Jakarta, Prohealth.id – Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian Rumah Sakit (RS) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, dr Tonang Dwi Ardyanto, ada banyak pasien atau masyarakat umum yang meragukan efektivitas kerja vaksinasi. Hal ini mengingat kenaikan kasus Omicron pada dua pekan lalu sudah melampaui kasus tertinggi dari Delta.
Guna menjawab hal tersebut, dr. Tonang menjelaskan dengan data dari Kementerian Kesehatan. Pertama, benar bahwa pada uji klinik dulu target yang sudah terbukti adalah tahap mencegah gejala pada pasien. Artinya, vaksinasi belum teruji mampu mencegah infeksi. Oleh adanya asumsi tersebut baru bisa terbukti valid setelah dipakai 1 tahun lebih, dengan ada data yang bisa dianalisis.
Kedua, bagaimana setelah vaksinasi Indonesia berjalan 1 tahun? Berikut penjelasan dr. Tonang demgan perhitungan sederhana dari data Indonesia,
Lebih lanjut, dia menjelaskan dari 1 Januari sampai 4 Februari 2022, terdapat 183.974 kasus Covid-19 baru secara kumulatif. Apabila jumlah sebenarnya dianggap adalah 10 kali lipat, maka total kasus kumulatif 1.839.740.
Jumlah yang yang sudah tervaksinasi lengkap sampai saat ini adalah 48 persen (130.462.639) sedangkan total yang minimal sudah 1 dosis adalah 68 persen (186.205.028). “Apabila pada yang sudah tervaksinasi ini terinfeksi Covid-19 lagi, maka disebut Breakthrough Infection, angkanya kita sebut saja B-Infection rate,” jelas dr. Tonang.
Berikut beberapa simulasi yang coba dirumuskan oleh dr. Tonang melalui pesan singkat.
Simulasi pertama. seandainya dianggap bahwa semua kasus baru itu terjadi pada yang sudah tervaksinasi minimal 1 dosis, maka B-infection rate kita 1.839.740 / 186.205.028 sama 0,99 persen.
Simulasi kedua. seandainya jumlah kasus baru itu proporsional yakni 68 persen atau 13 dari 18 kasus pada kelompok tervaksinasi, dan 32 persen atau 5 dari 18 kasus pada kelompok belum divaksinasi), maka B-Infection rate sebesar (68 persen x 1.839.740) / 186.205.028 sama dengan 0,68 persen. “Ini makin kecil. Atau, makin banyak yang tercegah infeksi pada kelompok tervaksinasi,” jelasnya.
Simulasi ketiga. seandainya jumlah kasus sama banyak, yakni masing-masing 9 dari 18 kasus, masing-masing pada kelompok tervaksinasi dan belum tervaksinasi, maka B-Infection rate adalah (50% x 1.839.740) / 186.205.028 adalah 0,49 persen.
“Padahal dalam banyak laporan dari luar negeri, jumlah yang terinfeksi pada kelompok belum tervaksinasi, secara proporsional lebih besar atau bahkan secara jumlah juga bisa lebih banyak daripada kelompok yang sudah divaksinasi. Bila itu terjadi juga di Indonesia, maka B-Infection rate akan lebih rendah lagi,” ungkapnya.
Pada ketiga simulasi tersebut, bahkan pada kondisi paling pesimistis seperti simulasi 1 pun, sekitar 99 persen orang yang sudah tervaksinasi, dapat tercegah dari infeksi.
Lantas, bagaimana kalau infeksi hanya terjadi pada yang sudah dua kali vaksinasi?
“Itu kemungkinan yang sebenarnya terlalu jauh dari realita. Tapi baiklah kita coba hitung sebagai titik paling ekstrem. Berarti B-infection rate bagi kelompok yang sudah tervaksinasi lengkap adalah 1.839.740 / 130.462.639 hasilnya sama dengan 1,41 persen,” jelas dr. Tonang.
Hal ini menandakan ada kemungkinan paling ekstrem sekalipun, tetap 98,5 persen orang yang sudah tervaksinasi lengkap, mampu tercegah dari infeksi. “Itu sudah kemungkinan paling ekstrem,” ungkap dr. Tonang.
Vaksinasi sebagai perisai mencegah infeksi, maka otomatis menurunkan pula risikonya mengalami gejala akibat Covid-19. Dengan demikian juga menurunkan risiko menularkan kepada orang lain. “Ya artinya sudah terpenuhi tujuan vaksinasi yaitu melindungi diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya,” ungkapnya.
