Sikap pemerintah Indonesia yang permisif terhadap campur tangan industri tembakau dalam proses penyusunan regulasi. Oleh karena itu, regulasi pengendalian tembakau semakin lemah.
Mouhamad Bigwanto, Ketua Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) menyatakan pengendalian tembakau yang lemah akan berdampak kepada anak-anak. Hal ini karena mereka akan terus menerus menjadi target pemasaran industri rokok yang masif dan manipulatif.
Pasalnya, regulasi yang lemah cenderung akan berpihak pada kepentingan industri tembakau, bukan kepada kepentingan terbaik bagi anak.
Bigwanto menyatakan kuatnya intervensi atau campur tangan industri tembakau ada dalam penyusunan regulasi. Hal ini tercermin dalam Laporan hasil monitoring RUKKI dan Lentera Anak, berjudul ‘Pelemahan Hukum dan Regulasi Kesehatan di Indonesia: Studi Kasus Pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam UU dan RPP tentang Kesehatan”.
Laporan ini secara spesifik memantau pemberitaan media massa selama bulan Maret–Desember 2023 tentang penyusunan RUU Kesehatan dan RPP Kesehatan, khususnya pengaturan zat adiktif.
“Selain itu kami juga mengumpulkan berbagai dokumen yang terkait, seperti surat menyurat dari industri dan kementerian,” kata Bigwanto media briefing dalam rangka Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2024 di Jakarta hari ini, 31 Mei 2024.
Ia menjelaskan, hasil analisis menunjukkan ada indikasi kuat terjadi praktik gangguan melalui sejumlah taktik. Khususnya dari industri tembakau dan dari pihak-pihak yang mereka sokong, terhadap penyusunan UU Kesehatan dan RPP Kesehatan.
Dalam kegiatan bertajuk ”Menguak Campur Tangan Industri Rokok dalam Melemahkan UU dan RPP Kesehatan di Indonesia” dari Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) dan Lentera Anak, Bigwanto merangkum beberapa hal. Setidaknya ada tiga taktik industri dalam proses penyusunan regulasi. Pertama, memenuhi media masa dengan informasi yang tidak relevan dan manipulatif. Kedua, menggunakan berbagai pihak untuk menggiring opini publik. Ketiga, mencampuri proses pembuatan kebijakan melalui seminar, konferensi pers, focus group discussion (FGD), audiensi, dan mengirim surat kepada pemerintah.
Taktik disinformasi, menurut Bigwanto, terjadi selama proses pembuatan UU Kesehatan. setidaknya ada 4 disinformasi. Misalnya, informasi tembakau memiliki nilai ekonomi dan nilai sosial sehingga tidak boleh sama dengan narkotika dan psikotropika yang jelas merugikan pemakai dan negara. Informasi ini keliru karena tembakau juga punya efek negatif terhadap pemakainya.
Disinformasi lainnya bahwa RUU Kesehatan akan berdampak buruk pada petani tembakau serta mengganggu kesejahteraan dan kelangsungan hidup jutaan pekerja di seluruh ekosistem Industri Hasil Tembakau Indonesia. Ada pula disinformasi bahwa perumusan RUU Kesehatan tidak melibatkan masyarakat dan stakeholder terkait. Serta kuatnya narasi yang menyampaikan bahwa profil risiko produk rokok elektronik lebih rendah dari rokok konvensional.
Bigwanto menjelaskan, dsinformasi yang sangat jelas misalnya ketika produk tembakau tidak merugikan negara. Sementara sudah jelas produk tembakau itu merugikan negara, lewat biaya kesehatan akibat konsumsi tembakau, yang lebih besar dari pendapatan cukai.
“Meskipun tembakau legal, tapi produknya tidak normal, sehingga konsumsinya perlu dikendalikan dan peredarannya perlu diawasi,” tegas Bigwanto.
