Pandemi Covid-19 jelas membuat masyarakat dunia lebih memperhatikan kesehatan. Dikutip dari data yang dihimpun oleh Statista (2022), masyarakat dunia khususnya di benua Eropa yang usia 16-74 tahun kini makin rajin untuk mencari informasi seputar kesehatan melalui mesin pencari (Google). Artinya, internet dan aplikasi menjadi ujung tombal transformasi kesehatan bagi masyarakat.
Populix mengadakan sebuah survei untuk mengetahui perkembangan isu kesehatan mental di era transisi endemi saat ini. Survei yang dilakukan terhadap 1.005 laki-laki dan perempuan berusia 18 hingga 54 tahun di Indonesia ini terangkum dalam laporan “Indonesia’s Mental Health State and Access to Medical Assistance”. Hasilnya, masalah finansial dan kesepian menjadi pemicu bagi 54 orang Indonesia mengakses layanan kesehatan mental melalui telemedisin.
Temuan ini memang tidak mengherankan. Survei serupa yang rilis pada Juli 2022 lalu tentang Gaya Hidup Sehat di Asia dari Philips mengungkapkan, kesadaran hidup sehat di Indonesia meningkat seiring dengan temuan potensi teknologi kesehatan yang dipersonalisasi untuk memainkan peran yang lebih besar dalam upaya kesehatan preventif.
Berdasarkan survei yang dilakukan Philips, 99 persen responden di Indonesia memahami pentingnya ‘kesehatan preventif’ yakni tindakan yang dimbil dalam kehidupan sehari-hari saat untuk mencegah penyakit atau mengurangi risiko kesehatan di masa depan. Ini termasuk mengikuti gaya hidup sehat dalam hal pola makan, olahraga dan kesejahteraan secara keseluruhan, pemeriksaan kesehatan serta pemantauan kesehatan secara teratur.
Faktor lainnya, survei menemukan bahwa pandemi telah memperkuat kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan. Di Indonesia, survei mengungkapkan bahwa 33 persen orang mengonsumsi makanan yang lebih sehat, 37 persen responden menginvestasikan lebih banyak uang untuk mempertahankan gaya hidup sehat, 59 persen responden lebih banyak membaca tentang kesehatan dan pencegahan penyakit, dan 49 persen responden lebih memprioritaskan kesehatan daripada komitmen kerja dibanding sebelum pandemi.
Survei dari Philips juga menunjukkan 33 persen responden di Indonesia merasa bahwa mereka masih dapat melakukan lebih dari usaha mereka saat ini untuk mempertahankan kesehatan dirinya. Di Indonesia, 49 persen responden menyebutkan kurangnya waktu untuk diri sendiri karena pekerjaan, keluarga, dan komitmen pribadi yang menjadi penghalang utama bagi mereka untuk menjaga kesehatan mereka dengan lebih baik.
Beberapa cara yang dapat mendorong mereka untuk mulai bertindak menjaga kesehatan diri sendiri meliputi pengetahuan lebih tentang menjalani gaya hidup sehat sebanyak 68 persen, pengetahuan yang lebih luas seputar penggunaan perangkat kesehatan pribadi dan teknologi untuk memantau kesehatan sebanyak 54 persen, peningkatan akses ke fasilitas rekreasi dan penjangkauan komunitas pendidikan sebanyak 42 persen, dan pemahaman yang lebih baik mengenai cara berbagi data yang didapatkan dari teknologi dan perangkat kesehatan pribadi dengan dokter sebanyak 39 persen, dan diberikan akses yang lebih besar ke dokter 38 persen.
Muir Keir, Business Leader, Personal Health, Philips ASEAN Pacific menjelaskan, hampir sepertiga alias sekitar 30 persen responden di seluruh Asia saat ini menggunakan teknologi dan perangkat kesehatan pribadi untuk memantau kesehatan mereka secara lebih aktif dibanding yang mereka lakukan sebelum pandemi.
Baca Juga: Silent Pandemic dan Imbas Kesehatan Mental
Di Indonesia, 78 persen responden setuju bahwa memiliki akses ke teknologi dan perangkat kesehatan pribadi akan mendorong mereka untuk merawat kesehatannya dengan lebih baik, dan 76 persen setuju bahwa mereka lebih memilih perangkat teknologi kesehatan pribadi yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Sementara 59 persen responden mencantumkan kemampuan untuk menyesuaikan perangkat sesuai dengan tujuan kesehatan individu sebagai salah satu dari 5 faktor teratas yang akan mereka pertimbangkan ketika memilih sebuah perangkat, faktor lainnya seperti akurasi data ada 75 persen responden, parameter pelacakan kesehatan ada 72 persen, parameter pelacakan aktivitas ada 69 persen, dan biaya yang rendah ada 60 persen.