Meski demikian, dr. Tonang menjelaskan simulasi ini bukanlah angka pasti karena hanya Kementerian Kesehatan yang punya kewenangan merilis B-infection rate. Dia memastikan, simulasi 1 itu adalah simulasi dengan kemungkinan B-Infection rate tertinggi untuk posisi sampai saat ini karena dianggap semua yang terinfeksi berasal dari kelompok tervaksinasi. “Itu simulai secara ekstrem,” tuturnya.
Namun pada kenyataannya, tetap ada proporsi sebagian kasus terinfeksi terjadi pada kelompok tervaksinasi dan sebagian pada kelompok belum divaksinasi. Simulasi 2 dan Simulasi 3 adalah beberapa contoh kemungkinannya saja.
Lebih lanjut, dr. Tonang mengingatkan bahwa hasil perhitungan pada posisi hari itu masih ada perkembangan karena gelombang Omicron belum sepenuhnya terlewati.
“Dengan angka B-Infection rate tersebut, tentu wajar dan layak kita nyatakan bahwa vaksinasi sangat mendukung kemampuan mencegah infeksi.
TREN KASUS MULAI MELANDAI
Prohealth.id mencatat, pada Jumat (25/2/2022) lalu, angka kesembuhan harian kasus Covid-19 sukses mencatat rekor tertinggi sejak awal pandemi sebesar 61.361. Pencapaian ini resmi melewati rekor sebelumnya pada 6 Agustus 2021 yang sempat menyentuh angka 48.832. Sementara jumlah kasus harian pada Jumat (25/2/2022) lalu juga mengalami penurunan menjadi 49.447 dari sebelumnya 57.426 (24/2).
Sejak 25 Februari 2022, tren perawatan pasien di rumah sakit terpantau melandai di angka 37 persen dari total kapasitas nasional, menurun 1 persen dibandingkan satu hari sebelumnya yang ada di posisi 38 persen. Angka ini rata-rata stabil dalam lima hari terakhir sejak 20 Februari 2022.
Menurut dr. Siti Nadia Tarmizi M.Epid., Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kemenkes. mencatat ada sejumlah indikator penanganan pandemi menunjukkan angka perbaikan, mulai dari angka kesembuhan, kasus harian, positivity rate, dan juga angka pasien yang dirawat.
“Namun demikian, kita tidak boleh kemudian lalai. Justru perkembangan ini harus membuat kita semakin berupaya lebih keras untuk dapat segera memutus rantai penyebaran COVID-19 di Indonesia. Dari sisi pemerintah, kami terus berupaya menurunkan angka kasus dan memperkuat layanan kesehatan,” lanjutnya.
Tren melandainya perawatan pasien Covid-19 secara nasional juga diikuti tren penurunan positivity rate di beberapa daerah selama periode 15-24 Februari 2022. Beberapa daerah yang terpantau turun positivity rate-nya antara lain, DKI Jakarta, Banten, Bali, Kalimantan Selatan, NTB, Maluku, Papua, dan Papua Barat.
Lebih lanjut, dr. Nadia juga masih mengingatkan bahwa salah satu upaya menurunkan angka kasus dan memutus rantai penyebaran COVID-19 adalah melalui peningkatan laju vaksinasi, baik untuk dosis primer maupun lanjutan (booster). Vaksinasi telah terbukti mampu melindungi masyarakat dari risiko terburuk hingga kematian, khususnya bagi lansia, anak-anak, dan masyarakat yang memiliki komorbid.
“Ketiga kelompok masyarakat ini, menurut penelitian, sangat rentan terpapar dan menderita risiko terburuk akibat Covid-19,” ujar dr. Nadia.
Vaksinasi Covid-19 diakui oleh ahli kesehatan menjadi salah satu upaya meminimalisir kesakitan dan risiko kematian akibat Covid-19. Vaksinasi bahkan dianjurkan kepada pengidap komorbid tentunya disertai rekomendasi dari dokter/tenaga medis. Diketahui risiko kesakitan hingga meninggal bagi pasien Covid-19 dengan komorbid jauh lebih besar daripada non komorbid. Risikonya meningkat apabila pasien komorbid belum mendapat vaksinasi lengkap. Kelompok lanjut usia (lansia) juga dianjurkan segera untuk mendapatkan vaksinasi lengkap dan booster.
“Hal yang terpenting saat ini adalah membangun imunitas penduduk dengan vaksinasi dan protokol kesehatan. Khususnya bagi lansia ketika divaksinasi lengkap dan mampu mengontrol komorbid, maka risiko keparahan akibat COVID-19 akan jauh lebih rendah,” ungkap dr. Nadia.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post