Sebelumnya, Kementerian Kesehatan kembali memberikan berita terbaru perkembangan terkait penanganan kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGA) Pada Anak di Indonesia. Pada Rabu, 26 Oktober 2022, dilaporkan 18 kasus GGA, sehingga tercatat saat ini total kasus sebanyak 269 kasus.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr. Mohammad Syahril menjelaskan 18 kasus yang dilaporkan bukanlah kasus baru, melainkan akumulasi dari kasus sebelumnya yang baru dilaporkan ke Kemenkes.
“Dari 18 kasus ini hanya 3 yang merupakan kasus baru. Saya ulangi hanya 3 kasus baru sedangkan sisanya adalah kasus lama di September dan awal Oktober yang baru dilaporkan,” kata dr. Syahril dikutip dari siaran pers Kementerian Kesehatan.
Lebih lanjut dia menjelaskan kasus tersebut terjadi setelah Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan tanggal 18 Oktober 2022 yang meminta fasyankes tidak memberikan obat dalam bentuk cairan/sirup. Alhasil, setelah tanggal 18 Oktober, hanya ada 3 kasus baru GGA pada anak.
“Kami tegaskan setelah tanggal 18 Oktober hanya ada ada 3 kasus baru. Ketiganya saat ini sedang menjalani perawatan,” tegas dr. Syahril.
Dia menambahkan kecenderungan tidak ada penambahan kasus yang tinggi, merupakan dampak dari kebijakan penghentian sementara penggunaan obat sirup pada anak.
Meski cenderung menunjukkan tren terkendali, dr. Syahril mengungkapkan pemerintah terus memantau perkembangan kasus GGA terutama di 5 provinsi dengan jumlah kasus tertinggi yakni DKI Jakarta, Aceh, Bali, Banten, dan Jawa Barat. Oleh karenanya, kebijakan antisipatif masih dan terus dilaksanakan Kemenkes untuk menekan angka kesakitan dan angka kematian akibat GGA.
Dari sisi tracing, sejak Agustus 2022 lalu Kemenkes bersama seluruh dinas kesehatan kabupaten/kota, dan rumah sakit setempat melakukan kegiatan surveilans untuk mendata semua provinsi/kabupaten/kota yang melaporkan kasus GGA untuk mempercepat penanganan ini. Kegiatan surveilans ini, ditindaklanjuti dengan pemeriksaan laboratorium juga pemeriksaan intoksikasi kemungkinan zat toksik, untuk mengetahui penyebab pasti kasus GGA.
Baca Juga: BPOM Setujui Pengobatan Pasien Kanker Hati dengan Imunoterapi
Fomepizole dan metode pengobatan
Dalam rangka mengatasi gagal ginjal dengan metode teraupetik, Kemenkes telah mendatangkan 30 vial Antidotum Fomepizole dari Singapura yang akan datang secara bertahap sebagai obat untuk penanganan gagal ginjal akut tersebut.
Pada 10 Oktober 2022 dan 18 Oktober 2022 lalu, Indonesia juga menerima 20 vial Fomepizole, disusul 10 vial lagi pada pekan berikutnya. Selain Singapura, pemerintah juga mendatangkan 16 vial Antidotum Fomepizole dari Australia pada 22 Oktober 2022 lalu, dan telah didistribusikan ke sejumlah rumah sakit diantaranya RS M. Djamil Padang, RS Soetomo Surabaya, RS Adam Malik medan, dan RS Zainul Abidin Aceh.
Tak hanya itu, sebagai hasil diplomasi bilateral dengan Kanada saat Pertemuan Menteri Kesehatan Negara G20.
“Obat Fomepizole sepenuhnya diberikan secara gratis kepada pasien sebagai bagian dari terapi/pengobatan,” tegas dr. Syahril.
Dia juga menghimbau masyarakat tetap tenang dan dapat berpartisipasi penuh untuk mengantisipasi GGA pada anak dengan cara selalu waspada. Dia juga mengimbau orang tua untuk sementara waktu tidak memberikan obat dalam bentuk cair/sirup kepada anak.
“Diharapkan semua pihak untuk dapat bersinergi dan berkolaborasi untuk menyelamatkan nyawa anak Indonesia sebagai prioritas utama. Tujuan kita adalah demi kesehatan masa depan anak anak kita,” pungkasnya.