Secara keseluruhan di Asia, survei menemukan bahwa orang melihat potensi teknologi kesehatan pribadi lebih besar dari pemakaiannya saat ini. 70 persen mengatakan mereka ingin lebih sering menggunakan teknologi dan 68 persen menyatakan perangkat kesehatan pribadi untuk melacak kondisi umum kesehatan mereka dan penyakit yang sudah ada sebelumnya dalam tiga tahun ke depan, berturut-turut.
Baca Juga: Berhenti merokok juga pengaruhi kesehatan mental
“Sangat menggembirakan melihat begitu banyak orang di wilayah Asia menyadari pentingnya menjaga kesehatan mereka dan mengatur kondisi saat ini. Salah satu cara untuk mendorong perawatan preventif bisa terletak pada penciptaan teknologi kesehatan yang lebih cerdas. Konsumen di wilayah Asia telah menunjukkan keterbukaan untuk berinteraksi dengan teknologi kesehatan yang menawarkan pendekatan kesehatan yang dipersonalisasi untuk hasil kesehatan yang lebih baik,” ujar Muir Keir.
Di Indonesia, responden mengatakan mereka menginginkan hal yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa mereka ingin menggunakan teknologi dan perangkat kesehatan pribadi untuk melacak kesehatan umum mereka ada 84 persen, dan penyakit yang sudah ada sebelumnya ada 83 persen.
Pim Preesman, President Director Philips Indonesia menambahkan, ada peluang yang besar untuk mengadopsi teknologi kesehatan pribadi di Indonesia secara lebih luas. Sistem perawatan kesehatan di seluruh Asia saat ini berada di bawah tekanan dan nilai terhadap perawatan diri dan pendekatan proaktif yang dilakukan oleh orang-orang untuk mencegah penyakit di masa depan dan untuk memaksimalkan kesehatan secara keseluruhan menjadi sangat penting.
“Dalam beberapa tahun terakhir, kami telah melihat kemungkinan-kemungkinan baru yang didorong oleh adopsi teknologi kesehatan pintar untuk memberdayakan orang untuk mencapai kesehatan terbaik mereka. Jika digunakan dengan tepat, perangkat ini dapat memberikan dampak yang lebih baik terhadap kesehatan, terutama jika masalah kesehatan terdeteksi sejak dini,” tuturnya.
Andalan dalam kesehatan mental
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pandemi Covid-19 telah memperburuk kondisi kesehatan mental dunia dan menciptakan krisis global untuk kesehatan mental jangka pendek dan jangka panjang.
Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 sebelum pandemi sudah menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.
Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Oktober, Populix mengadakan sebuah survei untuk mengetahui perkembangan isu kesehatan mental di era transisi endemi saat ini.
Hasil survei tersebut menemukan bahwa perubahan suasana hati yang cepat/mood swing adalah gejala yang paling sering dialami 57 persen responden dalam 6 bulan terakhir, diikuti perubahan kualitas tidur atau nafsu makan sebanyak 56 persen, rasa lelah yang signifikan, energi menurun ada 42 persen, ketakutan atau kegelisahan yang berlebihan 40 persen, merasa bingung, pelupa, sering marah, mudah tersinggung, cemas, kesal, khawatir, dan ketakutan yang tidak normal sebanyak 37 persen, kehilangan kemampuan untuk berkonsentrasi ada 35 persen, penarikan diri dari lingkungan sosial sebanyak 30 persen, serta ketidakmampuan untuk mengatasi stres atau masalah sehari-hari ada 26 persen. Beberapa responden juga merasakan gejala dalam tingkat yang lebih parah seperti mengalami nyeri yang tidak dapat dijelaskan ada 13 persen, marah berlebihan dan rentan melakukan kekerasan sebanyak 10 persen, berteriak atau berkelahi dengan keluarga dan teman-teman ada 9 persen, dan ingin melukai diri sendiri ada 9 persen, sampai mencoba bunuh diri ada 6 persen.
Dari berbagai gejala gangguan kesehatan mental tersebut, survei memperlihatkan 42 persen responden mengalami gejala-gejala tersebut setidaknya 2 hingga 3 kali dalam seminggu. Bahkan, 16 persen responden menyatakan mengalami gejala tersebut setiap hari. Apabila terus dibiarkan, gejala-gejala tersebut dapat berpotensi mengganggu aktivitas dan produktivitas sehari-hari, bahkan dalam kasus yang lebih parah, mengancam keselamatan jiwa seseorang.
Apa saja penyebab masalah kesehatan mental tersebut?
