Jakarta, Prohealth.id – Jumlah pemilih dari generasi S yang besar ini seharusnya mampu mendorong dan menggerakkan para politisi yang berkontestasi dalam Pemilu 2024 mendatang.
Melalui dokumen resmi yang dikirimkan kepada media, tim Indonesian Youth Council for Tactical Changes menyebut fenomena ini sebenarnya juga sudah mulai dirasakan dengan melihat partai politik, kandidat calon anggota legislatif hingga calon presiden dan wakil presiden yang sudah memulai branding atau citra dirinya sebagai bagian dari orang muda. Citra diri ini dimunculkan dari usianya, cara bicaranya, bentuk kampanye nya, outfitnya hingga sebagian mungkin dengan gagasannya untuk kepentingan orang muda.
Dalam menanggapi dinamika pro dan kontra Pemilu dan anak muda saat ini, Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) percaya bahwa seharusnya dalam politik orang muda tidak dilibatkan hanya sebagai objek tapi subjek yang seharusnya dilibatkan secara aktif bukan juga terbatas pada orang muda dengan privilege tertentu. Hal ini disebut sebagai meaningful youth participation alias keterlibatan kaum muda yang bermakna.
Menurut Roger Hart ada tujuh tangga partisipasi yang dapat kita lihat apakah keterlibatan orang muda yang ada merupakan manipulasi atau justru partisipasi yang bermakna. Menurut Roger dalam “Tangga Partisipasi” dimulai dengan hierarki rongga paling bawah (non partisipasi) yaitu dari Manipulasi; Dekorasi; Tokenisme. Kemudian naik dalam rongga degrees of participation yang dimulai dengan bentuk partisipasi dari ‘ditugaskan namun terinformasi’, ‘terkonsultasi dan terinformasi’, ‘diinisiasi orang dewasa’, ‘berbagi keputusan bersama orang dewasa’, ‘diinisiasi dan dipimpin oleh orang muda/anak’ dan yang terakhir ‘diinisiasi oleh orang muda/anak dan berbagi keputusan dengan orang dewasa’ atau bentuk partisipasi yang paling direkomendasikan.
Manik Marganamahendra, Ketua IYCTC mengatakan bahwa momentum politik di Indonesia saat ini memang menargetkan orang muda sebagai sasaran kuncinya. Namun benarkah orang muda dijadikan sebagai target yang diberdayakan atau justru hanya dimanipulasi untuk dekorasi politik semata. Sebagai contoh, putusan MK beberapa waktu lalu misalnya, nyatanya hal itu tidak memberikan ruang terang bagi orang muda secara adil dan setara.
“Jadi yang kita lihat orang muda yang terlibat justru adalah dengan ia yang memiliki privilege dan konflik kepentingan. Sebut saja ayahnya adalah presiden yang masih menjabat, pamannya adalah ketua MK dan adiknya adalah seorang ketua umum partai. Orang muda mana yang punya akses terhadap kekuasaan sebesar ini dan kemudian bisa dengan mudahnya mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden?” ungkap Manik.
Ia pun menambahkan, industri rokok adalah contoh nyata bagaimana orang muda gampang dimanipulasi. Mereka bilang bahwa rokok tidak menargetkan orang muda dengan label bukan untuk konsumen di bawah 18 tahun, tetapi mereka dengan terang-terangan mendukung konser musik dan acara olahraga yang diminati orang muda, untuk memasarkan produknya.
Ada juga yang seolah-olah peduli pendidikan dan prestasi orang muda dengan memberikan beasiswa melalui Corporate Social Responsibility (CSR) tapi tentu tidak gratis.
“Mereka letakkan logo industrinya besar-besaran, untuk apalagi jika bukan untuk mempromosikan brandnya? Mereka tidak dermawan, mereka culas dan menipu orang muda seolah mereka paling peduli pada orang muda,” tambah Manik menjelaskan praktik industri rokok memanipulasi orang muda.
Ni Made Shellasih, Program Manager IYCTC, kemudian menekankan bahwa sudah saatnya bagi capres dan cawapres yang berkontestasi pada Pemilu kali ini tidak lagi memanipulasi orang muda. Ia mengingatkan, pelibatan orang muda haruslah bermakna. Hal ini semestinya tertulis dengan terang benderang dalam visi-misi capres dan cawapres ataupun janji kampanyenya kelak.
“Kami juga menagih keseriusan capres/cawapres untuk melindungi anak dan orang muda dari bahaya adiksi rokok yang selama ini kebijakannya tidak pernah berpihak pada keselamatan dan kesehatan masyarakat, apalagi orang muda,” tutur Shella.
Ia menyebut, IYCTC telah mempelajari dokumen visi misi masing-masing kandidar yang sudah beredar di internet. Masing-masing kandidat memang memasukan beberapa isu penting orang muda seperti lapangan pekerjaan, hunian untuk orang muda, kesehatan mental, masalah gizi, hingga beberapa yang spesifik menyebutkan generasi Z dan milenial.
“Namun nihil diantara mereka yang secara eksplisit menjabarkan masalah adiksi rokok ini pada berbagai aspek kehidupan seperti kemiskinan, kesejahteraan ataupun kesehatan masyarakat dan juga kebutuhan gizi seimbang. Padahal berbagai macam riset sudah menyebutkan bahwa rokok adalah faktor penyebab kemiskinan dan epidemi yang berbahaya bagi kesehatan karena menimbulkan banyak penyakit katastropik yang mematikan dan memiskinkan,” tambah Shella. Ia pun menuntut setiap pasangan capres cawapres bicara soal isu orang muda dan konsumsi rokok.
Daniel Beltsazar, Program and Research Officer IYCTC, menambahkan bahwa dalam upaya memastikan generasi penerus terlindungi, para capres-cawapres harus memprioritaskan implementasi kebijakan-kebijakan yang kuat dan berdampak dalam menurunkan prevalensi perokok, khususnya pada orang muda. Demi mencapai Indonesia Emas 2045 yang diinginkan, orang muda yang sehat adalah kunci untuk menjadi produktif, dan berdaya saing. Kesehatan adalah fondasi bagi kemajuan, dan mengurangi konsumsi rokok adalah salah satu langkah konkret dalam mencapai tujuan tersebut.
Ia menambahkan, IYCTC dengan tegas menekankan bahwa melibatkan orang muda dalam proses politik bukanlah sekadar formalitas semata, melainkan sebuah kewajiban moral untuk melindungi dan memajukan masa depan bangsa. Ia berharap para kandidat yang berlaga dalam Pemilu mendatang akan mengambil komitmen nyata untuk mengendalikan industri rokok, sehingga generasi muda dapat tumbuh dalam lingkungan yang sehat dan produktif.
“Kami juga menyerukan kepada seluruh masyarakat, terutama orang muda, untuk terus memperjuangkan hak-hak mereka dan menjadi agen perubahan positif dalam membangun bangsa yang lebih baik. Mari bersama-sama mencapai visi Indonesia yang sejahtera, adil, dan berbudaya tanpa mengorbankan kesehatan dan masa depan generasi penerus,” tutup Daniel.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post