Jakarta, Prohealtih.id – Peningkatan konsumsi rokok elektronik pada bisa memperparah ancaman bahaya rokok bagi anak-anak. Tak terkecuali, anak dengan disabilitas.
Head of Centre for ASEAN Autism Studies, Hersinta mengungkapkan salah satu studi di Amerika menunjukan bahwa 32 persen prang mengonsumsi rokok elektrik. Perokok elektrik cepat meningkat karena menganggap jenis rokok ini lebih aman dan minim risiko terhadap kesehatan.
Persentase perokok elektrik ini terus mendekati jumlah perokok konvensional yang jumlahnya sudah mencapai 55 persen. Hersinta menduga studi ini juga tak jauh berbeda dengan di Indonesia.
Terlepas dari itu semua, Hersinta pun menegaskan baik rokok konvensional, maupun elektrik sama-sama membahayakan.
Hersinta mengatakan rokok elektrik sama seperti konvensional yakni mengandung zat karsinogenik, zat yang memucu kanker. Hal itu dia sampaikan dalam seminar bertajuk ‘Lindungi Anak Penyandang Disabilitas dari Bahaya Rokok’ yang diselenggarakan di Kampus LSPR, Jakarta pada Jumat (13/12/2024).
“Risiko dari konsumsi rokok elektrik maupun rokok konvensional sama-sama meningkatkan dampak negatif yang cukup besar terhadap fisik dan juga perspektif kesehatan dan finansial yang pada akhirnya akan semakin meningkatkan kesenjangan penyandaan disabilitas,” kata Hernita.
Hersinta membeberkan peningkatan konsumsi rokok di Amerika juga terjadi di kalangan anak disabilitas (di bawah umur 14 tahun). Ini menjadi pengingat agar hal yang sama tidak terjadi di Indonesia.
“Nah, ini juga mungkin satu hal yang kita harus cermati walaupun mungkin saya tidak tahu apakah memang sudah ada datanya atau tidak di Indonesia,” ucapnya.
Studi yang sama di Amerika, memperlihatkan adanya kecenderungan anak disabilitas juga mengonsumsi rokok. Persentasenya mencapai 38 persen.
Dia menyebut ternyata ada kelompok disabilitas yang mempunyai kebiasaan merokok, yakni disabilitas dengan gangguan mobilitas. Mereka mencari kegiatan yang sifatnya rilis, sehingga merokok.
Faktor lainnya adalah lingkungan sekitar yang banyak perokok aktif, sehingga anak menjadi penasaran dan terpengaruh.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan anak banyak menjadi korban paparan asap rokok. Sebanyak 68,6 persen anak-anak terpapar asap rokok di dalam ruangan, termasuk anak penyandang disabilitas.
“Tidak menutup kemungkinan juga untuk anak-anak disabilitas itu memiliki resiko keterpaparan yang lebih tinggi,”kata Nadia.
Nadia mengungkapkan kandungan ada sekitar 7.000 zat kimia pada sebatang rokok. Salah satunya zat karsinogen.
Survei Kemenkes pada 2023 menunjukan jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 70 juta orang. Dari jumlah itu, sebanyak 7,4 persen di antaranya adalah perokok remaja (usia 10-18 tahun).
Nadia menyampaikan sebanyak 44,7 persen anak mulai merokok pada usia 10-14 tahun. Menurut Nadia, kondisi ini sudah darurat.
Jumlah perokok elektrik anak dan remaja kian meningkat. Hal ini salah satunya karena pengaruh iklan rokok elektrik yang kian terang-terangan.
“Jadi kalau kita lihat memang luar biasa ya. Sangat berbeda mungkin kalau kita lihat kondisi rokok konvensional. Setidaknya orang jualan rokok konvensional itu nggak terlalu terang-terangan ya. Tapi sekarang orang jualan vape itu terang-terangan banget,” kata Nadia.
Sejak pandemi Covid-19, iklan rokok di internet meningkat hingga 21 persen. Angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2019. Iklan rokok pada tahun itu hanya 2 persen.
“Jadi sebenarnya pandemi Covid kemudian perlompatan teknologi informasi membuat kemudian iklan rokok di internet itu semakin meningkat,” ungkapnya.
Nadia prihatin dengan kondisi saat ini. Banyak juga minimarket yang menjajakan rokok elektrik di paling depan. Anak-anak yang merokok elektrik pun kian dinormalisasi. Bahkan menjadi tren.
“Kemudian jadi juga seperti suatu gaya gitu, apalagi menggunakan device-device rokok elektrik yang memang kelihatannya itu seperti gadget-gadget canggih gitu ya,” tuturnya.
Ada faktor lain yaitu media sosial yang juga banyak berperan dalam peningkatan jumlah perokok anak dan remaja. Pasalnya, banyak influenser dan (Key Opinion Leader) yang justru mengkampanyekan rokok tembakau dan elektrik.
Upaya Menjauhkan Rokok dari Anak
Salah satu upaya untuk menjauhkan rokok dari anak-anak dan remaja adalah membuat peraturan larangan rokok. Nadia mengatakan dalam radius 200 meter dari sekolah tidak boleh ada yang menjual rokok.
Setiap minimarket dan penjual juga harus patuh dengan aturan yang lebih ketat soal penjualan rokok. Nadia mendorong, penjual rokok harus menyeleksi siapa yang boleh membeli. Penjual harus menanyakan kepada pembeli salah satunya terkait umur sebelum membeli.
“Susahnya memang kadang-kadang anak-anak suka memalsukan umur,” ucapnya.
Ketua Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) Sumarjati Arjoso berpendapat pengendalian rokok bisa dimulai di lingkup terkecil, yakni keluarga.
Orang tua yang merokok harus waspada karena anak dapat meniru perilaku tersebut. Apalagi, kata Sumarjati, orang tua meminta anak untuk membeli rokok.
“Jadi, hal itu bisa saja menjadi pemicu anak merokok,” kata Sumarjati.
Sumarjati juga menyoroti iklan rokok yang berseliweran di berbagai tempat, di TV hingga di videotron. Dia berpendapat seharusnya ada larangan tegas atas iklan rokok.
Selain itu, Sumarjati mendorong agar pemerintah menaikkan cukai rokok dan tidak boleh ada penjualan rokok ketengan. Dengan demikian, akses anak-anak dan remaja untuk merokok tidak mudah.
“Kalau harga rokok itu terlalu murah, uang saku anak-anak itu bisa untuk beli rokok. Apalagi kalau rokok itu dijual ketengan ya,” ujarnya.
“Namanya ketengan atau perbatang. Jadi ini tentu sangat mempengaruhi anak-anak itu Kemudian mereka merokok. Kerana itu memang rokok itu harus mahal dan juga tidak boleh dijual ketengan,” imbuhnya.
Penulis: Ningsih
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post