Dalam kegiatan talk show bertajuk “Protein Hewani Cegah Stunting: Isi Piringku, Alihkan Belanja Rokokmu!” puncak acara dari rangkaian kegiatan dalam memperingati Hari Gizi Nasional 2023, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), Fatayat Nahdlatul Ulama (NU), dan Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) menegaskan komitmen mendukung pencapaian target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk penurunan stunting di tahun 2024. Selain mendukung RPJMN, kolaborasi ini berkomitmen mendorong upaya meningkatkan narasi kesejahteraan sosial terkait konsumsi merokok yang merugikan keluarga Indonesia.
Maklum saja, berdasarkan publikasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2018 yang berjudul ‘Reducing Stunting in Children’ menyebutkan secara global pada 2016, sebanyak 22,9 persen atau 154,8 juta anak-anak balita di dunia mengalami stunting.
Di Asia sendiri terdapat sebanyak 87 juta balita stunting pada 2016, 59 juta di Afrika, serta 6 juta di Amerika Latin dan Karibia, Afrika Barat sebanyak 31.4 persen, Afrika Tengah ada 32.5 persen, Afrika Timur ada 36.7 persen, dan Asia Selatan ada 34.1 persen. Oleh karenanya, WHO membatasi masalah stunting di setiap negara, provinsi, dan kabupaten. Berdasarkan Pemantauan Status Gizi (PSG) pada 2017, prevalensi Balita stunting di Indonesia dari 34 provinsi hanya ada 2 provinsi yang berada di bawah batasan WHO tersebut, yakni Yogyakarta ada 19.8 persen, dan Bali ada 19.1 persen. Provinsi lainnya memiliki kasus dominan tinggi dan sangat tinggi sekitar 30 persen hingga 40 persen.
Sementara berdasarkan data Hasil Studi Status Gizi Indonesia (2022), angka prevalensi stunting di Indonesia sebesar 21,6 persen angka tersebut masih lebih tinggi dari batas toleransi WHO, yaitu 20 persen untuk stunting. Pemerintah pun memiliki target RPJMN untuk penurunan stunting yaitu sebesar 14 persen pada 2024.
Dikutip dari laman Kementerian Kesehatan, stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek atau kerdil dari standar usianya.
Perlu diakui bahwa kondisi tubuh anak yang pendek seringkali dikatakan sebagai faktor keturunan atau genetic dari kedua orang tuanya, sehingga masyarakat banyak yang hanya menerima tanpa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Meski demikian, genetika merupakan faktor determinan kesehatan yang masih didukung dengan beberapa faktor lain misalnya; perilaku, lingkungan (sosial, ekonomi, budaya, politik), dan pelayanan kesehatan. Artinya persoalan stunting merupakan masalah yang sebenarnya bisa dicegah. Oleh karenanya, salah satu fokus pemerintah saat ini adalah pencegahan stunting. Upaya ini bertujuan agar anak-anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan maksimal, dengan disertai kemampuan emosional, sosial, dan fisik yang siap untuk belajar, serta mampu berinovasi dan berkompetisi di tingkat global.
Untuk menjaga komitmen penurunan stunting, momentum Hari Gizi Nasional yang diperingati setiap tanggal 25 Januari menjadi penting dirayakan oleh berbagai pihak dalam bahu membahu membangun gizi menuju bangsa yang sehat, termasuk dalam mencapai target RPJMN. Apalagi stunting adalah salah satu permasalahan gizi nasional yang masih harus mendapat perhatian masyarakat.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam keynote speech kegiatan ini memaparkan pencegahan stunting artinya orang tua harus memperhatikan seribu hari pertama kehidupan janin. Determinan paling besar dari stunting yaitu pada saat hamil dan ketika anak selesai Air Susu Ibu (ASI) eksklusif selama 6 bulan. Ia mengingatkan, jangan sampai bayi di dalam kandungan kurang gizi dan ibu juga kurang gizi serta anemia.

