Prohealth – Menghadapi stereotip terkait Masyarakat Adat yang dianggap kuno dan terbelakang, penelitian terbaru bulan Desember ini justru menunjukkan bahwa Suku Baduy Dalam di Banten merupakan contoh terbaik dalam menerapkan kampung bebas asap rokok karena larangan merokok yang diterapkan secara ketat oleh mereka.
Penelitian yang berjudul “Smoke-free by tradition: Indonesia’s native tribe’s unique way of life” oleh Nurul Kodriati dari Universitas Ahmad Dahlan di Yogyakarta dan Lucy Popova dari Universitas Georgia di AS ini berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap empat pengunjung daerah Baduy, seorang fasilitator Baduy Luar (dulunya anggota Baduy Dalam), dan dua orang kepala desa (jaro) mulai dari Oktober 2024 hingga Januari 2025.
Suku Baduy terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar, yang merupakan keturunan Sunda dan tinggal di daerah pegunungan di Banten. Total penduduk Baduy Dalam sebanyak 1083 orang yang menempati 1975 hektar.
Baduy Dalam memiliki aturan hidup yang sangat ketat, termasuk kontak dengan luar. Mereka tidak membiarkan orang luar berada di daerah mereka lebih dari satu malam, tidak menggunakan alat elektronik (kamera dan telepon), hingga listrik.
Dalam penelitian tersebut disebutkan Pikukuh, pedoman hidup yang selaras dengan alam yang diterapkan oleh Suku Baduy menjadi dasar mereka untuk melarang rokok. Bagi mereka, rokok merupakan tindakan yang mencemari lingkungan, yang jelas-jelas bertentangan dengan komitmen mereka. Selain itu, Baduy Dalam juga bebas dari iklan rokok, tidak diperkenankan menawarkan rokok atau membuang rokok di dalam area mereka untuk menjaga kesucian dan tradisi.
Meski demikian, Baduy Luar kemungkinan masih terpapar dengan merokok dan ada beberapa warung yang menjual rokok. Menurut para penulis, pola ini merefleksikan peran “populasi kontak” atau perantara dalam mentransmisikan perilaku melintasi batas-batas sosial.
Lebih lanjut, para penulis juga mengungkapkan bahwa Baduy Dalam hanya akan menegur pengunjung apabila merokok berlebihan atau mengganggu. Berdasarkan wawancara terhadap dua kepala desa, larangan tidak boleh merokok hanya berlaku secara internal, bukan untuk para pengunjung yang hanya dibimbing ketimbang dikenai sanksi yang ketat.
Pengalaman Baduy Dalam ini bisa menjadi acuan yang praktis bagi pemerintah dalam mempraktikan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) atau Kampung KTR yang sudah dilakukan di Jakarta dan Yogyakarta. Meski sudah menjadi target nasional, penerapan KTR ini masih mendapatkan banyak kendala, terutama dari normalisasi merokok yang masih mengakar di Indonesia.
Kekuatan Baduy Dalam adalah mereka memiliki aturan bersama yang dipatuhi secara ketat dan penegakan hukum yang jelas. Kedua hal ini yang menjadi kelemahan dari KTR yang diterapkan secara nasional. Lebih lanjut, larangan merokok Baduy Luar ini juga mematahkan anggapan bahwa merokok merupakan budaya Indonesia seperti yang sering digaung-gaungkan oleh para perokok.
Para penulis berpendapat bahwa kearifan tradisional suku Baduy harus dihormati dan dilestarikan karena sejalan dengan kehidupan berkelanjutan dan menawarkan model yang lebih sehat di negara yang sedang bergulat dengan beban kesehatan terkait tembakau.
Indonesia memiliki salah satu tingkat perokok tertinggi di dunia, dengan 22,5% orang dewasa berusia 10 tahun ke atas menggunakan tembakau, di mana hampir setengah dari populasi pria (43,8%) merokok tetapi hanya 0,7% wanita,1 yang mengakibatkan sekitar 268.600 kematian terkait tembakau setiap tahunnya.
Editor : Fidelis Satriastanti

Discussion about this post