Setelah menyadari bahayanya, para perokok yang sudah terjerat candu rokok pun mengaku kesulitan untuk menempuh titik terang dari jeratan candu rokok yang mengintai kesehatan mereka.
Hingga kini, asumsi rokok sebagai alat untuk menghilangkan stres masih melekat di masyarakat. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, rokok cukup populer di kalangan anak muda dengan asumsi akan terlihat keren dengan merokok. Hal ini terjadi karena industri rokok yang menargetkan anak muda agar menjadi konsumen jangka panjangnya.
Paparan asumsi rokok pada anak muda tersebut dirasakan oleh seorang pekerja bernama Adam Sugalih yang saat itu berusia 15 tahun. Kala itu, Adam tertarik untuk benar-benar mencoba merokok bersama temannya.
Setelah mencoba, rokok menimbulkan rasa nikmat saat dikonsumsi. Padahal saat itu Adam hanya ingin mencoba rokok karena ia terjebak asumsi merokok itu keren. Namun ia salah berpikir jika merokok itu keren. Nyatanya, benda kecil itu malah membuat candu sehingga sangat sulit bagi Adam untuk berhenti. Apalagi, candu rokok mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatannya.
Pada awal tahun 2020 ketika Adam genap berusia 22 tahun, dia akhirnya berhasil untuk berhenti merokok. Pencapaian tersebut berawal ketika Adam menjadi petugas Satgas Covid-19 di kantor tempatnya bekerja. Adam pun merapal keinginan untuk berhenti merokok. Dia pun makin termotivasi melihat beberapa temannya bisa hidup tanpa kecanduan rokok.
Adam menceritakan kepada Prohealth.id sulitnya saat ia saat bertekad ingin berhenti merokok. Terkadang, ia masih merasakan keinginan kuat untuk merokok. Jika rasa sakaw itu muncul, ia telah mencoba mencari cara agar pikiran dia menjadi tenang.
Dalam prosesnya berhenti merokok, Adam yang juga kerap dipanggil Sugalih ini mengalihkan keinginan merokok dengan konsumsi makanan manis.
“Waktu lepas dari kecanduan rokok itu awalnya coba-coba seperti makan cokelat, cha-cha, ngemil makanan manis dan benar-benar lepas itu sekitar 3 bulanan. Memang agak sulit tapi menurut saya yang paling efektif banget itu sih cokelat,” ungkap Adam Sugalih kepada Prohealth.id, Jumat, 13 Januari 2023.
Sugalih mengaku kepada Prohealth.id, dia mengenal adanya layanan berhenti merokok bagi pecandu rokok. Namun, Sugalih menilai layanan berhenti merokok sangat kurang efektif karena banyak masyarakat yang kurang mengetahui mekanisme dan metode pelaporan.
“Layanan konseling berhenti merokok ini menurut saya kurang efektif karena kurang sosialisasi kepada pengguna rokok yang ingin berhenti. Bisa juga misalnya melalui puskesmas, kelurahan, atau kecamatan untuk mengadakan sosialisasi dengan layanan ini agar masyarakat tahu ada layanan konseling berhenti merokok,” ungkap Sugalih.
Sebagai mantan perokok, Sugalih berharap layanan konseling berhenti merokok dapat lebih digencarkan khususnya untuk para perokok yang ingin berhenti. Sugalih juga akan merekomendasikan kepada teman-teman atau orang yang ingin berhenti merokok agar bisa memanfaatkan layanan tersebut.
“Pasti saya akan rekomendasi in sih, berguna banget buat orang yang mau berhenti ngerokok,” ungkap Sugalih.
Kepopuleran rokok di kalangan anak muda di bawah umur juga terjadi pada seorang mahasiswa bernama Fadly (21) yang sudah mengonsumsi barang adiktif tersebut sejak awal SMA. Namun beberapa tahun belakangan, ia mulai mencoba berhenti konsumsi rokok akibat asam lambung yang menyerangnya.
