Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi sejak tahun 2004 hingga 2022 terdapat 22 gubernur serta 148 bupati dan wali kota yang telah ditindak secara hukum.
Artinya, tingkat kerawanan tersandung kasus korupsi bagi kepala daerah di Indonesia masih tinggi. Kondisi ini tentu akan menghambat program prioritas pemerintah salah satunya pengentasan kemiskinan ekstrem.
Saat ini memang setiap daerah di Indonesia memiliki aplikasi perencanaan keuangan masing-masing. Sehingga, tidak terintegerasi dan kurang sinergi dalam sistem perencanaan dan penganggaran dari daerah ke pusat. Hal itulah yang memunculkan kerawanan terjadinya korupsi dan penyelewengan.
Menurut Maliki selaku Plt Deputi Kependudukan dan Ketenagakerjaan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), pemerintah akhirnya mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.
“Arahan Presiden tahun 2022 lalu, bahwa kita harus mempercepat penanganan kemiskinan ekstrem sampai 0 persen dari 2030 menjadi 2024,” tuturnya dalam Forum Merdeka Barat (FMB), 28 Agustus 2023 lalu.
Sebagai konsekuensi percepatan 6 tahun untuk pengentasan kemiskinan ekstrem maka harus menggunakan pendekatan yang tidak bisa business as usual. Artinya, kata Maliki, Bappenas melihat pelaksanaan pengentasan kemiskinan ini hanya bisa dilakukan dengan membuatkan payung pendekatan yang tidak biasa. Tujuannya, agar reformasi perlindungan sosial dapat dirasakan oleh semua masyarakat.
“Untuk itu, ada beberapa strategi transformasi data menuju data Satu Data Indonesia, registrasi sosial-ekonomi, integrasi program. Ini upaya multidimensi,” terang Maliki.
Ia juga menyatakan, perencanaan program pengentasan kemiskinan ekstrem harus rapi agar meminimalisir kerugian dan kegagalan. Caranya, dengan menjamin desain program, desain anggaran, target tetap sasaran, serta lintas kementerian dan lembaga terintegrasi. Hal ini hanya dapat tercapai dengan komponen data valid yang terverifikasi.
“Saat ini kami lakukan perencanaan masih dengan mekanisme penandaan (tagging). Jadi, ada yang kami tagging masuk ke keluarga penerima manfaat, ada yang digunakan untuk koordinasi, atau penguatan koordinasi itu sendiri,” tutur Maliki menyoal perencanaan anggaran.
Untuk itu pemerintah meluncurkan Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) sebagai aplikasi yang berfungsi mengintegrasikan data dari berbagai tingkatan pemerintahan, mulai dari desa hingga pusat yang dapat dipantau setiap waktu (real time). Melalui SIPD, penggunaan anggaran bisa dengan mudah diawasi dan efektif mencegah praktik korupsi di daerah. Dengan sistem ini, KPK, Kementerian Dalam Negeri, dan Bappenas berharap celah tindak penyelewengan oleh aparatur negara dapat diutup.
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Agus Fatoni membenarkan bahwa penanganan kemiskinan ekstrim harus dari perencanaan program dilanjutkan dengan proses penganggaran.
“Jadi SIPD ini satu-satunya sistem yang mengintegrasikan penanggungjawab dan ini bukan hanya satu beberapa sitem integrasikan tapi ini satu-satunya sistem. Perencanaan penganggaran dan pertanggung jawaban, ini akan integrasikan semua proses di daerah,” tutur Agus.
Agus juga memastikan, SIPD menjadi aplikasi yang memastikan anggaran direncanakan, dilaksanakan, dan dipertanggungkan secara transparan dan akuntabel. Utamanya untuk pengentasan kemiskinan ekstrem. “SIPD ini memudahkan pengawasan kita, ini salah dari perencanaan misalnya. SIPD ini menjadi komitmen kita bersama untuk mencegah korupsi dari sisi perencanaan,” sambung Agus.
Koordinator Pelaksana Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) Pahala Nainggolan, membenarkan informasi terpusat dalam SIPD diyakini bisa menjadi alat yang ampuh untuk mencegah terjadinya korupsi di daerah.
Pahala yang juga menjabat Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menjelaskan bahwa dengan menghubungkan laporan keuangan dari semua level pemerintahan, pemerintah dapat melihat kondisi keuangan secara lebih komprehensif.
Sebelum adanya SIPD, dia menambahkan, setiap daerah memiliki sistem informasinya sendiri-sendiri. Alhasil, sistem yang sendiri-sendiri ini membuat pengelolaan anggaran daerah menjadi kurang efektif dan efisien.
“Selama ini misalnya ada 549 daerah punya sistem sendiri. Bagus, tapi buat nasional ini agak rumit. Nanti kalau cek berapa saldo kas daerah, telpon sana-sini. Belum terbuka juga berapa uang APBD yang dihabiskan untuk bangun jalan, untuk urus ini semua butuh seminggu sendiri,” ujar Pahala.
Dia mengatakan dalam SIPD terdapat rincian alokasi penggunaan anggaran tersebut. Melalui SIPD, pemerintah pusat dapat melihat penggunaan anggaran daerah dengan detail, bahkan sampai alokasi anggaran untuk rapat, makan minum, dan perjalanan dinas.
Begitu juga dengan pengawasan pada tiap tahapannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban anggaran.
