Jakarta, Prohealth.id – Rokok ilegal adalah salah satu momok dalam upaya pengendalian tembakau di Indonesia. Bagaimana cara mengenali rokok ilegal agar tidak mengonsumsi produk tersebut?
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan membagi rokok ilegal atas lima jenis, yaitu: rokok yang bungkusnya tidak dilekati pita cukai, rokok yang bungkusnya dilekati pita cukai palsu, rokok yang bungkusnya dilekati pita cukai bekas, rokok yang bungkusnya dilekati pita cukai asli namun dengan nomor identitas perusahaan yang berbeda atau salah personalisasi, rokok yang bungkusnya dilekati pita cukai asli dengan nomor identitas yang benar namun dilekatkan kepada bungkus rokok yang tidak sesuai peruntukannya atau salah peruntukan.
Di Indonesia, rokok ilegal lebih didominasi oleh rokok yang diproduksi dan dijual di dalam negeri. Hal ini karena Indonesia merupakan negara produsen rokok dan rokok yang digemari di sini adalah rokok kretek yang hanya di produksi di Indonesia.
Masalah rokok ilegal di Indonesia adalah maraknya kasus intra smuggling di mana rokok bebas cukai yang seharusnya hanya dijual di kawasan bebas cukai, juga dijual di daerah luar kawasan bebas cukai.
Dikutip dari riset Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) tahun 2020 tentang Fakta Tembakau Indonesia disebutkan bahwa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan selalu monitor jumlah rokok ilegal.
Hasil survei menunjukkan bahwa persentase rokok ilegal di Indonesia mengalami peningkatan selama periode 2010- 2014, dari 6,14 persen menjadi 11,74 persen. Akan tetapi, selama periode 2016-2017, persentase rokok ilegal menurun dari 12,14 persen pada tahun 2016 menjadi 7,04 persen pada tahun 2017.
Pasca tahun 2014, Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu melakukan reformasi dengan memasukkan penurunan persentase rokok ilegal sebagai salah satu indikator kinerja utama. Reformasi kebijakan ini telah berhasil menurunkan estimasi persentase rokok ilegal di Indonesia.
Hal ini sekaligus memperlihatkan bahwa peningkatan upaya penegakan hukum efektif dalam mengurangi persentase rokok ilegal dan sekaligus mematahkan mitos tentang hubungan antara kenaikan harga dengan rokok ilegal. Pemerintah menaikkan tarif cukai selama periode 2015-2018 dengan konsisten minimal setara dengan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Dengan reformasi kebijakan yang kuat, persentase rokok ilegal telah menurun pada saat bersamaan dengan kenaikan tarif cukai. Keputusan pemerintah menjelang Pemilu 2019 yang tidak menaikkan tarif cukai tahun 2019 dengan alasan salah satunya untuk menekan jumlah rokok ilegal yang beredar, tidak sesuai dengan fakta lapangan. Hal ini karena tren 3 tahun sebelumnya menunjukkan telah terjadi penurunan persentase rokok ilegal pada saat tarif cukai dinaikkan.
Rokok ilegal di Indonesia didominasi oleh rokok ilegal produksi dalam negeri. Rokok ilegal yang berasal dari penyelundupan sangat kecil dibandingkan rokok ilegal produksi dalam negeri. Komposisi rokok ilegal produksi dalam negeri, mengalami perubahan dari tahun ke tahun.
Terkait rokok ilegal dengan pita cukai yang salah-peruntukan, terjadi penurunan tajam dari tahun 2011 ke tahun 2018. Hal ini diduga ada hubungannya dengan penyederhanaan struktur cukai yang menyebabkan insentif penghindaran pajak berkurang, Semakin sederhana sistem cukai rokok, semakin berkurang insentif untuk melakukan penghindaran cukai melalui modus salah peruntukan ini.
REFORMASI PENEGAKAN HUKUM
Reformasi dalam penegakan hukum rokok ilegal ditandai dengan adanya Key Performance Indicator (KPI) khusus tentang hal ini, dimulai sejak tahun 2017. KPI berasal dari kontrak kerja antara Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dan Menteri Keuangan.
KPI dalam penegakan hukum menyatakan pencapaian target yang harus dicapai setiap tahun. Sebelum adanya KPI, aktivitas penegakan hukum di DJBC tidak terencana dan berjalan sporadis. Saat ini, kegiatan penegakan hukum di DJBC lebih terkoordinasi dan komprehensif secara nasional.
Dalam kontrak kerja tahun 2016, DJBC memiliki 14 target dengan indikatornya masing-masing. Ada satu target yang terkait dengan penegakan hukum yang efektif dan indikatornya adalah hasil investigasi. Implikasi nyata dari penambahan KPI adalah meningkatnya operasi penegakan hukum rokok ilegal.
Data Ditjen Bea dan Cukai menunjukkan kenaikan jumlah operasi rokok ilegal 4 kali lipat dari 996 kali pada tahun 2014 menjadi 3950 pada tahun 2017. Sejalan dengan intensitas operasi penegakan hukum jumlah tangkapan meningkat dari 94 juta batang pada tahun 2013 menjadi 341 juta batang tahun 2016; walaupun temuan pada tahun 2015 tidak sebanyak tahun 2014 tetapi kemudian meningkat tajam di tahun 2016 menjadi 341 juta batang.
Hal ini membuktikan besar kecilnya rokok ilegal ditentukan oleh intensitas penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Ditjen Bea dan Cukai.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post