Jakarta, Prohealth.id — Juru Bicara COVID-19 dari Kementerian Kesehatan, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid mengingatkan bahwa kerjasama antara Kemenkes dengan Kementerian Ketenagakerjaan telah dilakukan agar tidak terjadi stigma TBC di tempat kerja.
Sayang, kurangnya informasi dan edukasi sangat berpengaruh terhadap hak-hak yang diterima pasien, khususnya di tempat kerja dan layanan publik lainnya.
“Masa intensif orang dengan TBC di tempat kerja harus diberi cuti khusus untuk pengobatannya dan tidak dilakukan PHK karena takut akan penularannya,” ujar Siti Nadia dalam diskusi daring terkait “Stigma menjadi penyebab keengganan masyarakat melakukan pemeriksaan tuberkulosis (TBC)”, pada Senin (14/6/2021).
Siti juga mengingatkan pentingnya peran keluarga, komunitas dan lintas sektor untuk mendukung dan menggerakan isu strategis penanggulangan TBC, khususnya menanggulangi stigma TBC di masyarakat.
Sementara itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan RI, Imran Pambudi menegaskan bahwa upaya pengurangan stigma dan diskriminasi terhadap pasien TBC telah dilakukan melalui sejumlah kegiatan, seperti identifikasi tantangan mutu pelayanan TBC, data hambatan akses layanan, hingga penguatan respon layanan kesehatan. Semua itu terangkum dalam Strategi Penanggulangan TBC 2020-2024, yang khusus menyasar penderita TBC dan populasi rentan.
“Kita juga menciptakan lingkungan bersahabat bagi pasien, edukasi masyarakat terkait TBC untuk menghapus stereotip,” kata Imran.
Khusus untuk memperkuat komunitas dan satgas TBC Imran mengatakan telah dibuat dua pasal pada Peraturan Presiden terkait stigma TBC, yakni pada Pasal 12, setiap pasien TBC dalam menjalani pengobatan berhak mendapatkan perlindungan terhadap stigma dan diskriminasi terkait penyakitnya.
“Serta pada Pasal 13 menyediakan layanan TBC yang ramah dan berpihak pada kebutuhan pasien,” katanya.
Meskipun perlindungan pasien TBC dinilai sudah ideal, baik di tempat kerja dan sudah adanya berbagai regulasi, menurut Imran, penerapannya perlu dievaluasi sehingga dapat digunakan sebagai tools untuk advokasi.
“Namun sebaik-baiknya kebijakan apabila tidak ada pengawasan yang memastikan kebijakan tersebut sesuai, tetap muncul kemungkinan pelanggaran atau ketidaksesuaian dalam implementasi,” ungkap Imran.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Emanuel Melkiades Laka Lena menilai otokritik terkait penanggulangan TBC di Indonesia diperlukan, mengingat jumlah kasus TBC di Indonesia tak kunjung menurun.
“Fungsi pengawasan paling mungkin dilakukan dalam penanggulangan TBC di Indonesia,” kata Emanuel.
Selain itu, politik anggaran dan promosi kesehatan harus terus dilakukan secara optimal dan tidak putus. “Ini penting untuk menurunkan angka kasus TBC di Indonesia,” terangnya.
Adapun anggota Komisi IX DPR Putih Sari menekankan pentingnya kerjasama multisektor dalam menanggulangi stigma TBC. Hal itu diperlukan untuk mencegah dampak terburuk yang terjadi.
“Pandemi Covid-19 juga jangan dilupakan sehingga tidak menjadi penghambat, saat kita ingin menanggulangi TBC di Indonesia,” tegas Putih.
Sebelumnya, kisah Ani Herna Sari, seorang penyintas TBC asal Surabaya menjadi viral, ketika ia mendapat diskriminasi dari tenaga kesehatan saat akan melakukan proses persalinan. Ani mengaku tidak diperkenankan untuk melakukan operasi caesar di ruang bersalin, melainkan di ruang isolasi khusus penyakit paru-paru.
“Bayi saya yang baru berusia satu hari mengalami kepala rata di sebelah kanan gara-gara saya dipindahkan ke ruang isolasi,” katanya.
Padahal menurut Ani, akses layanan TBC telah tersedia secara gratis, namun ternyata belum semua pihak mengetahui hal itu. “Sehingga sosialisasinya perlu lebih luas untuk menjangkau seluruh masyarakat diluar komunitas TBC,” pungkasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post