Menurut hasil survei Populix, ada beberapa faktor pemicu yakni; masalah finansial sebanyak 59 persen, merasa kesepian 46 persen merupakan faktor utama yang memicu munculnya gejala-gejala gangguan kesehatan mental tersebut. Selain itu, masih terdapat juga beberapa faktor lainnya seperti tekanan pekerjaan ada 37 persen, trauma masa lalu sebanyak 28 persen, tekanan dari pasangan ada 17 persen, tinggal di lingkungan yang buruk sebanyak 13 persen, serta mengalami diskriminasi dan stigma ada 10 persen.
Untuk mengurangi gejala gangguan kesehatan mental yang dirasakan, sebanyak 73 persen responden mengatakan mereka akan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, menjaga kecukupan tidur dan istirahat ada 55 persen, rekreasi ada 46 persen, melakukan aktivitas fisik agar tetap aktif sebanyak 36 persen, bercerita kepada sahabat ada 34 persen, menjaga hubungan baik dengan orang lain ada 32 persen, membantu orang lain dengan tulus ada 27 persen, dan melakukan meditasi ada 19 persen responden.
Berkaca dari temuan tersebut, Eileen Kamtawijoyo, Co-Founder dan COO Populix, mengatakan berbagai masalah seperti kondisi perekonomian yang tidak menentu, rasa kesepian setelah sekian lama menjalani pembatasan sosial, tuntutan pekerjaan, hingga permasalahan hubungan yang timbul di masa-masa transisi endemi ini, tentunya turut mempengaruhi kesehatan mental banyak orang.
“Survei kami menunjukkan bahwa 52 persen masyarakat Indonesia, terutama perempuan berusia 18-24 tahun, menyadari bahwa mereka memiliki gejala gangguan kesehatan mental, baik dalam bentuk gejala ringan maupun berat. Mayoritas dari para responden juga menyadari bahwa telah mengalami gejala tersebut dalam 6 bulan terakhir,” tutur Eileen.
Baca Juga: Simak Drama Korea yang Mengusung Kesehatan Mental
Survei ini sejalan dengan survei Philips yang menemukan masalah kesehatan mental ikut meningkatnya berbagai akses dan layanan kesehatan mental akhir-akhir ini. Survei Populix menunjukkan 69 persen masyarakat yang mengalami gejala gangguan kesehatan mental tidak pernah menggunakan layanan tersebut karena berbagai alasan. Beberapa alasan utama yang mereka sampaikan adalah merasa tidak perlu untuk melakukan konsultasi ada 45 persen, meyakini bisa mencari jalan keluar sendiri ada 42 persen responden, akibat biaya mahal diakui 41 persen responden, dan malu untuk bercerita kepada orang tidak dikenal sebanyak 33 persen responden. Namun demikian, sebagian masyarakat juga mengaku bahwa mereka tidak tahu adanya layanan kesehatan mental yaitu 27 persen responden.
Sementara itu, dari 31 persen responden yang pernah mencoba layanan kesehatan mental mengatakan bahwa mereka mencoba layanan tersebut karena mudah diakses (63 persen), tenaga kesehatannya mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik (59 persen), biaya terjangkau (57 persen), mempunyai reputasi pelayanan yang baik (47 persen), serta mengikuti rekomendasi dari teman, keluarga, influencer (37 persen).
Adapun tipe layanan kesehatan yang dipilih adalah konsultasi dengan psikolog/psikiater di klinik kesehatan terdekat (61 persen), mengakses telemedisin melalui aplikasi (54 persen), bergabung dengan komunitas sosial yang peduli dengan kesehatan mental (38 persen), dan konsultasi dengan pemuka agama (36 persen).
Adapun untuk aplikasi layanan kesehatan yang paling banyak digunakan adalah Halodoc (79 persen), Alodokter (55 persen), KlikDokter (28 persen), Riliv (19 persen), serta Bicarakan.id, GoodDoctor, dan Psikologimu (14 persen). Mayoritas responden mengatakan memilih aplikasi tersebut karena mudah diakses (87 persen), bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja (76 persen), memiliki biaya yang terjangkau (63 persen), privasi terjamin (61 persen), dan merasa mendapatkan solusi yang tepat (40 persen). Masyarakat bersedia mengeluarkan anggaran sebesar Rp100 ribu hingga Rp250 ribu untuk biaya konsultasi.
“Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, sehingga tidak bisa diabaikan atau dianggap sepele. Selain meratakan akses terhadap fasilitas dan dukungan kesehatan mental, edukasi dari berbagai pihak juga masih diperlukan guna menghapus stigma negatif terhadap gangguan kesehatan mental. Dengan demikian, setiap orang diharapkan bisa mendapatkan akses kesehatan dan kesempatan yang sama untuk tetap sehat secara fisik dan mental, agar dapat terus berkarya, mengekspresikan diri, dan memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik,” ujar Eileen.
Selanjutnya: WHO: Perubahan Iklim Perburuk Kesehatan Mental Manusia
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post