Jakarta, Prohealth.id – Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) meluncurkan hasil penelitian yang membuktikan adanya beban ganda pada kesehatan, utilisasi kesehatan, dan produktivitas pengguna rokok elektronik dan konvensional.
Dalam studinya, PKJS-UI memaparkan bahwa prevalensi perokok konvensional berbasis tembakau dan perokok elektronik semakin menghawatirkan di Indonesia. Studi tersebut menunjukkan rokok elektronik yang diklaim sebagai alat berhenti dari rokok konvensional, nyatanya menjadi barang yang digunakan untuk melengkapi rokok konvensional sehingga muncul pengguna ganda alias dual user.
Adapun prevalensi perokok konvensional aktif usia 15 tahun ke atas mencapai 33,8 persen dari populasi Indonesia pada 2018 berdasarkan Riskesdas tahun 2018. Kondisi ini diperparah dengan peningkatan prevalensi perokok elektronik dari 0,3 persen di 2011 (GATS, 2011), 2,32 persen di 2017 berdasarkan Susenas tahun 2017 menjadi 2,10 persen pada 2019 seturut data Susenas pada tahun 2019.
Pada awalnya, rokok elektronik diperkenalkan sebagai alat untuk berhenti merokok konvensional. Namun, rokok elektronik justru menjadi barang yang digunakan untuk melengkapi rokok konvensional sehingga muncul pengguna ganda (dual user). Lebih dari 95 persen dari pengguna rokok elektronik merupakan dual user berdasarkan data Susenas 2017 dan 2019 dan Riskesdas 2018. Hal ini juga diperparah penggunaan rokok elektronik sebagai gaya hidup.
Padahal rokok konvensional pun telah dikenal menimbulkan masalah kesehatan dan produktivitas serta dampak antar generasi, seperti stunting dan kemiskinan. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris dampak dual user dan rokok elektronik pada gejala penyakit, produktivitas, dan utilisasi kesehatan.
Kondisi ini membuat dual user memiliki probabilitas mengidap penyakit dan komplikasi lebih tinggi, produktivitas lebih rendah, dan pengeluaran kesehatan lebih tinggi dibandingkan single user. Hal ini menunjukkan bahwa dual user akan mengalami beban ganda yang akan berdampak dua kali lipat pada indikator-indikator tersebut. Selain itu, masing-masing jenis rokok tetap memiliki risiko pada kesehatan baik single user rokok elektronik maupun konvensional. Oleh sebab itu harus segera dilakukan pengendalian konsumsi pada kedua jenis rokok tersebut.
Asal tahu saja, penelitian jangka pendek efek konsumsi rokok elektronik dan konvensional terhadap penurunan kondisi kesehatan dan produktivitas masih sangat terbatas di Indonesia. Apabila tidak dilakukan pengendalian dan advokasi segera, ini akan menjadi ancaman pencapaian SDGs dan perwujudan visi Indonesia, SDM Unggul, Indonesia Maju terutama dalam hal kesehatan masyarakat.
Secara lebih rinci studi yang dilakukan PKJS-UI menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019 menemukan beberapa hal penting pada pengguna dual user dibandingkan dengan single user.
Pertama, dual user memiliki probabilitas untuk mengidap penyakit asma, hipertensi, stroke, gagal ginjal, dan rematik lebih tinggi dibandingkan single user.
Kedua, pada penduduk usia diatas 40 tahun, dual user memiliki probabilitas untuk mengidap penyakit diabetes, jantung, dan kanker lebih tinggi dibandingkan single user.
Ketiga, dual user memiliki probabilitas untuk memiliki gigi rusak, penyakit gusi, dan sariawan lebih tinggi dibandingkan single user.
Keempat, dual user memiliki asosiasi positif dengan jumlah komplikasi penyakit yang dimiliki dibanding single user.
Kelima, dual user memiliki jam kerja yang lebih rendah dan utilisasi kesehatan yang lebih tinggi dibanding single user. Dual user memiliki jam kerja 0,69 jam per minggu lebih rendah dibanding single user. Kemudian, dual user memiliki pengeluaran kesehatan per kapita per bulan Rp296 dibanding single user.
Ketua Peneliti dari PKJS-UI Faizal Rahmanto Moeis, mengatakan bahwa penemuan studi ini menunjukkan rokok elektronik bukan menjadi substitusi rokok konvensional melainkan sebagian besar perokok elektronik adalah dual user dengan rokok konvensional sehingga keduanya memiliki hubungan saling melengkapi.
“Hal ini menunjukkan bahwa dual user akan mengalami double burden yang akan berdampak ganda pada indikator-indikator yang ditunjukkan dalam studi. Kemudian jika melihat perbandingan antara single user perokok elektronik dengan single user perokok konvensional, menunjukkan bahwa masing-masing jenis rokok tetap memiliki risiko pada kesehatan”, terang Faizal.
Selain itu, PKJS-UI juga menganalisis gejala Penyakit, produktivitas, dan utilisasi kesehatan antara single user perokok elektronik dengan single user perokok konvensional yang menunjukkan bahwa single user perokok elektronik memiliki probabilitas mengidap asma, diabetes, penyakit mulut, dan komplikasi lebih tinggi, produktivitas lebih rendah, dan utilisasi kesehatan lebih tinggi dibandingkan single user perokok konvensional.
Single user perokok elektronik memiliki jam kerja 1,2 jam per minggu lebih rendah dibanding single user perokok konvensional. Lalu, single user perokok elektronik memiliki pengeluaran kesehatan per kapita per bulan Rp15.635 dibanding single user perokok konvensional. Namun, di sisi lain single user perokok konvensional memiliki probabilitas mengidap hipertensi dan rematik lebih tinggi dibandingkan single user perokok elektronik.
Oleh karena itu, Faizal menyebutkan bahwa sebenarnya berhenti merokok, lebih baik daripada beralih rokok. Seruai pernyataan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K. Lukito bahwa keberadaan rokok elektronik saat ini adalah ilegal namun BPOM tidak bisa melakuan penindakan karena tidak ada payung hukumnya.
Oleh karena itu, PKJS-UI merekomendasikan beberapa hal.
Pertama, mengendalikan konsumsi dan pemasaran rokok elektronik dan konvensional secara bersamaan karena akar permasalahan dari penggunaan rokok elektronik adalah adanya persepsi bahwa rokok elektronik lebih sehat ataupun merupakan alat berhenti untuk perokok konvensional tetapi bukti penelitian tidak mendukung persepsi tersebut.
Kedua, dikarenakan sifat rokok elektronik dan rokok konvensional adalah komplemen, maka kebijakan kenaikan harga rokok elektronik maupun konvensional merupakan salah satu solusi untuk menurunkan prevalensi sekaligus dual user.
Ketiga, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dampak buruk dari penggunaan rokok elektronik baik dual user maupun single user, sehingga bagi perokok konvensional alternatif terbaik adalah berhenti merokok dibandingkan berpindah menjadi perokok elektronik.
Ketua PKJS-UI Aryana Satrya mengatakan rokok elektronik dianggap sebagai alternatif yang lebih sehat ataupun alat untuk berhenti mengonsumsi rokok konvensional ternyata justru menciptakan perokok dual user yang menjadi beban ganda bagi penggunanya.
Iryana menegaskan, pengendalian konsumsi rokok baik pada rokok elektronik maupun rokok konvensional harus dipertegas dan diimplementasikan untuk membantu pencapaian SDGs dan perwujudan visi Indonesia, yaitu SDM Unggul, Indonesia Maju melalui manusia yang sehat dan berkualitas.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post