Penelitian dari Universitas Muhammadiyah Prof. Hamka Jakarta (Uhamka) pada 2017 menemukan 46 persen remaja terpengaruh oleh iklan rokok. Anak-anak dan remaja mulai mencoba merokok karena terpengaruh oleh iklan rokok.
Meskipun tidak menampilkan produk rokok, iklan rokok banyak menyajikan gaya hidup anak muda yang secara subliminal mempengaruhi anak dan remaja. Iklan rokok yang “keren” membuat anak-anak dan remaja menganggap bahwa merokok adalah kegiatan yang keren.
Karena itu, sejumlah pemerintah daerah telah melarang iklan rokok luar ruang. Media penyiaran juga dibatasi dalam menayangkan iklan rokok, yaitu antara pukul 21.30 hingga 05.00 waktu setempat. Namun, iklan rokok masih bebas ditampilkan di internet tanpa ada pembatasan.
Meskipun sudah dilarang dan dibatasi di berbagai media, pemasangan iklan rokok masih kerap terjadi dan terlihat menyasar anak-anak dan remaja. Salah satu strategi pemasaran rokok adalah dengan memasang iklan rokok dalam berbagai bentuk di sekitar sekolah, atau di jalan menuju ke sekolah.
Industri rokok secara global pada dasarnya adalah sunset industry. Bila hanya mengandalkan konsumen tetap mereka saat ini, yaitu perokok tua; industri rokok tidak akan bisa bertahan. Para perokok tua lama kelamaan akan sakit yang disebabkan dampak buruk rokok dan akhirnya mati. Karena itu, industri rokok perlu menyasar calon konsumen baru, yaitu anak-anak dan remaja untuk menjadi perokok pemula.
Memorandum Internal RJ Reynolds tanggal 29 Februari 1987 menyebutkan perokok anak dan remaja adalah hal penting untuk menjadi calon perokok menggantikan konsumen rokok yang akan semakin berkurang. Bila anak-anak dan remaja tidak merokok, maka industry rokok akan punah karena kehilangan konsumennya.
Jumlah perokok anak di Indonesia cukup memprihatinkan. Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019 menyebutkan 19,2 persen pelajar Indonesia merokok. Sementara itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menemukan prevalensi perokok usia 10 tahun hingga 18 tahun mencapai 9,1 persen. Angka tersebut meningkat drastis dibandingkan riset yang sama pada 2013, yaitu 7,2 persen. Peningkatan tersebut bertolak belakang dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019 yang menargetkan penurunan prevalensi menjadi 5,4 persen.
Survei yang dilakukan Yayasan Lentera Anak pada 2015 di lima kota; yaitu Jakarta, Bandung, Padang, Mataram, dan Makassar; menemukan 85 persen sekolah dikepung oleh iklan rokok dalam berbagai bentuk, yaitu spanduk, poster, stiker, maupun videotron. Dalam diseminasi hasil survei tersebut, Yayasan Lentera Anak menduga iklan rokok sengaja ditempatkan di sekitar sekolah untuk menyasar anak-anak menjadi perokok pemula.
Karena itu, untuk melindungi anak-anak dan remaja dari pengaruh iklan rokok, sekolah sebagai Kawasan Tanpa Rokok tidak hanya menjadi kawasan yang melarang kegiatan merokok, tetapi juga harus melarang pemasangan iklan rokok. Tidak hanya di dalam sekolah, pelarangan iklan rokok juga harus diterapkan di sekitar sekolah dan jalanan menuju ke sekolah.
Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia Esti Nurjadin mengatakan masalah rokok bukan hanya masalah pemerintah, melainkan seluruh elemen bangsa Indonesia. Karena itu, seluruh elemen bangsa perlu diajak untuk memahami bahaya rokok bagi Kesehatan.
“Namun, ada yang lebih krusial, yaitu iklan rokok yang banyak memadati sekolah, di warung sekitar sekolah, dinding sekolah, dan jalanan sekitar sekolah. Sudah seharusnya tidak ada iklan rokok di sekitar sekolah dan jalanan menuju sekolah untuk mewujudkan sekolah sebagai Kawasan Tanpa Rokok dan mencegah anak merokok,” kata Esti dalam diskusi virtual Sekolah Tanpa Adventensi Rokok (STAR) Keren Tanpa Rokok yang diadakan Yayasan Jantung Indonesia, Kamis (22/12/2022) lalu.
