Risky Kusuma Hartono
Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju
Pemerintah Republik Indonesia telah menaikkan cukai rokok sebesar 12 persen pada 2022 1. Kebijakan ini diambil pada momen yang tepat karena di masa pandemi COVID-19 ini sebagian besar masyarakat mengalami penurunan penghasilan, tetapi tidak lantas menurunkan perilaku merokoknya. Bahkan hasil studi Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) tahun 2021 menemukan adanya peningkatan perilaku merokok masyarakat di dalam rumah selama pandemi ini, sehingga anggota keluarga lebih banyak terpapar asap rokok 2. Dalam hal ini, dengan menaikkan cukai rokok pada tahun ini, pemerintah telah berkomitmen untuk mengendalikan konsumsi rokok yang lebih progresif melalui kenaikan harga.
Kebijakan kenaikan cukai rokok merupakan jalan tengah untuk mendukung peningkatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional, rokok terbukti menjadi pengeluaran rumah tangga terbesar kedua setelah pengeluaran beras 3. Akibatnya, sebagian masyarakat mengabaikan konsumsi asupan gizi protein yang terdapat pada ayam atau telur maupun protein nabati lain untuk keluarga terutama untuk pertumbuhan anak.
Konsumsi rokok tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga menyasar aspek ekonomi dan tumbuh kembang anak. Hasil studi PKJS-UI tahun 2018 menunjukkan adanya kenaikan satu persen dalam belanja rokok akan meningkatkan peluang kemiskinan sebesar enam persen poin pada rumah tangga 4. Selain itu, kemungkinan stunting pada anak yang memiliki orang tua perokok diperkirakan sebesar 5,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang memiliki orang tua bukan perokok. Studi lain juga menyebutkan bahwa total biaya tidak langsung terkait kematian dini akibat kanker yang dialami oleh perokok pasif mencapai Rp1,8 Triliun 5, dimana jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan penerimaan negara dari tarif cukai rokok.
Apabila kita cermati, tujuan utama dari kenaikan cukai rokok sebagai pengendalian konsumsi rokok belum sepenuhnya tercapai. Pilihan kenaikan cukai rokok sebesar rerata 12 persen pada tahun 2022 ini sebenarnya masih lebih rendah dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya, yaitu sebesar 12,5 persen pada 2021 atau 23 persen pada tahun 2020. Data Kementerian Keuangan (2021) menunjukkan bahwa konsumsi rokok domestik masih stagnan di atas 300 miliar batang dan hanya mengalami penurunan sebesar 0,6 persen dari 322 miliar batang pada 2020 menjadi 320,1 miliar batang pada 20216. Persentase penurunan ini merupakan angka yang paling rendah dalam 7 tahun terakhir. Kenaikan produksi batang rokok ini tentu tidak sejalan dengan semangat pengendalian konsumsi rokok.
Di sisi lain, masyarakat masih bisa membeli rokok karena harga rokok masih tergolong murah. Pada instrumen kebijakan kenaikan tarif cukai rokok yang berlaku pada tahun 2022 ini, harga rokok paling mahal ada pada jenis Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan 1 dengan harga jual eceran sekitar Rp40.100,00 per bungkus. Sementara, studi PKJS-UI tahun 2018 menunjukkan bahwa 74 persen perokok akan berhenti membeli rokok apabila harga rokok dinaikkan menjadi Rp70.000,00 per bungkus 7. Belum lagi masih diperbolehkannya penjualan rokok secara ketengan dengan harga yang masih sangat murah, yaitu rata-rata Rp1.500,00 per batang. Harga rokok pun masih bervariasi karena struktur tarif cukai rokok masih kompleks sehingga konsumen masih memiliki pilihan untuk beralih ke jenis rokok yang lebih murah. Efektivitas kenaikan tarif cukai rokok ini menjadi kurang optimal jika tidak dibarengi dengan penyederhanaan struktur tarif cukai rokok maupun pelarangan penjualan rokok ketengan.
PENYEDERHANAAN STRUKTUR CUKAI ROKOK
Salah satu perubahan dalam regulasi kenaikan cukai rokok pada tahun 2022 adalah penyederhanaan struktur tarif cukai. Upaya Kementerian Keuangan Republik Indonesia untuk melanjutkan penyederhanaan struktur tarif cukai rokok dari 10 menjadi 8 struktur patut diapresiasi. Meski demikian, langkah penyederhanaan menjadi 8 struktur tarif ini masih belum dianggap ideal. Hal ini disebabkan karena masih terdapat peluang konsumen rokok untuk melakukan peralihan konsumsi rokok pada jenis rokok lain. Para perokok masih bisa mencari produk rokok dengan harga per bungkus yang lebih murah. Kondisi ini juga dapat terjadi pada anak-anak dan masyarakat ekonomi menengah ke bawah karena variasi harga rokok masih sangat luas di pasaran meskipun telah dilakukan penyederhanaan. Ditambah lagi, hasil riset PKJS UI (2019) juga menyebutkan bahwa masyarakat miskin penerima bantuan sosial mengaku akan tetap mencari rokok dengan harga yang lebih murah apabila harga rokok naik 8. Ini merupakan salah satu bukti penyederhanaan tarif cukai rokok harus terus dilanjutkan.