Kepada Prohealth.id, Fadly menceritakan bagaimana sulitnya ia melawan rasa ingin merokok ditambah dengan rasa sakit dari penyakit asam lambung yang dideritanya. Fadly juga mengaku bahwa kesulitan terbesar yang dihadapinya untuk berhenti merokok adalah saat berkumpul bersama teman-temannya.
“Kesulitan yang dihadapi selama berusaha berhenti merokok tuh karena ditawarin teman, suka gak enak kalau pada merokok terus kita enggak. Akhirnya saya masih suka merokok sebatang, dua batang,” ungkap Fadly.
Dalam prosesnya untuk berhenti merokok, Fadly pun terus terombang-ambing antara berhenti atau tidaknya merokok di tengah teman-temannya yang masih senang merokok. Rokok sudah bagaikan sajian pelengkap di tengah perbincangan hangat saat sedang bersama teman-temannya.
Proses berhenti merokok Fadly dilakukan dengan caranya sendiri yakni dengan sebisa mungkin menahan keinginan untuk merokok.
Saat diwawancara Prohealth.id tentang tahu atau tidaknya layanan berhenti merokok oleh Kementerian Kesehatan, Fadly mengaku sudah mengetahui adanya layanan tersebut namun belum pernah menggunakannya.
“Kebetulan saya tahu sih ada Layanan Berhenti Merokok, kan ada di bungkus rokoknya tuh kalau gak salah. Cuma belum tahu kalau itu (Layanan Konseling Berhenti Merokok) bebas biaya. Saya kira kena pulsa,” kata Fadly.
Lebih lanjut, menurut Fadly penggunaan Layanan Berhenti Merokok belum tersosialisasikan dengan baik oleh Kemenkes. Kurangnya publikasi layanan tersebut, membuat Fadly lebih memilih mengajak orang berhenti merokok secara langsung daripada merekomendasikan layanan tersebut.
“Menurut saya sih (sosialisasi Layanan Berhenti Merokok) itu belum cukup yaa, sosialisasi layanannya masih kayak mau gak mau seolah-olah menyerahkan ke masyarakat ‘yang mau-mau saja’ gitu. Iklan di TV juga jarang saya liat. Kalau ditanya akan merekomendasikan nggaknya pada orang lain sih dibandingkan merekomendasikan layanannya mending aksi langsung ngajak berhenti merokok dengan cara-cara yang ada,” ujar Fadly.
Meski begitu, Fadly mengatakan bahwa dirinya bukan perokok yang kecanduan akut. Bahkan ia hanya menghabiskan satu bungkus rokok untuk satu minggu. Hal itu membuat Fadly tidak membutuhkan waktu yang lama untuk benar-benar terlepas dari candu rokok. Setelah lima tahun lamanya Fadly menjadi perokok aktif, akhirnya dalam jangka waktu kurang lebih setahun Fadly berhasil terlepas dari candu rokok.
Berdasarkan pantauan Prohealth.id melalui akun media sosial, akun Instagram Layanan Berhenti Merokok (@layananubm) hanya memiliki 955 pengikut. Total unggahan ada 567, dengan mayoritas konten seputar dampak rokok terhadap kesehatan manusia.
Layanan Berhenti Merokok Memang Kurang Optimal
Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) pun turut membenarkan kurang optimalnya Kemenkes dalam mengelola Layanan Berhenti Merokok.
Menurut Program Manager Komnas PT Nina Samidi, berdasarkan Focus Group Discussion (FGD) yang pernah dilakukan Komnas PT bersama dengan Kemenkes dan beberapa dinas kesehatan terkait, ditemukan masalah utama berhenti merokok ada pada kurangnya komunikasi dan publikasi Layanan Berhenti Merokok.
Nina mengatakan, banyak orang yang ingin berhenti merokok namun justru bingung harus ke mana untuk membantu mereka berhenti merokok.
Bahkan berdasarkan informasi yang didapatkan Komnas PT, Layanan Quitline Berhenti Merokok sedang diberhentikan sementara oleh Kemenkes.