Prohealth.id mengutip dari situs PubChem tentang Fomepizole dan GoDrugBank.com, Fomepizole adalah obat yang digunakan untuk penangkal keracunan etilen glikol (EG) dan methanol dengan alkohol dehydrogenase. Fomepizole mampu menghambat pembentukan metabolit toksik EG, glikolat dan oksalat (dari etilen glikol), serta asam format (dari metanol). Oleh karenanya, Fomepizole diindikasikan untuk digunakan sebagai penangkal keracunan etilen glikol dan metanol.
Oleh karena Fomepizole hanya bersifat preventif terhadap pemicu racun EG, dan bukan sepenuhnya menyembuhkan penyakit gagal ginjal akut misterius. Maka dari itu, dr. Syahril mengakui bahwa Fomepizole tidak efektif diberikan kepada pasien gagal ginjal yang masuk stadium akut.
Apa alasan pemerintah mendistribusikan Fomepizole kala efektivitasnya belum optimal? Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, 10 dari 11 pasien gangguan ginjal akut berangsur membaik kondisi setelah diberi obat ini selama dalam perawatan di rumah sakit rujukan RS Cipto Mangukusumo, Jakarta. Selain itu, tiga orang anak sudah tidak membutuhkan ventilator dan 1 orang sudah dipulangkan. Maka, Budi menyimpulkan obat ini Fomepizole memberikan dampak positif untuk pengobatan pasien gangguan ginjal akut.
Pada 29 Oktober 2022 lalu, Budi menerima hibah 200 vial obat Fomepizole 1.5 ml dari Jepang, PT Takeda Indonesia. Fomepizole tersebut pun langsung dikirim ke instalasi Farmasi Pusat.
“Hibah ini dilaksanakan dengan itikad baik atas nama kemanusiaan untuk kepentingan kesehatan anak Indonesia” ujar Budi.
Baca Juga: Gagal Ginjal dan Gagapnya Penanganan Pemerintah
Budi menyebut, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan akan ikut terlibat mendistribusikan Fomepizole sesuai kebutuhan seluruh rumah sakit rujukan tingkat provinsi di Indonesia.
“Ini upaya yang kita lakukan untuk melakukan pencegahan peningkatan kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal. Kita akan didistribusikan ke seluruh rumah sakit pemerintah yang merawat pasien gangguan ginjal akut,” ucap Budi.
Tinjau kinerja BPOM
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih terus melakukan peninjauan, penelusuran, dan penyidikan terhadap daftar sirup obat, suspensi, drops, dan cairan oral yang mengandung DEG dan EG. Setidaknya, per 1 November 2022, BPOM telah menindak lanjuti investigasi pada 3 perusahaan dengan produk tercemar EG-DEG yakni; PT. Yarindo Farmatama, PT. Universal Pharmaceutical Industries, dan PT. AFI Farma.
Melalui siaran pers klarifikasi yang terpajang di situs resmi, BPOM menyatakan perlu menyampaikan bahwa semua sirup obat dalam bentuk sirup kering (dry syrup) dan cairan oral untuk pengganti cairan tubuh (seperti oralit), tidak menggunakan Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin/Gliserol masih aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai.
Propilen Glikol (PG) merupakan komoditi non larangan dan pembatasan (non lartas) sehingga tata niaganya dapat dilakukan importir umum tanpa izin/surat keterangan impor (SKI) dari kementerian/lembaga (tanpa SKI BPOM). Berdasarkan hasil pengujian ditemukan konsentrasi EG dan DEG yang sangat tinggi pada sampel bahan baku PG yang digunakan dalam produk tertentu, sehingga dugaan sementara terdapat penggunaan bahan baku tambahan yang tidak sesuai dengan standar. Saat ini sedang dilakukan investigasi terkait pengadaan PG oleh industri yang berasal dari importir umum, termasuk dugaan adanya pasokan PG yang tidak sesuai standar.
Seiring dengan kasus gagal ginjal, BPOM melakukan upaya penindakan terhadap produsen produk yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS), dengan memberdayakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BPOM yang telah berkoordinasi dengan Bareskrim Polri untuk melakukan penindakan terhadap 2 (dua) industri farmasi.
BPOM pun mengklaim secara rutin melakukan sampling dan pengujian berbasis risiko secara acak untuk memastikan pelaku usaha konsisten dalam menerapkan cara pembuatan obat dan makanan yang baik/Good Manufacturing Practices (GMP) untuk memastikan keamanan, manfaat/khasiat, dan mutu produk obat dan makanan.
