Jakarta, Prohealth.id – Kajian Emancipate Indonesia dan Yayasan Lentera Anak menyoroti masalah keterkaitan anak-anak dalam industri rokok yang mengambil keuntungan.
Ada dua hal yang penting diamati dalam kajian tersebut. Proses industri rokok mendapat keuntungan melibatkan peran anak-anak.
“Pasokan daun tembakau murah yang mereka dapatkan dari jerih payah anak-anak,” kata peneliti Emancipate Indonesia, Nadya Noor Azalia, saat diseminasi daring, bertema Industri Rokok Meraup Keuntungan Ganda dari Anak, Selasa, (24/8/2021)
Pada 2016, laporan Human Right Watch menjelaskan, setidaknya ada empat provinsi yang ditemukan pekerja anak-anak dalam produksi tembakau. Berbagai daerah tersebut, Jember, Garut, Magelang, Sampang, Sumenep, Lombok Timur.
“Laporan Human Right Watch tentang keterlibatan industri rokok atas kasus pekerja anak di perkebunan tembakau,” tuturnya.
Biasanya anak-anak bekerja saat musim panen. Kegiatan bekerja ini dianggap kebiasaan ikut orang tua di perkebunan. Sebab itulah, anak-anak tak menerima upah dari pekerjaan mereka. Padahal, kata Nadya, kegiatan anak-anak itu terlepas dari kesadaran atas risiko.
Proses mengikat tembakau di bambu atau gelantang dilakukan oleh anak-anak yang rentang usianya sekolah dasar. “Anak-anak sudah melihat dan mempelajari proses pengolahan sejak dini,” ujarnya.
Adapun upah yang diterima anak-anak yang mengerjakan empat hingga lima gelantang biasanya mendapat upah Rp 1000. Selama empat jam mendapat upah Rp 10 ribu.
Keuntungan ganda dari anak-anak diterima oleh industri rokok sampai tahap pemasaran. Target konsumen juga menyasar anak-anak. “Sebagian besar anak-anak perokok terpapar dari iklan rokok,” kata Nahla Jovial Nisa, selaku Manajer Program Yayasan Lentera Anak.
Nahla menjelaskan, statistik menunjukkan ada hubungan antara iklan yang diingat dengan merek rokok yang dikonsumsi. Oleh sebab itu setelah kajian ini muncul penting adanya rekomendasi kebijakan pelarangan iklan rokok.
“Jumlah persentase anak-anak yang terpapar banyak iklan rokok, 77,09 persen,” katanya. Dia menambahkan, persentase itu berarti menjelaskan, bahwa lebih dari satu kali dalam sehari anak-anak melihat sponsor rokok.
Asal tahu saja, anak sebagai target pasar industri rokok sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Dilansir dari riset Kenyon & Eckhard Advertising, salah satu biro iklan di Chicago, Amerika Serikat mengeluarkan sebuah penelitian dari hasil kerja sama dengan Brown & Williamson Tobacco Corp pada tahun1974. Riset ini menemukan bahwa meskipun banyak konsumen yang merokok telah berumur 33 tahun, namun strategi industri tak berubah karena tetap membidik anak muda sebagai calon konsumen.
Tak hanya itu, laporan riset dari Kenyon & Eckhard Advertising menyatakan kebanyakan responden muda yang diwawancara mengakui pada tahun 90-an sudah merokok bahkan sebelum berusia 10 tahun. Biasanya mereka mulai dengan mencuri rokok sebatang milik orang tua. Kebiasaan ini berlanjut hingga usia sekolah menengah atas. Tren ini kemudian makin kuat karena membidik perokok laki-laki yang termakan ilusi merokok itu membuat lelaki lebih keren.
Seiring dengan perubahan yang belum banyak terjadi, Emancipate Indonesia dan Lentera Anak pun bersepakat pentingnya gabungan peran pemerintah, lembaga, masyarakat dan komunitas internasional. Rekomendasi kedua yayasan itu terkait larangan eksploitasi dan manipulasi industri rokok yang menargetkan anak-anak. Berbagai hal tersebut, yakni iklan, promosi, termasuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan lembaga yang didanai perusahaan rokok. Langkah utama bisa dimulai dari menolak kerja sama dengan perusahaan rokok.
“Perlu ada rencana konkret mengakhiri pekerja anai di perkebunan tembakau,” kata Senior Policy Advisor Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA), Mary Assunta.
Dia menambahkan, bahwa di bungkus rokok pun harus tertera keterangan keterlibatan anak-anak dalam rantai pasok. “Peringatan untuk konsumennya ada pekerja anak di balik produk tersebut,” ujarnya.
Gustika Jusuf Hatta, anggota Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC), mengatakan konteks yang ada bukan menyalahkan anak-anak perokok. “Tapi perlu memiliki regulasi yang seharusnya diselesaikan,” katanya. Gustika menambahkan, demi mengubah persepsi tentang merokok sebagai gaya hidup mestinya dimulai dari kaum muda.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post