“Menurut kami, layanan berhenti merokok di Kemenkes memang sangat kurang. Bahkan saat ini saja untuk yang layanan Quitline Berhenti Merokok diberhentikan dulu. Informasi yang kami dapat adalah kenapa Quitline-nya diberhentikan dulu karena memang ada pergantian kontrak atau sebagainya,” ujar Nina kepada Prohealth.id pada Sabtu, 14 Januari 2023.
Perlu diketahui, Kementerian Kesehatan memiliki dua jenis Layanan Berhenti Merokok, yakni pertama, penyediaan unit-unit layanan berhenti merokok di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FTKP) dimana bentuk layanannya dilakukan di beberapa puskesmas sehingga masyarakat dapat langsung datang ke puskemas dan berkonsultasi. Kedua, Quitline Berhenti Merokok yang berupa saluran telepon yang ada di pusat yaitu di Kemenkes.
Nina menambahkan, pengelolaan Layanan Berhenti Merokok yang kurang optimal begitu amat disayangkan. Pasalnya, untuk pengadaan layanan tersebut memakan biaya yang tidak sedikit. Bahkan masyarakat pun justru tidak memanfaatkannya dengan baik.
“Yang kami lihat juga, Quitline ini biayanya sangat mahal tapi yang memanfaatkannya sedikit sekali. Ini sangat sayang karena layanan atau fasilitas yang disediakan Kemenkes menjadi tidak efektif, tidak dimanfaatkan dengan baik. Yang kami dengar justru layanan berhenti merokok ini malah dijadikan telepon iseng sama orang-orang yang tidak bertanggung jawab, iseng telepon malam-malam untuk mengisi waktu mereka. Orang-orang iseng ini justru tau dan memanfaatkan padahal justru banyak yang butuh,” ujar Nina.
Padahal Layanan Berhenti Merokok merupakan salah satu MPOWER pemerintah sebagai langkah-langkah untuk menurunkan perilaku merokok di sebuah negara. Nina menjelaskan bahwa MPOWER tersebut terdiri dari tujuh langkah, dimana lima diantaranya adalah berbagai peringatan untuk mendorong seseorang berhenti merokok.
“Satu sampai lima MPOWER itu adalah mendorong orang untuk berhenti merokok. Mulai adanya Pictorial Health Warning (PHW) yang berupa peringatan kesehatan bergambar untuk memberikan edukasi. Yang kedua ada teks cukai yang memahalkan harga supaya orang berhenti merokok. Kemudian ada Kawasan Tanpa Rokok (KTR), kemudian Taps Ban atau larangan iklan promosi dan sponsor. Semua itu langkah-langkah yang dilakukan sebuah negara untuk mendorong orang berhenti merokok,” ungkap Nina.
Nina menambahkan, kelima MPOWER tersebut pun belum terimplementasikan dengan baik. Menurutnya, penerapan Layanan Berhenti Merokok juga menjadi tidak efektif untuk benar-benar membantu orang untuk berhenti merokok.
“MPOWER 1-5 pun masih kita pertanyakan, karena PHW nya juga belum kuat, cukainya kecil cuma 40 persen, KTRnya belum diawasi dengan benar, Taps Ban promosi iklan sponsornya masih sangat marak. Jadi bisa dibilang layanan berhenti merokok di sini menjadi seadanya kami melihatnya, sehingga yang terjadi adalah perokok yang sulit berhenti makin gak tahu caranya bagaimana dan harus ke mana, akhirnya mereka kembali lagi,” kata Nina.
Lebih lanjut, Nina juga mengungkapkan kegagalan Kemenkes dalam penerapan Layanan Berhenti Merokok di puskesmas kabupaten/kota. Padahal, pemerintah mempunyai target di tahun 2024, sekitar 24 persen puskesmas di kabupaten/kota dapat menerapkan Layanan Berhenti Merokok. Namun, data yang diperoleh Komnas PT pada tahun 2021 penerapannya masih jauh dari target.
