Jakarta, Prohealth.id – Kegiatan pembakaran di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara menghasilkan emisi karbon sebagai Gas Rumah Kaca (GRK) yang mendorong perubahan iklim.
Dalam siaran pers yang diterima Prohealth.id, Senin (20/3/2023) dari Trend Asia menyatakan, melihat situasi tersebut, seharusnya pemerintah Indonesia telah menyadari pentingnya membatasi emisi besar-besaran dari energi fosil, seperti PLTU Batubara.
Namun tindakan ini masih sekadar wacana, dan pemerintah dipandang terus berdalih bahwa proses pemensiundinian PLTU akan dilakukan secara bertahap.
Trend Asia menilai bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat masih belum memiliki komitmen dan keberanian untuk segera bertransisi energi. Hal ini terlihat dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) di Jawa Barat.
Dari 25,8 persen proyeksi EBT di Jawa Barat tahun 2050, ada 16,02 persen berasal dari bioenergi, yaitu sebesar 6,3 juta ton, dengan proyeksi penyediaan listrik hingga 0,5 MWh. Rencana pemanfaatan biomassa di dalam RUED tersebut diterjemahkan melalui program co-firing biomassa di beberapa PLTU di Jawa Barat. Dari total 52 program ujicoba co-firing di 52 PLTU se-Indonesia, ada 2 PLTU yang tersebar di Jawa Barat, yaitu PLTU Indramayu 1 (3 x 330 Mw) dan PLTU Pelabuhan Ratu (3 x 350 Mw), dengan menggunakan serbuk gergaji.
Padahal status energi biomassa sebagai bahan bakar bersih dan netral karbon tengah diperdebatkan di ranah internasional. Klaim sifat netral karbon biomassa tengah ditentang karena ia menghasilkan hutang karbon yang tidak akan tertutup dalam jangka waktu yang cukup untuk melawan perubahan iklim. Kebutuhan bahan bakar biomassa yang sangat besar juga berisiko besar berujung pada deforestasi berskala besar.
Riset Trend Asia menunjukkan bahwa implementasi co-firing di 52 PLTU akan memproduksi emisi hingga 26,48 juta ton setara emisi karbon, dan menimbulkan potensi deforestasi hingga 2,33 juta hektare. Bahkan, lebih dari 500 peneliti internasional telah menandatangani petisi menentang status biomassa kayu sebagai energi terbarukan.
Di Indonesia, implementasi program co-firing dianggap menyumbang target bauran energi terbarukan, walaupun masih membakar 90 – 95 persen batubara. Skema co-firing biomassa hanya solusi palsu transisi energi yang berisiko dijadikan alasan untuk menunda pensiun PLTU. Klaim co-firing biomassa netral karbon adalah klaim yang keliru, karena seluruh emisi yang dihasilkan dari mulai pembukaan hutan hingga pembakaran biomassa di PLTU akan menjadi hutang karbon yang tidak mungkin dilunasi dari penanaman tanaman energi. Namun, klaim salah tersebut malah dijadikan justifikasi untuk jual beli karbon di PLTU Indramayu dan Pelabuhan Ratu.
“Ini terbukti dengan masuknya dua PLTU tersebut dalam daftar Peserta Perdagangan Karbon. Program co-firing di PLTU tidak hanya menghambat transisi energi, tapi justru kontradiktif dalam melawan perubahan iklim, dan hanya menguntungkan para pebisnis di industri batubara dan kehutanan,” pungkas Amalya Reza Oktaviani, Manajer Program Trend Asia.
Terlepas dari potensi dampak yang akan terjadi, program co-firing terus berlanjut. Untuk memenuhi suplai biomassa, PLN bekerjasama dengan Perum Perhutani untuk penyediaan lahan tanaman energi seluas 70 ribu hektare. Dalam kerjasama tersebut, Perum Perhutani telah menyediakan lahan untuk tanaman energi di empat Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH): KPH Sukabumi, KPH Sumedang, KPH Indramayu serta KPH Purwakarta. Luas total lahan tanaman energi yang sudah ada sekitar 11 ribu hektare, ditanami tanaman gamal dan kaliandra.
Melihat situasi tersebut, Koalisi Untuk Energi Bersih Jawa Barat, menilai bahwa rencana pensiun dini PLTU secara bertahap masih sekadar wacana. Skema co-firing biomassa adalah solusi palsu yang dapat dijadikan alasan untuk memoles PLTU agar terkesan bersih, dan menunda pemensiunan dini PLTU yang seharusnya menjadi agenda mendesak.
Dampak buruk dari kegiatan PLTU I Indramayu yang sudah co-firing telah menimbulkan gangguan kesehatan warga sekitar, serta menimbulkan gangguan terhadap kualitas udara dan hasil panen bagi para petani yang dekat dengan PLTU.
Wahyudin, Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat menjelaskan, asap pekat yang hitam selalu membanjiri kampung halaman warga yang sering kali diresahkan warga jika arah mata angin bertuju langsung ke pemukiman warga.
“Maka selama PLTU masih dengan cara bakar-bakaran dengan batubara dan dicampur dengan serbuk kayu bagi kami co-firing biomassa bukan solusi untuk bertransisi energi, jauh lebihnya bukan juga solusi untuk menurunkan efek gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh kegiatan PLTU,” tutur Wahyudin.
Sementara itu, Mu’it Pelu dari LBH Bandung menambahkan, PLTU yang menggunakan energi kotor dan seharusnya pensiun dini justru usianya akan semakin panjang dengan adanya skema pengganti sebagian (co firing biomassa) batu bara di PLTU, ini merupakan keputusan gegabah yang dilakukan oleh negara.
“Dengan keputusan tersebut telah jelas bahwa negara telah merampas hak untuk hidup sehat warga negaranya,” tutur Mu’it.
Discussion about this post