Setelah bayi mencapai usia 6 bulan, tidak cukup ASI saja, tetapi juga harus ditambah protein hewani sebagai prioritas pencegahan stunting. Protein hewani untuk mencegah stunting ini terdapat dalam telur, susu, ikan, maupun daging. Lantas, apa hubungannya dengan rokok?
Salah satu sumber protein hewani, yaitu telur misalnya sebanyak 16 butir dapat dibeli dengan harga sekitar Rp25.000. Maka, ujar Budi, jika bapak-bapak merokok, ini akan menghilangkan kesempatan untuk membeli telur seharga Rp25.000 tersebut.
“Apalagi penelitian menunjukkan bahwa uang yang dihabiskan keluarga untuk membelin rokok mencapai 3 bungkus dalam sehari yang seharusnya bisa untuk membeli telur. Oleh karena itu, saya mengingatkan kepada keluarga agar berhenti merokok dan membeli telur sebagai asupan nutrisi penting bagi anak,” tambah Budi.
Senada dengan Menkes, Rizal Martua Damanik, Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian, dan Pengembangan BKKBN menekankan hal yang sama bahwa jika dikaitan dengan perilaku merokok, data pengeluaran biaya rumah tangga untuk rokok jauh lebih besar dibandingkan untuk pengeluaran makanan yang bergizi.
Ia mengingatkan, stunting merupakan gangguan tumbuh kembang akibat kekurangan gizi, maupun infeksi berulang. Sementara rokok menjadi salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan bayi. BKKBN memandang sangat penting untuk meningkatkan penyuluhan karena masih banyak masyarakat yang belum paham pentingnya sumber-sumber makanan bergizi dan tidak menggunakan dana tersebut untuk membeli rokok.
“Saat ini kita sedang berbicara Indonesia pada 20 tahun mendatang karena masalah stunting ini merupakan masalah intergenerasi. Kalau bayi sekarang banyak yang stunting maka ini akan menjadi masalah bagi generasi mendatang. Maka sangat penting untuk menangani masalah stunting,” tambah Damanik.
Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan, Sekretariat Wakil Presiden RI Suprayoga Hadi mengatakan bahwa anak usia dini banyak tinggal dengan anggota keluarga yang merokok dan sebagian besar tergolong keluarga miskin. Mereka lebih berisiko karena menjadi second-hand smoker. Belanja rokok juga cukup besar yaitu Rp82.000, dan ini cukup merugikan karena dana tersebut bisa digunakan untuk membeli telur.
Dari sisi kelompok pengeluaran termiskin, ada sekitar 20 persen dari mereka mengonsumsi protein per harinya cukup rendah. Sementara kelompok terkaya 2 kali lipat konsumsinya dari mereka yang kelompok termiskin. Penurunan konsumsi rokok ini memang harus didorong berperan penting untuk mencegah stunting.
“Kedepannya kita berharap bantuan pangan non-tunai dapat memenuhi konsumsi gizi masyarakat agar semakin banyak mengonsumsi telur. Bantuan pangan secara tunai memiliki potensi dapat digunakan untuk membeli rokok,” ujar Suprayoga.
Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan drg. Widyawati menambahkan stunting tidak hanya menghambat tinggi berat tetapi juga kognitif anak. Protein hewani ini akan sangat membantu menunjang sumber makanan bergizi bagi anak. Namun rendahnya asupan gizi dan makanan memang disebabkan oleh orang tua perokok. Orang tua lebih mengutamakan belanja rokok akibatnya asupan makanan bergizi menjadi berkurang. Apalagi rokok juga menyumbang kemiskinan.
“Kegiatan kami di Kementerian Kesehatan yaitu mengenalkan protein hewani ada telur, daging, ayam, dan sebagainya. Dalam penurunan stunting dan pengendalian konsumsi rokok, setiap daerah ada Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Kemenkes juga tetap berupaya termasuk melarang penjualan rokok secara eceran. Selain itu, pemeriksaan kehamilan termasuk pemantuan tumbuh kembang balita, imunisasi, edukasi remaja, serta buang air besar sembarangan yang terus kita gencarkan programnya. Kami berharap ada dukungan kolaborasi dari semua pihak,” jelas Widyawati.