“Sebenarnya pemerintah punya target bahwa di tahun 2024 itu ada 24 persen di seluruh kabupaten/kota puskesmas menerapkan layanan berhenti merokok. Artinya ada sekitar 350 puskesmas di kabupaten/kota yang menerapkannya. Sedangkan total targetnya itu ada sekitar 4000 unit layanan berhenti merokok di beberapa puskesmas. Tetapi di 2021 kemarin yang kami dapatkan datanya adalah hanya 253 puskesmas yang menerapkan unit layanan berhenti merokok, artinya hanya 2 setengah persen, itu adalah target sejak RPJMN ditetapkan 2019-2024 sehingga perkembangannya itu sangat lambat,” ungkap Nina.
Komnas PT menilai pemerintah tidak begitu serius dalam menerapkan Unit Layanan Berhenti Merokok di puskesmas. Hal itu karena dalam pengawasan Komnas PT, tampaknya pemerintah tidak melakukan monitoring maupun follow–up dalam penerapannya.
“Memang mereka membuat pelatihan-pelatihan untuk tenaga kerja di puskesmas yang memiliki Unit Layanan Berhenti Merokok. Tetapi setelah itu apakah dilakukan monitoring terus follow–up nya bagaimana perkembangannya, bagaimana kami juga kurang paham kenapa hanya 2,5 persen puskesmas yang menerapkan Layanan Berhenti Merokok,” kata Nina.
Layanan Berhenti Merokok Perlu Lebih digencarkan Publikasinya
Berdasarkan hal tersebut, Komnas PT menyarankan agar Kemenkes harus lebih menggencarkan komunikasi dan publikasi Layanan Berhenti Merokok. Publikasi tersebut dapat dilakukan melalui telemedicine atau melakukan kolaborasi dengan pihak-pihak yang bisa membantu sehingga nomor Quitline Berhenti Merokok dapat diingat masyarakat.
“Kemenkes perlu melakukan upaya publikasi sepuasnya supaya masyarakat benar-benar tahu, bahkan hafal di luar kepala nomor Quitline tuh berapa sih gitu. Sekencang-kencangnya supaya orang yang ingin berhenti merokok tahu ke mana mereka ketika akan berhenti merokok, mereka akan dibantu. Supaya bisa dibantu mereka akan ke mana, kemenkes bisa melakukan publikasi misalnya di telemedisin untuk mempromosikan Quitlinenya gitu, atau di semua jaringan yang mereka punya seperti dinas kesehatan, organisasi-organisasi kesehatan,” ujar Nina.
Lebih lanjut, Nina mengatakan bahwa Komnas PT pun sempat turut menggencarkan publikasi layanan tersebut. Dengan berkolaborasi bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Komnas PT melakukan publikasi dengan membuat stiker yang menutupi beberapa badan bus Transjakarta agar nomor Quitline bisa diketahui masyarakat.
Maka dari itu, Kemenkes perlu menentukan langkah yang harus dilakukan selanjutnya sehingga masyarakat yang sebelumnya tidak tahu Quitline, unit Layanan Berhenti Merokok di puskesmas menjadi tahu, khususnya untuk orang yang ingin berhenti merokok.
Komnas PT juga menyarankan Kemenkes harus menetapkan Layanan Berhenti Merokok ini sebagai salah satu poin MPOWER karena sangat penting untuk mewadahi masyarakat yang ingin berhenti merokok.
Dalam poin-poin MPOWER yang sudah berhasil diedukasi dan ditekan untuk berhenti merokok dari langkah pengendalian tembakau. Maka dari itu, kata Nina, sangat disayangkan jika KTR sudah berhasil karena perokok dikondisikan sulit untuk merokok di tempat kerja atau dirumahnya, justru pecandu yang ingin berhenti merokok tetapi kesulitan mencari tahu Layanan Upaya Berhenti Merokok. “Ini [perokok yang candu] dikhawatirkan mereka malah beralih ke rokok e-cigarette [rokok elektronik],” ungkap Nina.
Penulis: Eka Wardawati & Shinta Fitrotun Nihayah
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post