BPOM melakukan peninjauan dan penguatan terhadap regulasi obat dan makanan terkait cemaran EG dan DEG mulai dari regulasi pengawasan pre market hingga post market meliputi pemasukan bahan tambahan, standar dan/atau persyaratan mutu dan keamanan yang diterbitkan oleh Kemenkes.
Melalui patroli siber (cyber patrol), BPOM memantau platform situs, media sosial, dan e-commerce untuk menelusuri penjualan produk yang dinyatakan tidak aman. Hasilnya, ada peningkatan dari tanggal 23 Oktober 2022 lalu. Pasalnya, sampai dengan 26 Oktober 2022, BPOM berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), dan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) untuk melakukan penurunan (takedown) konten terhadap 6001 tautan, yang teridentifikasi melakukan penjualan sirup obat yang dinyatakan tidak aman. Setelah sebelumnya hanya ditemukan sebanyak 4.922 tautan toko online yang menjual obat sirup tidak aman.
Baca Juga: Ketika Lima Obat Diduga Renggut Nyawa Anak-anak
Respon masyarakat sipil
Sekalipun belum mengalami penurunan jumlah kasus gagal ginjal akut secara signifikan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengapresiasi langkah pemerintah dalam hal ini BPOM dan Kementerian Kesehatan.
Menurut pengumuman industri farmasi sebagai penyebab beredarnya obat obatan yang menyebabkan kematian anak memasuki babak baru, BPOM dengan tegas meminta Kepolisian menindak perusahaan farmasi.
Jasra Putra selaku Kadivwasmonev KPAI menjelaskan, pihaknya mengapresiasi kerja BPOM yang progresif menyelamatkan anak anak Indonesia dari sakit parah dan kematian mendadak akibat obat dan membawa duka mendalam di 26 propinsi.
Sebelumnya juga ada peringatan asam oksalat di makanan dan obat obatan yang bisa memicu multi faktor penyebab gagal ginjal akut. Begitupun pernyataan BPOM terakhir tentang produk herbal yang tercampur zat kimia.
“Saya kira selangkah lebih maju ya, ada manajemen kedaruratan yang di tingkatkan dalam kewaspadaan masyarakat terhadap industri obat dan makanan. Sangat penting di kedepankan, agar ada kehati hatian di masyarakat, dan anak anak yang tidak mengerti apa apa, tidak terus menjadi korban,” ungkap Jasra.
Dia menambahkan, penindakan atas pelanggaran industri farmasi yang sudah disampaikan BPOM harus tegak lurus, karena sudah sangat terang benderang penyebabnya. “Jangan sampai kasusnya masuk angin, karena ada amanah ratusan kematian dan tangisan pedih keluarga korban.”
Selain itu, Jasra menegaskan proses hukum harus disegerakan dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat pada dunia pengawasan obat dan makanan. Proses hukum juga menjadi bagian pemulihan keluarga korban.
“Kami berharap segera para pihak yang disebut BPOM bertanggung jawab, karena perlu menjadi pembelajaran yang membawa efek jera industri farmasi, apalagi peredaran obat yang mengandung zat berbahaya ini, disinyalir terjadi sejak pandemi. Jangan sampai pelakunya kabur, atau ada upaya pengalihan kasus, dengan melaporkan pihak yang memasok zat tersebut ke industri farmasi,” pungkas Jasra.
KPAI mendorong wibawa BPOM harus terjaga dan ditingkatkan melalui penanganan kasus ini. Apalagi, pengembangan industri obat dan makanan berkembang sangat pesat dan membutuhkan payung hukum bekerja bagi BPOM yang lebih integratif.
“Saya kira dengan RUU Pengawasan Obat dan Makanan masuk [rolegnas ada mandat luar biasa untuk menjawab fenomena obat yang telah membunuh anak-anak ini. Seperti perkembangan industri obat dan makanan melalui berbagai platform online dan pasar bebas dunia yang harusnya dapat di intervensi BPOM, bahkan karena ini BPOM punya tugas lebih lagi pada pengawasan obat dan makanan di dunia, yang memang bisa masuk ke Indonesia. Jadi perlu ada kerjasama tingkat dunia dalam menyelamatkan anak anak di Indonesia,” tuturnya.
Selanjutnya: GAGAL GINJAL AKUT: Telusur Dugaan Efek Samping Obat pada Anak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post