Esti mengatakan perlu ada payung hukum yang kuat untuk melindungi anak-anak dan remaja. Dia berharap seluruh pemerintah daerah memberlakukan pelarangan iklan rokok dan memperluas Kawasan Tanpa Rokok. Selain itu, perlu contoh perilaku yang baik dari orang tua dengan tidak merokok di lingkungan keluarga sekaligus melindungi keluarga dari paparan asap rokok dan menjadi perokok pasif.
“Yang tidak kalah penting, pemerintah tidak hanya mengatur iklan rokok, tetapi juga merehabilitasi anak dan remaja yang sudah terlanjut merokok agar dapat berhenti merokok,” ujarnya.
Sementara itu, Widyaprada Ahli Madya Direktorat Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Minhajul Ngabidin mengatakan anak merokok karena meniru dan merasa merokok adalah kegiatan yang bergengsi.
“Banyak iklan rokok yang menggambarkan perokok sebagai sosok yang keren. Anak usia SMP dan SMA masih mencari jati diri sehingga mereka mudah terpengaruh. Mereka ingin menunjukkan diri,” katanya.
Minhajul mengatakan bahaya rokok sangat jelas. Selain berdampak pada kesehatan secara fisik, kebiasaan merokok pada anak dan remaja juga dapat berpengaruh pada psikologi dan prestasi. Anak dan remaja yang sudah kecanduan rokok akan merasa ada yang kurang saat tidak merokok dan berdampak pada prestasi karena cenderung tidak fokus, kurang aktif dan mengalami gangguan kecemasan dan depresi.
Untuk mewujudkan sekolah sebagai Kawasan Tanpa Rokok dan melindungi pelajar dari dampak buruk rokok, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah.
Namun, Minhajul mengakui penerapan Peraturan tersebut belum efektif karena masih ada warga sekolah yang diketahui merokok di sekolah. Bahkan, dalam beberapa kasus ada guru dan kepala sekolah yang merokok di sekolah.
“Kalau kepala sekolah merokok, tentu sulit untuk menerapkan Peraturan tersebut. Masih banyak sekolah yang belum menerbitkan SK Kepala Sekolah tentang Kawasan Tanpa Rokok,” katanya.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah, Kawasan Tanpa Rokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, dan/atau mempromosikan rokok. Itu berarti klan rokok sebagai bentuk promosi rokok juga dilarang dilakukan di sekolah.
Sasaran Kawasan Tanpa Rokok di lingkungan sekolah adalah kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan pihak lain di dalam lingkungan sekolah. Untuk mendukung Kawasan Tanpa Rokok, sekolah wajib memasukkan larangan terkait rokok dalam aturan tata tertib sekolah.
Sekolah juga wajib menolak penawaran iklan, promosi, pemberian sponsor, dan/atau kerja sama dalam bentuk apapun yang dilakukan oleh perusahan rokok dan/atau organisasi yang menggunakan merek dagang, logo, semboyan, dan/atau warna yang dapat diasosiasikan sebagai ciri khas perusahan rokok, untuk keperluan kegiatan kurikuler atau ekstra kulikuler yang dilaksanakan di dalam dan di luar sekolah.
Kemudian, sekolah juga wajib memberlakukan larangan pemasangan papan iklan, reklame, penyebaran pamflet, dan bentuk-bentuk iklan lainnya dari perusahaan atau yayasan rokok yang beredar atau dipasang di lingkungan sekolah; melarang penjualan rokok di kantin/warung sekolah, koperasi atau bentuk penjualan lain di lingkungan sekolah; dan memasang tanda kawasan tanpa rokok.
Sementara itu, Ketua Tim Kerja Paru Kronis dan Gangguan Imunologi Kementerian Kesehatan Benget Saragih mengatakan iklan rokok merupakan salah satu pemicu permasalahan rokok di Indonesia.
“Permasalahan rokok di Indonesia adalah perokok pemula yang meningkat. prevalensi perokok dewasa yang terus meningkat, risiko kesehatan akibat rokok meningkat dan pengawasan produk tembakau yang masih lemah,” tuturnya.
Melihat dampak yang luas dari iklan rokok, sudah seharusnya iklan rokok yang menyasar anak-anak dan remaja dilarang. Sepertiga hidup anak-anak berada di sekolah, sehingga harus dipastikan anak-anak tidak terpapar dampak dari iklan rokok dan produk rokok di sekolah maupun di sekitar sekolah.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post