Sebagai anak muda yang hidup di perkotaan seperti Jakarta, sulit menahan untuk tidak stres bagi Kamila (23). Sehari-hari harus berkutat dengan pekerjaan yang banyak menguras tenaga dan pikiran.
Kamila harus siap geser ke beberapa tempat demi mendapatkan beberapa butir berita. Ya, pekerjaan Kamila adalah jurnalis. Ia dituntut harus serba tepat, tetapi juga serba cepat.
Meskipun sedang sepi isu pemberitaan, Kamila juga tidak pernah merasa tenang. Dia takut mendapat stigma tidak produktif. Akibatnya, Kamila akhirnya mencari-cari apa saja yang bisa dia kerjakan.
“Kita tuh tinggal di dunia yang sibuk banget. Kalau kita tidak produktif, kesannya kita tidak berguna,” kata Kamila kepada Prohealth.id di JCC, Sabtu (14/12/2024).
Masalahnya seperti lingkaran setan. Banyak pekerjaan membuat ia rentan stres. Namun kala tak ada kerjaan pun sama saja. Akhirnya, Kamila lebih memilih stres karena banyak pekerjaan agar menghindari labelisasi ‘malas’ dan ‘tidak produktif’.
Tak cuma masalah pekerjaan, banyak hal yang memicunya stres. Tuntutan dari lingkungan sekitar hingga kondisi negara saat ini.
Kamila biasanya pergi nongkrong dengan teman-temannya untuk menghilangkan stres. Cara itu cukup ampuh, sayangnya tak tahan lama. Stresnya hilang ketika nongkrong, tetapi kembali datang ketika sudah pulang ke indekos.
Ia belum tahu apakah ada cara lain yang ampuh untuk menghilangkan stres. Oleh sebab itu, dia masih tetap menjadikan nongkrong dan ngobrol dengan teman-teman sebagai strategi menghilangkan stres (coping mechanism).
Kamila tidak sendiri. Menurut survei American Psychological Association (APA) tahun 2020, Gen Z memiliki skor tingkat stres rata-rata 6,1 dari skala 1-10.
Berdasarkan survei Alva Research Center, sebanyak 28,3 persen responden Gen Z mengaku cemas. Survei ini meliputi terhadap 1.529 responden dari generasi Z, milenial, dan generasi X di seluruh Indonesia.
Kamila berpendapat salah satu faktor penyebab tingkat stres pada generasinya relatif tinggi karena tingkat kesadaran dan kepekaan sudah tinggi. Pengetahuan terbuka lebar dan mudah diakses oleh generasi Zyang akrab dengan internet dan media sosial.
Pengetahuan generasi Z soal kesehatan mental juga cukup baik. Ketika ada survei terkait kesehatan mental, maka generasi Z cenderung lebih fasih mengidentifikasinya.
Kamila menerka-nerka, bisa jadi tingkat stres pada generasi lain juga tinggi. “Cuman mungkin mereka ga menyadari aja,” sambungnya.
Mencoba Meditasi
Kemungkinan untuk tidak stres memang kecil. Maka dari itu, Kamila menyadari pentingnya regulasi stres.
Dia mulai menjajal cara lain selain nongkrong dan mengobrol dengan teman sebagai coping mechanism. Meditasi.
Awalnya, Kamila mengikuti meditasi karena tugas dari kantornya. Namun, spontan dia juga berharap meditasi bisa menjadi cara ampuh menghilangkan stresnya.
Kamila ikut meditasi massal dengan lebih dari 3.000 orang di JCC. Sambil memejamkan mata, Kamila mengikuti instruksi dari Bunda Arsiningsih, seorang Ceritified Professional Healer. Kamila dituntun untuk memahami diri sendiri, merenungi situasi-situasi yang terjadi belakangan.
Kamila mengakui ia susah fokus saat menjalani meditasi. Dia masih dihantui pekerjaan yang menantinya. Maklum, ini juga pengalam pertamanya ikut meditasi. Saat hari kerja pula.
Ia pun merasa sewaktu-waktu perlu mencoba kembali meditasi di waktu yang tepat. Dia masih penasaran dengan cara meditasi, apakah benar-benar akan mengurai permasalahan atau tidak.
“Sebenarnya yang gue pahami juga kalau main sama temen, memang kita tuh tidak menyelesaikan masalah kita. Lebih ke pelarian diri gitu. Jadi kalau ada waktu bisa meditasi, bisa lebih kenal diri sendiri sebenernya menarik,” ucapnya.
Meditasi yang Kamila ikuti adalah bagian dari ‘Bedah Karma Indonesia’ dari Yayasan Cahaya Cinta Kasih. Bedah Karma kali ini berfokus pada kesehatan mental dan keterkaitannya dengan situasi nasional saat ini.
Arsaningsih membawa meditasi kali ini lebih jauh. Dari mengenali diri sendiri hingga lingkungan di sekitarnya.
Arsaningsih menggunakan dua pendekatan dalam meditasinya. Pertama, Spirit of Universal Life (SOUL) Measurement Technique of Radiation (Meter) atau pengukuran radiasi. Kedua, SOUL Reflection atau kesadaran terhubung dengan tuhan.
Namun, dasar dari kedua pendekatan itu adalah mengenal diri sendiri. Arsaningsih menyebut dengan kesempatan ini, satu orang saja mulai mengedukasi banyak orang untuk mulai berbenah diri dan mengenal diri.
“Barang siapa mengenal dirinya, mereka akan mengenal Tuhan,” ujar Arsaningsih.
Ia mengklaim metode meditasinya itu cocok untuk semua kalangan, termasuk Gen Z. Arsaningsih sudah mencoba menerapkannya kepada generasi Z dan Alpha di Bali.
“Setiap hari Jumat kita berikan meditasi for teenager, untuk anak-anak SMP ini. Dan sangat mengejutkan, ternyata setelah proses itu berjalan. Mereka menjadi sekolah favorit dan anak-anaknya berprestasi bahkan sampai keluar negeri,” kata dia.
“Ternyata itu mempunyai dampak yang besar pada anak-anak ini. Jadi ternyata muncul trauma-trauma yang harus diselesaikan,” imbuhnya.
Penulis: Ningsih
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post