Studi Prasetyo dan Adrison (2020) menunjukkan jika penyederhanaan tarif cukai rokok terus dilakukan, pengurangan konsumsi rokok akan lebih besar karena harga rokok menjadi lebih tinggi, insentif untuk menciptakan merek baru menjadi lebih berkurang, dan variasi harga juga ikut berkurang 9. Studi tersebut juga mengungkapkan bahwa penyederhanaan tarif cukai rokok semakin meningkatkan optimalisasi penerimaan negara. Ini sejalan dengan cita-cita negara untuk menghasilkan sumber daya manusia yang sehat dan unggul dengan terbebas dari asap rokok.
Kajian Bappenas turut menunjukkan bahwa penyederhanaan tarif cukai rokok menjadi 3 sampai 5 strata lebih signifikan mampu menurunkan prevalensi perokok anak, sekaligus meningkatkan penerimaan negara 10. Selain itu, Kementerian Kesehatan sejak tahun 2018 juga telah menyarankan bahwa struktur tarif cukai rokok dibagi menjadi 2 strata saja 11, yaitu Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) pada strata pertama dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) maupun Sigaret Putih Tangan (SPT) pada strata kedua. Apalagi, negara-negara maju juga telah menerapkan single tarif pada cukai rokok dan ini terbukti mencapai tujuan yang maksimal dari penerapan cukai, yaitu pengendalian konsumsi rokok.
Negara-negara berpenghasilan tinggi umumnya memiliki cukai dan harga yang lebih tinggi dan struktur pajak yang lebih efektif. Hal tersebut disebabkan karena jumlah struktur tarif cukai yang lebih sedikit dikaitkan dengan harga rokok yang lebih tinggi. Langkah ini merupakan instrumen penting untuk dapat menurunkan konsumsi rokok. Salah satu contoh, pengalaman di Filipina membuktikan bahwa penerimaan negara dari cukai rokok menjadi lebih optimal walaupun terdapat penurunan konsumsi rokok pada penerapan strata tarif tunggal pada cukai rokok yang diterapkan sejak 2017. Studi Cheng (2019) menyebutkan bahwa reformasi penyederhanaan strata tarif cukai di Filipina terbukti mencegah 1.961 kematian dan meningkatkan penerimaan negara dari cukai untuk kesehatan sekitar USD 367 juta atau setara dengan Rp5 Triliun 12. Ini semua menjadi bukti urgensi kenaikan tarif cukai rokok saja tidak cukup, namun tetap perlu melanjutkan upaya penyederhanaan struktur tarif cukai rokok di Indonesia.
Diperlukan adanya sinergisitas dari berbagai kementerian dan lembaga di Indonesia untuk sama-sama mendukung kenaikan cukai rokok dan melanjutkan penyederhanaan strata tarif cukai rokok sebagai upaya untuk mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2024, yaitu menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen pada 2024 13. Selain itu, target untuk menjadikan masyarakat dapat hidup lebih sehat dan sejahtera tanpa terganggu oleh asap rokok di tengah pencapaian visi besar Indonesia 2045.
Referensi
- Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.010/2021 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun Atau Klobot, Dan Daun Iris. DKI Jakarta: Republik Indonesia; 2021.
- PKJS UI. Perilaku Merokok Selama Pandemi Dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Keluarga. Jakarta: Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia; 2021.
- Susenas. Survei Sosial Ekonomi Nasional 2019. Jakarta: Kementerian Sosial Republik Indonesia; 2019.
- Dartanto T, Moeis A, Nurhasana R, S R, Thabrany H. Perilaku Merokok Orang Tua Dan Dampaknya Terhadap Stunting, Kecerdasan, Dan Kemiskinan: Bukti Empiris Dari Data Panel IFLS. Jakarta: Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI); 2018.
- Kristina SA, Wiedyaningsih C, Masrida WO, Santoso KA, Ahsan A. The Mortality Costs of Tobacco Related Cancers Among Secondhand Smokers in Indonesia 2018. Res J Pharm Technol. 2019;12(12):6075-6080.
- Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Press Conference Kenaikan Cukai Hasil Tembakau 2022. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia; 2021.
- Nurhasana R, Ratih SP, Dartanto T, et al. Public support for cigarette price increase in Indonesia. Tob Control. December 2020:tobaccocontrol-2019-055554. doi:10.1136/tobaccocontrol-2019-055554
- Dartanto T, Moeis FR, Can CK, et al. Good intentions, unintended outcomes: Impact of social assistance on tobacco consumption in Indonesia. Tob Induc Dis. 2021;19.
- Prasetyo BW, Adrison V. Cigarette prices in a complex cigarette tax system: empirical evidence from Indonesia. Tob Control. 2020;29(6):618-623.
- Ali PB. Strategi Lintas-Sektor Pengendalian Tembakau Di Indonesia 2020-2024. Jakarta: Bappenas; 2021.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Policy Paper Peningkatan Tarif Cukai Hasil Tembakau Untuk Indonesia Lebih Sehat. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2018. http://p2ptm.kemkes.go.id/uploads/VHcrbkVobjRzUDN3UCs4eUJ0dVBndz09/2018/10/Policy_Paper_Tobacco_Taxation_Bahasa_Indonesia.pdf.
- Cheng KJG, Estrada MAG. Cost-effectiveness analysis of the 2019 cigarette excise tax reform in the Philippines. Prev Med (Baltim). 2021;145:106431.
- Republik Indonesia. Peraturan Presiden (PERPRES) No. 18 Tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Jakarta: Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2020.
Discussion about this post