Jakarta, Prohealth.id – Harga jual rokok di Indonesia dinilai masih tergolong murah sehingga mendorong masyarakat terutama anak muda untuk membeli rokok.
Penerapan tarif cukai rokok yang tinggi diyakini dapat mengendalikan konsumsi rokok sehingga angka prevalensi merokok dapat turun. Hal ini terungkap dari Hasil Survei Pemantauan Harga Rokok Indonesia Tahun 2023 yang dilakukan Udayana Central dan CHED ITBAD bekerjasama dengan beberapa lembaga pengendalian tembakau seperti TCSC IAKMI, MTCC Unimma, dan TC IPM.
Survei yang dilakukan pada 81 kabupaten/kota di Indonesia ini berhasil mengumpulkan data 11.062 bungkus rokok sekaligus mengidentifikasi jenis-jenis rokok yang paling banyak dibeli masyarakat, lokasi penjualan rokok yang terbanyak, harga jual eceran rokok, hingga penggunaan pita cukai dan pictorial health warning (PHW) pada kemasan rokok.
Peneliti dan Ketua Udayana Central Putu Ayu Swandewi Astuti mengungkapkan hasil survei menunjukkkan bahwa distribusi rokok terbanyak terdapat pada pasar modern sebanyak 25,28 persen dan paling sedikit pada pedagang kaki lima sebesar 10,79 persen. Sedangkan jenis rokok yang paling dominan adalah Sigaret Kretek Mesin (SKM) dengan persentase 68,87 diikuti Sigaret Kretek Tangan (SKT) sebesar 19,65 persen.
“Data menunjukkan harga rokok di pasaran masih rendah dengan rata-rata harga Rp1.487. Kenaikan harga tidak merata di semua jenis rokok, bahkan harga Sigaret Kretek Mesin kategori 2 (SKM II) mengalami penurunan sebesar 0,1 persen dan penurunan harga paling tinggi terlihat pada Sigaret Kretek Tangan dan Sigaret Putih Tangan Kelas III (SKT/SPT III) sebesar 5,5 persen,” jelas Putu Ayu.
Survei juga menyebut bahwa mayoritas kemasan rokok berisi 12 sebanyak 38,92 persen dominan pada SKM dan SKT. Sebanyak 59,76 persen rokok dijual di bawah harga jual eceran (HJE), dan terdapat variasi signifikan dalam selisih harga antara harga transaksi pasar (HTP) per batang dan HJE.
Ketua CHED ITBAD Roosita Meilani Dewi mengatakan survei berhasil membuka fakta lain yaitu tertutupinya PHW pada bungkus rokok oleh pita cukai pada rokok SKM sebanyak 89,60 persen. Ini menjadi catatan penting bagi Kementerian Kesehatan untuk turut memantau fakta PHW pada bungkus rokok. Sedangkan fakta tarif cukai didapati bahwa beberapa rokok memiliki tahun pajak di bawah tahun 2023. Ini menandakan adanya potensi ketidaksesuaian regulasi.
Menurut Roosita, terdapat tiga rekomendasi yang dihasilkan survei ini. Pertama, tarif cukai rokok perlu dinaikkan di atas 25 persen agar lebih efektif mengurangi konsumsi rokok daripada kenaikan tarif cukai rokok yang rata-rata 10 persen per tahun.
Kedua, penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau dengan menggabungkan Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret Putih Mesin Kategori I (SKM/SPM I) menjadi satu tarif dan SKM/SPM II menjadi satu tarif, serta SKT atau SPT I menjadi satu tarif tertinggi. Terakhir, Harga Transaksi Pasar (HTP) harus 100 persen sama dengan Harga Jual Eceran (HJE) minimum.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post