Jakarta, Prohealth.id – Sejumlah pihak masih menolak menaikkan cukai rokok saat pandemi padahal tingkat konsumsi rokok meningkat dan butuh pengendalian sebagai langkah preventif menekan penyebaran virus Covid-19.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Prohealth.id, Selasa (31/8/2021), Gabungan Perusahaan Rokok (GAPERO) maupun Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) telah menyurati pemerintah untuk tidak menaikkan cukai dengan alasan industri hasil tembakau (IHT) telah turun sebesar 10 persen akibat pandemic Covid-19. Mereka memperkirakan, pada 2021 IHT akan kembali turun 5-10 persen, karena Covid-19 masih berlangsung.
Tak sendiri, Ketua Asosiasi Koperasi Ritel Indonesia (AKRINDO) Sriyadi juga membenarkan adanya i tekanan yang menimpa produsen hingga penjual. Sepanjang tahun 2020, AKRINDO mencatat rata-rata pedagang dan ritel mengalami penurunan omzet hingga 50 persen.
Benarkah demikian? Menurut Adriana Bella, Manajer Riset Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) memang ada banyak riset di seluruh dunia yang berbeda-beda dalam menampilkan relasi perilaku merokok. Oleh sebab itu, CISDI mencoba membuat riset komprehensif selama 10 bulan yang juga mengkaji kondisi demografi dan status sosial masyarakat selama pandemi terhadap perilaku merokok.
Adriana menerangkan, riset terbaru bertajuk “Perubahan Status dan Perilaku Merokok Setelah 10 Bulan Pandemi Covid-19 di Indonesia” membuktikan ada 29 persen responden mengaku tetap merokok alias tidak mengubah status merokok setelah 10 bulan melewati masa pandemi Covid-19. Adriana menyebut kelompok ini sebagai persistent current smoker.
“Di sisi lain responden yang mengubah status berhenti merokok, jumlahnya jauh lebih rendah dari yang konsisten merokok. Yang tetap merokok ini didominasi laki-laki berusia 15-44 tahun,” ujar Adriana melalui Youtube Channel CISDI TV.
Secara lebih rinci, Adriana memaparkan proporsi kelompok persistent current smoker atau perokok aktif persisten, jauh lebih besar dibandingkan kelompok yang berhenti merokok sebesar 1,4 persen, baru merokok sebesar 0,3 persen, ataupun perokok yang kembali merokok setelah pandemi (relapse) sebesar 0,4 persen. Dengan kata lain, tidak banyak terjadi perubahan status merokok setelah 10 bulan pandemi di Indonesia.
Adriana melanjutkan, perokok aktif persisten dalam survei ini diidentifikasi 40 persen mengalami pengurangan waktu kerja dan 77 persen mengalami kesulitan finansial.
“Sebagian besar perokok ini ternyata punya permasalahan ekonomi yakni pengurangan waktu kerja, dan ada masalah keuangan,” terang Adriana.
Temuan lain yang lebih mengejutkan, mayoritas perokok aktif persisten ternyata tidak mengubah perilaku merokok dari segi jumlah batang rokok yang dikonsumsi sebanyak 60 persen, pengeluaran untuk membeli rokok sebesar 55 persen, hingga harga rokok yang dibeli sebesar 73 persen. Mayoritas perokok aktif persisten ini dikategorikan sebagai ‘perokok adiktif’ yang kurang responsif terhadap perubahan kondisi ekonomi.
BERALIH KE ROKOK YANG LEBIH MURAH
Lebih lanjut, Adriana memaparkan bahwa mayoritas kedua dari respons perokok aktif persisten masuk ke dalam kategori ‘perokok rasional’ yang merespons perubahan kondisi ekonomi dengan mengurangi jumlah batang
rokok yang dikonsumsi ada sebesar 37 persen, responden yang mengurangi pengeluaran untuk membeli rokok sebanyak 42 persen, ataupun yang mengganti harga rokok yang dibeli dengan yang lebih murah ada 24 persen. Hasil analisis lebih lanjut, Adriana menunjukan bahwa perubahan perilaku merokok kelompok perokok ‘rasional’ ini terkait dengan tekanan finansial, pengurangan jam kerja, dan aturan pembatasan sosial selama pandemi. Temuan lainnya juga menunjukan bahwa perokok rasional yang mengurangi konsumsi rokok setelah sepuluh bulan pandemi 63 persen di antaranya memiliki pendapatan kurang dari 3 juta rupiah.
