Kondisi pandemi COVID-19, ketidakstabilan ekonomi, politik yang tidak berpihak pada masyarakat, sampai masalah krisis iklim merupakan beberapa kontributor bagi masalah kesehatan mental di seluruh dunia.
Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) menyatakan satu dari delapan orang hidup dalam gangguan kesehatan mental. Masa pandemi COVID-19 yang hening justru tidak membantu melainkan semakin memperburuk keadaan. Hal itu terbukti dengan estimasi WHO yang menyatakan gangguan kecemasan dan depresi mengalami kenaikan lebih dari 25 persen selama tahun pertama pandemi, dengan kondisi mental anak muda menjadi sangat rentan.
Dalam dua tahun lebih terakhir selama pandemi juga memberikan dampak pada kesehatan mental bagi mereka awalnya tidak memiliki penyakit mental. Namun, mereka merasa mengalami peningkatan stres dan kecemasan akibat keadaan saat pandemi.
Dikutip dari artikel STOP – A Global Tobacco Industri Watchdog, terdapat penyebab lain pada krisis ini yang seringkali tidak mendapatkan pengawasan yang tepat dan justru berpeluang memperburuk masalah kesehatan mental: industri tembakau.
“Bertentangan dengan penggambaran industri tembakau, data menunjukkan bahwa penggunaan tembakau dapat menaikkan level depresi, kecemasan, stress dan gejala kejiwaan.”
Normalisasi tembakau dan nikotin sebagai penghilang stres
Asumsi yang ada pada masyarakat tentang adanya kaitan antara merokok dengan menghilangkan stres dan relaksasi, sebenarnya merupakan dampak dari iklan tembakau. Hal itu telah dimulai sejak 100 tahun lalu dengan menampilkan bentuk iklan yang menggambarkan merokok sebagai sebuah cara untuk mendapatkan ketenangan dan menghilangkan stres. Sebagaimana yang diiklankan oleh produk rokok Camel, di mana dalam iklannya terdapat kalimat tanya “Apakah anda ingin menghilangkan rasa cemas?”
Kemudian dalam menargetkan iklan pada wanita, mereka menyebut frase “Jangled Nerves” yang seolah-olah dengan merokok akan dapat tidur malam dengan nyenyak, makan dengan baik dan dapat tetap aktif sehingga menimbulkan asumsi bahwa rokok Camel adalah sebuah alternatif untuk mengontrol stres.
Dalam iklan lain, dari tahun 2000, mereka menggambarkan suasana alam yang damai di mana dalam iklannya menampilkan seorang pria merokok sambil mengapung di air yang tenang. Bahkan untuk mendukung suasana damainya, kata “rileks” ditampilkan dengan jelas.
Bertentangan dengan penggambaran dari industri tembakaunya, data menunjukkan bahwa penggunaan tembakau justru dapat meningkatkan level depresi, kecemasan, stres dan gangguan kejiwaan. Namun demikian, upaya industri untuk menggunakan produknya sebagai mekanisme penanggulangan mungkin berhasil.
Salah satu studi di Inggris menunjukkan bahwa terdapat perokok yang terindikasi mengkhawatirkan kesehatan mentalnya selama pandemi, sebanyak 42 persen dari mereka merokok lebih banyak daripada sebelum pandemi, sementara hanya 21 persen yang mengatakan mereka merokok lebih sedikit.
Sebuah review Cochrane menyimpulkan bahwa perokok yang berhenti tidak hanya melihat penurunan gejala kecemasan dan depresi, namun mereka juga melihat adanya peningkatan perasaan positif dan kesehatan mental.
Akan tetapi, industri tembakau dalam memasarkan produknya yang selalu mengaitkan konsumsi tembakau atau nikotin dapat mengontrol kecemasan terus gencar dilakukan hingga ke promosi rokok elektrik. Sementara beberapa rokok elektrik tidak mengandung tembakau, tetapi tetap mengandung nikotin yang membuat kecanduan. Pada 2014, iklan daring Blu, sebuah rokok elektrik dari merek Imperial, menjanjikan jika anda menggunakan produknya, anda “tidak akan pernah merasa lebih rileks.”
Promosikan “pengendalian stres” untuk menarik konsumen baru anak muda
Pemasaran industri yang menyasar pada anak muda menjadi hal yang paling mengkhawatirkan. Pasalnya, industri ini telah sangat mempromosikan produk elektronik, seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan, pada anak muda-termasuk melalui iklan yang menggambarkan produk ini sebagai pengendali stres. Sedangkan tingkat stres, kecemasan, dan depresi pada anak muda yang disebabkan oleh pandemi terus meningkat.
Hal itu sebagaimana yang dipaparkan dalam sebuah ringkasan ilmiah WHO tentang kesehatan mental dan COVID-19 yang melaporkan bahwa anak muda, khususnya yang berusia 20-24 tahun, lebih banyak terdampak gangguan depresi mayor dan gangguan kecemasan daripada yang berusia di atas mereka. Lalu yang menjadi bahaya lain ialah penurunan kesehatan mental ini bertepatan dengan target iklan rokok, seperti yang disorot oleh The Truth Initiative. Penggambaran iklan rokok elektrik sebagai pengendali stres, termasuk sebagai salah satu hal yang mendorong konsumen untuk “Tetap Waras” dengan produknya ditengah situasi rutinitas selama pandemi yang jenuh selama masa karantina atau isolasi.