Nur Nadlifah, Komisi IX DPR-RI menambahkan, Kementerian maupun BKKBN pasti sudah bekerja keras dalam upaya penurunan stunting. “Terkait kaitannya dengan perilaku merokok, Nur Nadlifah dengan tegas menyatakan, jauh lebih baik beli pulsa daripada beli rokok. Harus dimulai dari diri sendiri agar jangan beli rokok. Pemerintah perlu didukung dan harus terus bergerak mendampingi masyarakat di pedesaan, masyarakat kurang mampu, memastikan mereka mengonsumsi makanan bergizi, uang untuk keluarga jangan untuk membeli rokok, karena kalau diakumulasi dana keluarga tersebut bisa untuk menyehatkan keluarga.
“Saya yakin tantangan besar penurunan stunting ini akan bisa kita selesaikan dengan baik. Sejalan dengan pengendalian konsumsi rokok, saya juga ingin tetap memperhatikan kesejahteraan petani,” ujar Nadlifah.
Ketua Pimpinan Pusat Fatayat NU, Margaret Aliyatul Maimunah, menambahkan bahwa mengalihkan dana belanja rokok juga sejalan dengan perlindungan dan pemenuhan hak anak dann perempuan.
“Situasi COVID-19 sudah bergeser ke arah yang lebih baik, tetapi upaya pencegahan stunting masih kita upayakan hingga saat ini. Permasalahan stunting ini tidak dapat diselesaikan sendiri, melainkan memerlukan keterlibatan berbagai macam sektor, termasuk pengendalian dari keluarga,” ujarnya.
Margaret mengingatkan salah satu hal yang ikut andil kaitannya dengan stunting, yaitu pencegahan asap rokok dan lebih banyak pemenuhan konsumsi gizi bagi keluarga.
Hasbullah Thabrany, Ketua Komnas Pengendalian Tembakau, menuturkan bahwa masalah stunting kita masih mengkhawatirkan pada tingkat dunia. Negara-negara yang prevalensi stuntingnya telah terkendali, prevalensi merokok mereka juga sudah terkendali. Sayangnya, Prof. Hasbullah menilai industri rokok sangat kuat di Indonesia. Hasbullah berharap legislatif termasuk pemerintah bisa melakukan kampanye secara besar-besaran terkait masalah perilaku merokok dan kaitannya terhadap stunting. Ini dalam rangka untuk mencapai generasi emas pada 2045.
Prof. Hasbullah juga menyoroti ada persoalan rokok yang masih sulit dikendalikan. Paslanya embakau ini merupakan barang kecanduan dan para industri rokok menikmati keuntungannya.
“Saya mengusulkan sebanyak 10 persen penerimaan cukai rokok dapat diberikan ke petani tembakau maupun pekerja rokok agar mereka bisa substitusi dari pekerjaan lain. Mari kita ungkap evidence agar pemerintah lebih confidence untuk menurunkan perilaku merokok termasuk menurunkan prevalensi stunting ini,” tutur Hasbullah.
Sementara itu, Aryana Satrya selaku Ketua PKJS-UI menyampaikan bahwa masalah stunting di Indonesia adalah masalah yang kompleks. Studi PKJS-UI memang menunjukkan rokok dapat memicu stunting. Namun belum banyak masyarakat yang sadar akan hal ini.
“Melihat hal tersebut, kami melaksanakan video competition yang berlangsung sejak 27 Januari-7 Februari 2023. Terdapat 171 peserta yang mengikuti kompetisi untuk kami pilih sebanyak 6 pemenang terbaik. Dari adanya kompetisi dan talk show ini, diharapkan dapat memberikan ruang kreatif kepada masyarakat dalam memberikan edukasi sampai tingkat grassroots serta partisipan dapat mengambil manfaat, terutama untuk meningkatkan gizi dan kesehatan keluarga agar anak terhindar dari stunting,” jelas Aryana.
Penulis: Irsyan Hasyim & Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post