berwarna untuk menarik perokok anak,” kata Benget di kawasan Kemang, Jakarta, Kamis (20/2/2025).

Benget menjelaskan sejumlah faktor yang membuatnya yakin bahwa standardisasi kemasan rokok bisa efektif mengurangi perokok anak. Pertama, standardisasi kemasan ini bisa menegurangi daya tarik produk. Dia menjelaskan selama ini desain kemasan yang menarik dan penuh warna telah menjadi strategi pemasaran yang efektif bagi industri tembakau, terutama untuk menarik perhatian anak muda.
“Kemasan Standar akan menghilangkan elemen visual yang menciptakan kesan bahwa rokok adalah produk gaya hidup atau simbol status. Tanpa daya tarik visual, diharapkan minat untuk mencoba produk tembakau terutama di kalangan anak-anak dan remaja dapat ditekan,” jelasnya.
Kedua, meningkatkan efektivitas peringatan kesehatan. Benget menyebut saat ini muatan informasi peringatan kesehatan hanya diperlihatkan 40 persen dalam kemasan rokok. Padahal, amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan, muatan informasi kesehatan minimal harus 50 persen di dalam kemasan rokok. Dia pun mengungkapkan saat ini Kemenkes tengah menggodok aturan baru mengenai standardisasi kemasan rokok. Kemenekes mengupayakan informasi peringatan kesehatan bisa dimuat 80 persen di kemasan rokok.
“Peringatan grafis tentang dampak kesehatan akibat merokok akan lebih terlihat dan lebih mengesankan bagi konsumen, sehingga dapat meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mengenai bahaya merokok,” ujarnya.
Ketiga, standardisasi kemasan terbukti membantu menurunkan angka perokok baru. Benget megatakan negara-negara yang telah menerapkan kebijakan standarisasi kemasan seperti Australia, Inggris, dan Perancis telah terjadi penurunan jumlah perokok baru.
“Studi menunjukkan bahwa kemasan polos dapat menurunkan persepsi positif terhadap produk tembakau, sehingga mengurangi kecenderungan untuk mencoba merokok di kalangan non-perokok dan remaja,” ucap dia.
Keempat, standardisasi kemasan bisa mendorong terimplementasinya kebijakan kesehatan nasional. Berdasarkan data Kemenkes dan sejumlah studi, rokok dapat memicu munculnya berbagai penyakit, bahkan bisa sampai menyebabkan meninggal dunia.
Data Institute for Health and Metrics Evaluation pada 2019, sebanyak 59,5 perokok aktif mengidap penyakit kanker trakea, bronkus dan paru hingga meninggal. Secara umum, 290.000 orang meninggal setiap tahun akibat perilaku merokok.

Jika pemerintah menerapkan standardisasi kemasan dan berhasil menurunkan prevalensi perokok, kata Benget, maka secara otomatis akan terjadi peningkatan di sektor kesehatan.
“Kebijakan ini konsisten dengan visi Indonesia dalam memperkuat sektor kesehatan, mengurangi beban BPJS, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat,” ujar dia.
Kesehatan Masyarakat Harus Jadi Prioritas
Wacana standardisasi kemasan rokok ini tidak selalu mendapat sambutan yang baik. Pihak produsen rokok belakangan banyak mengeluarkan press rilis dengan muatan kontra terhadap wacana ini.
Manajer Program Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT) Nina Samidi berpendapat harusnya semua pihak mendukung perlindungan kesehatan, termasuk mengurangi konsumsi rokok.
Masalahnya, saat ini antar kementerian saja masih ada yang keberatan jika ada peraturan standardisasi kemasan rokok. Adapun jejak keberpihakan Indonesia terhadap kebijakan ini juga tak cukup bagus.

Indonesia pernah menggugat Australia ke World Trade Organization (WTO) atas kebijakan kemasan polos produk rokok yang berlaku di negara kanguru tersebut pada 2015. Kebijakan itu memebuat Indonesia khawatir akan berdampak pada perdagangan internasional produk tembakau. Indonesia melalui Kementerian Perdagangan (Kemenedag) juga berdalih kebijakan tersebut melanggar hak kekayaan intelektual (HKI).
Namun, gugatan tersebut ditolak. WTO menegaskan kebijakan standardisasi kemasan tidak melanggar HAKI. Selain itu, negara juga mempunyai kewajiban untuk mengutamakan hak warganya.
“HAKI itu kepentingan industri. Hak kesehatan harus di atas hak industri,” ucap Nina.
Konsultan Vital Strategies, Lily S. Sulistyowati juga mengutarakan pendapat yang senada. Dia menyebut selama ini industri kerap membodohi warga. Salah satu kesan adalah dari kemasannya.
Berdasarkan studi Tobacco Control di Meksiko, warna background memberikan daya tarik (appeal) 4 kali lipat pada orang dewasan dan13 kali lipat pada remaja. Studi lainnya di Amerika Serikan menunjukan warna lebih muda pada kemasan rokok memberikan persepsi risiko lebih rendah. Sementara studi di Inggris menilai kemasan dengan ciri ‘smooth’, ‘silver’ and ‘gold’ memiliki kandungan tar lebih rendah, risiko kesehatan lebih kecil oleh orang dewasa dan remaja. Kemasan seperti ini juga biasanya menjadi pilihan para remaja yang akan mencoba merokok.
“Kita tidak boleh membohogi masyarakat. Industri jago sekali untuk membodohi. Padahal kebanyakan yang punya pabrik rokok juga enggak merokok,” ucapnya.
Pihaknya pun berharap pemerintah sesegera mungkin menerapkan standardisasi kemasan rokok di Indonesia. Dia menyarakan nantinya elemen branding meliputi; logo, warna, desain khas, tidak boleh ada dalam kemasan rokok. Lalu, muatan peringatan kesehatan harus lebih besar dan mencolok. Kemasan rokok harus menggunakan warna dan desain seragam untuk mengurangi daya tarik produk.
“Ini sudah terbukti di negara lain bisa menurunkan jumlah perokok,” ucap dia.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post