Taktik kedua, adalah menggunakan berbagai kelompok (front groups). Termasuk komunitas hasil inisiasi industri, untuk menyuarakan narasi yang membela industri tembakau. Kelompok yang terlibat termasuk sejumlah anggota legislatif dari sejumlah fraksi, organisasi masyarakat keagamaan, lembaga penelitian, akademisi, dan orang dalam di pemerintahan, baik pusat maupun daerah.
Taktik ketiga adalah mengadakan sebanyak mungkin kegiatan media. Misalnya; diskusi media, FGD, konferensi pers, webinar, seminar, diskusi publik, hingga menerbitkan siaran pers. Dampak dari penggunaan sejumlah taktik intervensi ini, menurut Bigwanto, cukup mempengaruhi rumusan UU Kesehatan. Hal ini mengakibatkan pengesahan UU Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan.
Misalnya, persoalan perlindungan anak dan dampak kesehatan produk tembakau tidak menjadi prioritas. Hal ini karena pemerintah mengakomodasi hampir semua kepentingan pihak industri. Salah satu kepentingan pihak industri yang terbukti terakomodasi dalam UU Kesehatan adalah tidak adanya aturan pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok, yang sejatinya bisa melindungi anak dari target pemasaran industri rokok.
Bigwanto menegaskan, keberhasilan industri tembakau dalam mempengaruhi proses penyusunan RUU Kesehatan kembali muncul dalam proses penyusunan RPP Kesehatan. Bahkan ada indikasi makin banyak, pihak-pihak yang terlibat untuk menyebarkan disinformasi serta dukungan penuh terhadap kepentingan industri tembakau.
“Dari hasil pemantauan kami, jumlah pihak yang dilibatkan untuk menyuarakan kepentingan industri tembakau dalam proses penyusunan RPP lebih banyak dan lebih kencang,” tegas Bigwanto.
Narasi dalam proses penyusunan UU Kesehatan, khususnya desakan agar pengaturan zat adiktif keluar dari RPP Kesehatan. Bahkan ada pihak yang menyuarakan agar regulasi kembali pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Ia menambahkan, industri rokok dan kelompok pendukungnya terkonfirmasi tidak hanya berupaya mempengaruhi pandangan masyarakat tentang RPP Kesehatan melalui pemanfaatan media massa. Tetapi juga konsisten menyuarakan suara-suara penolakan terhadap substansi. Kelompok organisasi ini antara lain; asosiasi industri tembakau, asosiasi pengusaha, pedagang pasar, pedagang ritel, kelompok petani dan buruh, komunitas, lembaga mahasiswa, dan asosiasi industri media dan periklanan.
Sejumlah kementerian juga menarasikan penolakan terhadap isu substantif dalam RPP Kesehatan. Ada tujuh perwakilan kementerian, yakni; Kemenperin, Kemenaker, Kemenkeu melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), Kemenkumham, Kemenparekraf, Kementerian Pertanian, dan Kemenko Perekonomian.
Menurut Bigwanto hal ini sangat miris ketika kepentingan swasta justru mengalahkan kepentingan masyarakat, khususnya anak. Ia mengingatkan, kekuatan lobi swasta di Indonesia telah menjadikan perlindungan anak terpinggirkan. Kondisi ini sangat menyedihkan.
Adnan Topan Husodo dari Visi Integritas Nusantara, menyatakan kebijakan publik di Indonesia seringkali terpengaruh oleh kepentingan swasta dan korupsi. Ini disebut sebagai state capture dimana sektor swasta lebih menentukan arah kebijakan daripada masyarakat umum.
Adnan menjelaskan bahwa hal ini terjadi di berbagai sektor, termasuk kesehatan dan perubahan iklim. Banyak pengambilan kebijakan tanpa partisipasi publik yang berarti, seperti revisi UU KPK dan Omnibus Law. Hubungan erat antara pengusaha dan pejabat publik memperburuk keadaan. Banyak pejabat memiliki rangkap jabatan atau beralih ke sektor swasta tanpa jeda waktu yang memadai. Tidak ada pengaturan mekanisme lobi dengan baik sehingga menyebabkan tradisi suap dan gratifikasi.
“Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada penguatan aturan konflik kepentingan dan transparansi dalam proses lobi, serta advokasi kebijakan yang lebih luas. Melalui media sosial mengingat media tradisional hanya mencakup sebagian kecil informasi yang masyarakat bisa akses,” kata Adnan.
Sementara itu Lisda Sundari selaku Ketua Lentera Anak, menegaskan bahwa persoalan perlindungan anak dari rokok akan selalu menjadi unfinished agenda sepanjang pimpinan negara tidak punya komitmen untuk melindungi anak dari paparan rokok dan dari target pemasaran industri rokok.
Menurut Lisda, ia mencatat ada enam tuntutan industri tembakau terhadap RPP Kesehatan. Pasalnya ada tiga tuntutan terkait dengan perlindungan anak. Yakni tuntutan untuk menolak larangan menjual rokok secara eceran, menolak pelarangan total iklan, promosi dan sponsor rokok, serta menolak larangan memajang produk rokok di tempat penjualan.
Lisda menyatakan tiga hal penolakan dari industri yang adalah aturan bertujuan melindungi anak dari dampak rokok dan dari target pemasaran rokok yang masif dan manipulatif. Sudah banyak studi Lentera Anak terkait dampak iklan, promosi dan sponsor rokok serta dampak bebasnya penjualan rokok eceran terhadap anak.
“Dan industri secara tegas menolak regulasi yang bertujuan melindungi anak tersebut,” tegas Lisda.
Disinilah, kata Lisda, masyarakat sangat membutuhkan komitmen pemerintah untuk mau menolak tegas segala bentuk intervensi yang berpotensi mengancam perlindungan anak. Oleh karena itu, melalui tema HTTS tahun ini, masyarakat menyeru pemerintah untuk mau menolak segala bentuk intervensi terhadap regulasi pengendalian tembakau di Indonesia.
Lisda juga menyampaikan rapor merah pemerintah dalam perlindungan anak dari rokok, berdasarkan suara anak Indonesia terhadap permasalahan rokok. Ia menilai pemerintah tidak memedulikan suara anak Indonesia kepada Presiden setiap tahun pada perayaan hari Anak Nasional tanggal 23 Juli.
“Kami mencatat bahwa sejak tahun 2016, suara anak Indonesia sudah meminta untuk jauh dari rokok. Dan yang menarik, hingga tahun 2023, permintaan itu disuarakan secara konsisten, bahkan permintaan untuk memperkuat regulasi perlindungan anak dari rokok semakin menguat,” kata Lisda.
Ada lima hal utama yang menjadi saran anak Indonesia dalam “Suara Anak”. Sebut saja; penguatan KTR, pelarangan penjualan rokok eceran, pelarangan total iklan, promosi dan sponsor rokok, edukasi yang kuat tentang bahaya rokok, dan pengaturan rokok elektronik.
Dari lima hal utama yang disuarakan anak Indonesia, Lisda menilai pemerintah tidak punya kepedulian dan mengakomodir suara anak tersebut. Rapor merah utama khususnya untuk pengaturan iklan, promosi dan sponsor rokok, karena belum ada regulasi yang kuat terkait hal ini.
“Karena itu kami memberi rapor merah kepada pemerintah terhadap upaya perlindungan anak dari bahaya adiktif nikotin,” tegas Lisda.
Lisda mengingatkan jika Pemerintah mau mengacu kepada Konvensi Hak Anak. Pemerintah harus lebih mendukung suara anak dan berani menolak campur tangan industri tembakau dalam proses pembuatan kebijakan.
Jika pemerintah terus mengakomodir kepentingan industri yang berorientasi pada profit, maka perlindungan kesehatan anak tidak akan pernah tercapai sampai kapanpun. Inilah yang saya sebut sebagai unfinished agenda,” pungkas Lisda.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post