Dia menerangkan, sekitar 37-42 persen, atau 4 dari 10 perokok persisten mengurangi konsumsi batang dan pengeluaran untuk membeli rokok. Sementara, 24 persen atau 1 dari 4 perokok persisten beralih membeli rokok lebih murah selama pandemi.
“Artinya, seperempat dari mereka adalah perokok yang rasional. Namun, variasi harga rokok memungkinkan mereka beralih ke produk rokok lebih murah, alihalih menghentikan aktivitas merokok” ujar Adriana Bella.
SOLUSI PENGENDALIAN MELALUI CUKAI
Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri menyatakan kepada Prohealth.id, seringkali upaya menaikkan cukai rokok diseret-seret dengan kontribusi terhadap penerimaan negara, ataupun terhadap kondisi perekonomian secara makro. Padahal, menurut Faisal cukai bukan bertujuan pokok menggenjot penerimaan negara. Industri rokok juga tidak lantas punah hanya karena kenaikan cukai. Dia menegaskan, cukai adalah instrumen yang digunakan negara untuk mengendalikan konsumsi terhadap jenis barang-barang berbahaya, mulai dari rokok hingga minuman beralkohol. Bahkan, kini minuman berpemanis juga dikenaikan cukai karena memberi implikasi buruk pada kesehatan masyarakat.
“Ini [rokok] itu bad, sehingga harus kena cukai. Kok kita diseret-seret ke penerimaan negara? Tujuan cukai rokok agar sesedikit mungkin rakyat merokok,” terang Faisal.
Dia juga menambahkan, selama pandemi penerimaan cukai mengalami kenaikan. Hal ini terjadi karena indikasi kebiasaan merokok selama pandemi tidak terkendali. Apalagi pada 2019 lalu cukai rokok juga tidak dinaikkan.
Menanggapi sejumlah temuan dari CISDI, Cut Putri Arianie selaku Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan menyebutkan pemberian layanan bantuan Upaya Berhenti Merokok (UBM) sepenuhnya menjadi kewenangan Kemenkes, namun pelaksanaan layanan ini belum termasuk dalam cakupan Jaminan Kesehatan Nasional.
“Untuk pengendalian konsumsi rokok, cukai harus diterapkan sehingga rokok mahal. Tentu akses pada rokok akan berkurang.”
Sementara itu Sakri Sabatmaja, Kepala Subdirektorat Advokasi dan Kemitraan Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, menyatakan salah satu pemicu konsumsi rokok masih konsisten tinggi karena harga yang diberandol terbilang sangat murah.
“Saya pernah melihat iklan rokok, satu bungkus rokok harganya Rp6000, isi 12 batang. Bayangkan harga rokok 500 perak, padahal sudah dinaikkan. Harapan kami harusnya ada standar bawah harga rokok,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Diah Saminarsih selaku Senior Advisor for Gender and Youth for The Director-General of WHO menambahkan, dari riset CISDI membuktikan dampak tekanan ekonomi pandemi terhadap berkurangnya konsumsi rokok juga disebabkan tingkat keterjangkauan dari rokok itu sendiri.
“Ketika rokok bisa dibeli dengan harga murah, bahkan dapat dibeli ketengan, orang yang penghasilannya berkurang pun masih mampu menyisihkan sedikit uangnya untuk membeli rokok secara rutin untuk memenuhi rasa ketagihannya,” tegas Diah.
Berkaca dari dinamika tersebut CISDI merekomendasikan beberapa hal kepada pemerintah.
Pertama, pemerintah perlu mengurangi variasi harga. Keberadaan harga rokok yang beragam dan cenderung lebih murah menjadi salah satu faktor pendorong perilaku merokok sehingga perlu diatasi melalui penyederhanaan golongan cukai.
Kedua, pemerintah perlu mendorong kenaikan harga rokok. CISDI menilai perokok yang rasional dan berasal dari kelompok ekonomi rendah lebih sensitif terhadap perubahan harga. Pemerintah perlu memanfaatkan peluang ini untuk menaikkan harga rokok dengan menaikkan tarif cukai.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post