Nikotin telah terbukti memiliki efek negatif pada kesehatan anak muda. Salah satu studi menunjukkan bahwa konsumsi nikotin remaja dikaitkan dengan gejala depresi. Data lain mengindikasikan bahwa peggunaan rokok elektrik pada anak muda dapat melanggengkan siklus kecemasan, dengan anak muda yang menggunakan rokok elektrik sebagai pelepas kecemasan, stres atau depresi, kemudian akan terus merasakan gejala tersebut secara berulang saat sedang penarikan sementara dari nikotin. Hal itu akan terus mendorong penggunaan rokok elektrik untuk mengontrol kesehatan mental mereka.
Sebabkan bahaya bagi pasien terdiagnosa penyakit mental berat
The Truth Initiative menyoroti tindakan industri tembakau yang telah memfasilitasi rokok gratis atau rokok murah ke rumah sakit jiwa dengan menjadikannya sebagai target “value” merek pada tahun 1980-1990an. Sekilas hal ini terlihat sebagai sebuah aksi dermawan. Namun kemudian hal ini justru membangun kepercayaan pada mereka yang hidup dengan gangguan kesehatan mental, di mana mereka membutuhkan rokok untuk membantu mengatasinya. Namun asumsi ini mungkin lebih berkaitan dengan industri tembakau. Industri telah mendanai penelitian yang mempromosikan kepercayaan bahwa merokok adalah cara pengobatan mandiri untuk mereka yang hidup dengan schizophrenia dan mereka yang hidup dengan schizophrenia adalah yang “kurang rentan terhadap bahaya tembakau.”
Pada kenyataannya, aksi dermawan ini lebih kepada sebuah peralihan bisnis dan merujuk pada keuntungan finansial industri sendiri. Hal ini terdokumentasikan dengan baik, dimana seseorang dengan penyakit mental serius lebih suka menggunakan tembakau daripada mereka yang tidak sama sekali, sehingga industri melihat hal itu sebagai target pasar yang dapat diandalkan. Lebih lanjut, orang yang hidup di fasilitas psikiatri mungkin tidak mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk berhenti jika mereka menginginkannya, karena program penghentian di fasilitas psikiatri seringkali “jarang atau tertunda,” sebagai contoh, ketika para dokter tidak memprioritaskan pengguna tembakau sebagai sebuah masalah. Industri tembakau juga mencoba untuk menekan promosi kebijakan bebas rokok pada fasilitas kesehatan mental, sehingga memungkinkan untuk terus menggunakan produknya.
Padahal, orang-orang yang memiliki diagnosa penyakit mental justru lebih rentan terhadap bahaya fisik. Orang yang hidup dengan penyakit mental cenderung memiliki harapan hidup yang lebih singkat daripada mereka yang tidak, meski hal itu belum tentu disebabkan oleh penyakit mentalnya. ASH U.K. memaparkan ringkasan sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa merokok sebenarnya merupakan sebuah pendorong utama kesenjangan harapan hidup.
Terciptanya keadaan yang kian memburuk bagi kesehatan global
Industri tembakau telah berkontribusi dalam meningkatkan krisis kesehatan mental untuk melampaui pemasaran dan penargetan yang disengaja dari kelompok tertentu. Operasi industri itu menciptakan kondisi yang tidak kondusif bagi kesehatan mental yang baik.
Praktek pertanian tembakau telah ditandai sebagai pelestarian kemiskinan di kalangan petani dan pekerja anak. Padahal, menanam dan memproduksi produk tembakau dan nikotin justru menyebabkan banyak kerusakan lingkungan dan menyumbang terjadinya krisis iklim global. Selain itu, penggunaan tembakau terbukti menyebabkan banyak penyakit, termasuk yang dapat menurunkan kualitas hidup seseorang secara drastis. Masing-masing skenario ini merupakan penghalang untuk mempromosikan dan menjaga kesehatan mental yang baik.
Tingkatkan kesehatan global dengan mendesak pertanggungjawaban industri
Satu hal yang pasti: meningkatkan kesehatan mental di seluruh dunia harus menjadi prioritas global. Bagian penting dari hal itu ialah dengan menyerukan upaya industri tembakau untuk bertanggung jawab atas krisis kesehatan mental dan menuntut agar mereka bertanggung jawab atas operasinya yang dapat membahayakan kesehatan mental. Anak muda di seluruh dunia telah memulainya. Pada Agustus 2022, International Youth Tobacco Control menerbitkan sebuah pernyataan mengutuk industri yang menargetkan anak muda sebagai pangsa pasarnya dan menuntut agar pemerintah meminta pertanggungjawaban industri atas kerugian yang ditimbulkannya.
Hal itu memungkinkan untuk mencegah industri memangsa mereka yang memiliki masalah kesehatan mental, terutama anak muda. Misalnya, iklan, promosi, dan sponsor tembakau harus dilarang-dan sudah ada di beberapa negara, sesuai dengan WHO Framework Convention on Tobacco Control, yakni sebuah perjanjian global untuk mengurangi penggunaan tembakau. Mengurangi penggunaan tembakau dan permintaan produk industri tembakau akan meningkatkan kesehatan fisik, membantu memutus siklus kemiskinan, meringankan kondisi kerja yang buruk di industri dan mengurangi kerusakan lingkungan—semua hal yang meletakkan dasar bagi kesehatan mental yang lebih baik.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post