Sebagai contoh, kata Pahala, terjadi di Kabupaten Cirebon yang memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Rp7 triliun. Namun, dari total anggaran tersebut, yang masuk “tagging” pengentasan kemiskinan ekstrem hanya sekitar Rp115 miliar atau 1,62 persen.
“Dengan fungsi pembinaan evaluasi dari Kemendagri, SIPD kalau sudah jalan penuh, ini (anggaran) Rp115 miliar itu tidak bisa, terlalu sedikit. Terlebih Kabupaten Cirebon ini termasuk salah satu daerah termiskin di Provinsi Jawa Barat,” kata dia.
Kemudian ketika dibedah lagi, Pahala menambahkan, dari 1,62 persen tersebut ternyata tidak ada yang masuk untuk kegiatan bantuan sosial (bansos). Menurut dia, Pemda justru mencantumkan anggaran untuk honorarium, belanja alat kantor, bahkan belanja makan dan minum rapat.
“Bayangkan ini bukan untuk menginjeksi langsung ke orang miskin, tapi malah buat makan minum rapat. Ke depan pasti tidak bisa yang seperti ini,” ujarnya.
Literasi masyarakat tentang transparansi
Meskipun SIPD memiliki potensi besar untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas anggaran daerah, Pahala mengakui bahwa masih ada sejumlah tantangan yang perlu dihadapi. Salah satu tantangan tersebut adalah masih rendahnya literasi digital masyarakat. Masyarakat perlu memiliki pemahaman yang memadai tentang cara menggunakan SIPD untuk mengakses data anggaran dan program daerah.
“Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat aparat pengawasan internal pemerintah untuk memastikan bahwa anggaran dan program daerah dilaksanakan secara efektif dan efisien,” katanya.
Selain itu, masyarakat perlu diperkenalkan misalnya pemanfaatan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Setelah masyarakat bisa mengakses LHKPN secara mandiri dan terdigitalisasi, tingkat pengawasan masyarakat meningkat. Akibatnya, masyarakat menjadi lebih peka dan kritis terhadap latar belakang kekayaan pejabat publik.
Oleh karena itu, Pahala menambahkan penggunaan SIPD juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan anggaran dan program daerah. Bahkan, kata dia, SIPD tidak akan berfungsi secara maksimal tanpa partisipasi kritis dari masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan media massa.
Untuk itu, Pahala mengajak masyarakat dapat mengakses data SIPD secara berkala melalui laman Kemendagri sehingga SIPD bisa menjadi sarana pengawasan dan pencegahan korupsi di daerah.
“Masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan SIPD untuk melakukan analisis dan memberikan masukan terhadap anggaran dan program daerah,” ujar dia.
Dengan SIPD, kata Pahala, masyarakat dapat lebih mudah memantau penggunaan anggaran daerah dan melaporkan adanya penyimpangan. Oleh karena itu, SIPD menjadi alat yang ampuh untuk mencegah korupsi di daerah. Menurut dia, fungsinya sama seperti Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKP), SIPD dapat menjadi sumber data yang penting untuk investigasi kasus korupsi.
“Dengan SIPD, media massa dapat melihat pola penggunaan anggaran daerah yang mencurigakan,” katanya.
Menjelang peluncuran SIPD pada September 2023 mendatang, Pahala menyebut masih ada tantangan yang harus dihadapi, yakni keengganan pemerintah daerah untuk berpindah dari aplikasi yang sudah digunakan selama ini. Maka dari itu, Pahala mengimbau pemerintah daerah untuk mengintegrasikan aplikasi yang dimiliki daerah dengan SIPD. Proses integrasi ini dilakukan oleh Kemendagri.
“Pemda hanya perlu menyediakan data dan informasi yang diperlukan untuk proses integrasi. Pemda juga dapat menambahkan fitur-fitur baru ke dalam SIPD. Namun, fitur-fitur baru tersebut harus sesuai dengan kebutuhan daerah,” ujarnya.
Dengan kebijakan ini, Pahala berharap penggunaan anggaran daerah dapat lebih efisien dan efektif. Upaya-upaya tersebut diharapkan dapat meningkatkan transparansi, akuntabilitas, partisipasi, efisiensi, dan efektivitas sistem perencanaan negara.
“Masyarakat harus diliterasi, ada beberapa Youtube dan begini cara baca. Anda tidak bisa membandingkan 1,62 persen kalau lihat tetangga sebelah. Anggaran satu provinsi bisa diakses LSM, mahasiswa, masyarakat, media, silakan membandingkan. Ini penting ada partisipasi publik,” tegas Pahala.
Terkait tantangan penerapan SIPD, Agus Fatoni justru membeberkan manfaat dan peluang sistem ini. Ia mengungkapkan selama ini sekitar 531 pemerintah daerah memang memiliki dan membiayai sendiri sistem penganggaran mereka. Sebagai contoh, untuk sattu sistem di satu daerah memakan anggaran Rp1 miliar sampai Rp15 miliar. Jika ada sekitar 540 daerah yang sudah punya sistem dan tidak lagi harus membayar biaya perawatan server, maka bisa menghemat ratusan miliar.
“Selain server, dengan aplikasi dan digitalisasi di Jawa Barat saja diakui sudah hemat kertas sampai Rp16 miliar. Bayangkan ini terjadi di semua daerah. Atau misalnya di Kota Medan dengan SIPD bisa hemat Rp16 miliar,” tutur Agus.
Penulis: Irsyan Hasyim & Gloria FK Lawi
Discussion about this post